Tahun 2011 dan Saya adalah orang yang merasa diri saya lebih lucu daripada sejumlah pelawak tunggal yang tampil di televisi saat itu.
Saya punya dasar yang mendukung pernyataan itu, diantara Teman-teman sekerja, saya termasuk yang sekali bicara langsung bikin orang tertawa dan lelucon saya tidak pasaran, celetukan saya berbeda, hasil mikir sendiri.
Karena itu, saat Lawakan tunggal mulai populer di televisi, Teman-teman sekerja mengatakan bahwa saya harus mencoba stand up comedy, karena saya lebih lucu daripada Orang-orang garing yang ada di televisi.
Lalu saya ikuti saran Teman-teman saya itu, saran yang ternyata sangat menjerumuskan.
Penampilan saya yang pertama sebagai pelawak tunggal sangatlah buruk. Saya bisa katakan malam itu adalah malam terburuk bagi saya sepanjang tahun 2011, malam jahanam.
Tempatnya ramai pengunjung, mereka sengaja datang untuk menonton, karena malam itu adalah pertama kalinya di Palembang digelar acara Lawakan tunggal. Seru sekali. hanya ada tiga pelawak tunggal lokal yang tampil.
Saya tampil pertama, bangga sekali. Saya tampil sekitar 10 menit, membawakan sejumlah materi yang lucu saat saya coba didepan Teman-teman kantor. sambutannya Luarbiasa, 10 menit dan hanya beberapa orang tertawa, itu pun hanya sekitar 3 kali selama 10 menit.
Rasanya mau pensiun dini dan pindah ke tengah hutan dan berburu babi.
Kenapa penonton tidak tertawa?
Saya punya materi lucu yang sudah saya coba ke teman kantor dan mereka semua tertawa, mengapa penonton malam itu tidak tertawa?!
(((MENGAPA)))
Dan demi mencari jawaban atas kekecewaan, kekesalan, dan ketersinggungan malam itu, maka saya coba lagi naik panggung sebagai pelawak tunggal, saya coba lagi, lagi, terus, sampai malam ini. Saya terus coba. Saya Belum akan berhenti.
Saya butuh jawaban. saya butuh sesuatu untuk memperbaiki harga diri yang penyok Gara-gara dicuekin penonton dua tahun yang lalu.
Sejauh ini, jawaban yang ada hanya seperti ini.
Ketika saya melawak di depan Teman-teman saya di kantor, mereka adalah penonton yang sudah mengenal siapa saya, dan sebaliknya, saya mengenal siapa mereka.
Mereka memahami cara saya melawak, cara saya menyeletuk, dan kemana arah dari celetukan saya. mereka semua tahu karena sudah lama berteman dengan saya. mereka tahu tingkat pendidikan saya, mereka tahu seberapa luas wawasan saya, mereka hafal kapan waktu saya biasa menyeletuk.
Penonton yang ini mengenal saya.
Sebaliknya, saya pun mengenal Teman-teman kerja saya, saya tahu tingkat pendidikan mereka, saya tahu seberapa luas wawasan mereka, saya tahu tema apa yang senang mereka bicarakan, saya tahu apa yang biasa mereka lakukan, saya tahu kapan saat yang tepat untuk bercanda dengan mereka, saya tahu segalanya tentang mereka.
Saya mengenal penonton saya.
Jadi, sewaktu di lingkungan kerja saya, saat saya melawak, saya tanpa sadar membuat Lawakan yang sesuai dengan kemampuan cerna mereka. Materi Lawakan saya sangat akurat mengenai selera mereka sehingga mereka bisa tertawa.
Hal yang berbeda terjadi saat saya ada di atas panggung di sebuah kafe. Pertama yang harus saya sadari, saya tidak mengenal keseluruhan penonton. Saya tidak tahu tingkat pendidikan mereka, saya tidak tahu seberapa luas wawasan mereka, saya tidak tahu tema apa yang biasa mereka bicarakan.
Saya tidak mengenal mereka.
Malapetaka terjadi saat lelucon saya yang sudah akurat menyentuh segmen tertentu tadi dibawakan ditujukan kepada segmen yang lebih luas. Musibah, tidak banyak Orang yang memahaminya, kenapa, karena lelucon tadi terlalu spesifik, hanya berhasil pada kalangan tertentu.
Biasa menghadapi baut nomor 12 sehingga terbiasa pakai kunci nomor 12, sekalinya melihat baut nomor 30 masih juga pakai kunci nomor 12. Fatal.
Hikmahnya ada dua teman, pertama, akhirnya saya paham bahwa saya tidak bisa main pukul rata bahwa bila saya lucu dilingkungan tertentu maka saya pasti lucu di lingkungan lain manapun. kedua, ternyata lebih mudah mengaku lucu dan mencela yang lain daripada memberanikan diri menjalaninya sendiri.
Naif sekali