Setelah memarkirkan kendaraan di dekat Mesjid Agung Palembang, saya segera bergegas menyeberang jalan melalui jembatan, saya tidak ingin buru-buru mempergunakan BPJS saya dengan nekat menyeberang jalan begitu saja di jalanan yang ramai, kebetulan saya termasuk yang paham cara mempergunakan jembatan penyeberangan, sesuatu yang banyak orang lain tidak pahami sehingga banyak yang membiarkan begitu saja jembatan penyeberangan menganggur dan menyeberang jalan dibawahnya. Saya patut bangga dengan kelebihan saya yang satu ini, lebih tahu manfaat jembatan penyeberangan.
Saat berada di atas jembatan penyeberangan, saya bisa menyaksikan proyek pembangunan Light Rapid Transit, semacam angkutan masal yang cepat, ini proyek LRT yang pertama di Indonesia, ya begitulah, Palembang memang termasuk kota yang maju, rencananya kami akan segera membangun Mass Teleportation Terminals, sehingga warga Palembang bisa pergi dari rumah ke bandara dalam hitungan detik dengan mempergunakan teleportasi. Thanks to technology.
Saya melanjutkan langkah menuju pasar yang tersembunyi di tengah kota, melalui jalan TP Rustam Effendy, ada trotoar yang bersih di depan setiap ruko, sayangnya sedikit sempit dan masih harus berbagi dengan berbagai lapak kaki lima, saat berjalan dengan hati-hati itulah mata saya melihat sebuah patok kayu di tengah-tengah trotoar, menarik.
Memperhatikan patok ini, sepertinya terbuat dari kayu yang bermutu bagus sehingga bisa bertahan lama dan Nampak masih kokoh, guratan-guratan kayu yang termakan zaman malah membuat patok kayu ini terlihat makin gagah. Patok kayu ini berada di trotoar sebuah toko perhiasan emas dan dari pemilik toko saya diberi tahu bahwa patok kayu itu adalah penanda batas tanah di masa lalu dan sudah tertancap disitu sebelum ruko-ruko di daerah itu berdiri, wew! That’s cool!
Pertokoaan di daerah itu rata-rata dibangun tahun 1930an, berarti patok kayu itu berdiri hampir 100 tahun!
Tapi tenang saja, tidak ada yang angker atau mistik dengan patok kayu itu, makanya orang-orang bisa dengan tenang lalu lalang disitu, hanya saja disarankan untuk tidak menendang patok kayu itu karena bisa menyebabkan orang yang menendang sakit, terutama bagian kaki yang dipakai menendang.
Melanjutkan jalan kaki siang hari, berjalan di sepanjang trotoar di jalan Rustam Effendy, akhirnya saya tiba di perempatan yang ramai, cukup banyak kendaraan tapi mereka terpaksa berjalan pelan karena jalanan lebar itu dipenuhi becak dan manusia. Setelah berhasil menyeberang dengan selamat, saya akhirnya tiba ke muka jalan masuk sebuah pasar yang tersembunyi…. Hiiiii.
Saya berdiri di trotoar sebuah ruko yang menjadi bagian dari sebuah blok pertokoaan yang berbentuk nyaris trapesium, di utaranya berbatasan dengan jalan Rustam Effendy, dengan jalan Kol Atmo di sebelah barat, di sebelah timur dengan jalan Sayangan, dan jalan Mesjid Lama di sisi selatannya.
Saya lalu melihat lapak pedagang pisang di ujung trotoar, warnanya yang kuning terang itu sungguh menggoda mata, saya dekati dan mengambil beberapa foto, di sebelah lapak pisang itu, terdapat lorong, tidak ada plang nama, hanya saja orang-orang ramai keluar masuk dari lorong itu, saya pun segera melangkahkan kaki memasuki lorong itu, dan setelah di dalam, tadaaa… ada sebuah pasar!
Berbeda dengan pasar 16 dan pasar Cinde yang berdiri di tepi jalan, atau pasar Soak yang berada di tengah pemukiman dengan salah satu sisinya ada di tepi jalan, pasar yang satu ini benar-benar tersembunyi, dikelilingi oleh perukoan, dengan jalan masuk hanya berupa lorong, sama sekali tidak berada di tepi jalan. Pasar yang terisolir, tapi bukan pasar tertinggal.
Secara resmi, pasar ini dinamai Pasar Buah Temenggung, mungkin karena letaknya bersebelahan dengan lorong tempat banyak pedagang buah, dan kata ‘Temenggung’ merupakan gelar kebangsawanan seseorang. Seperti umumnya pasar, ada bermacam-macam barang yang dijual disini, mulai dari daging, sayuran, sampai pakaian.
Lantainya sedikit becek, tapi bentuk bangunannya kokoh dengan atap yang masih utuh, sehingga tidak perlu kepanasan atau kehujanan saat berbelanja disini. Berjalan lurus melintasi pasar ini membuat saya bertemu pertigaan, disitu berakhirlah pasarnya, saya sudah memasuki pasar buah. Tidak terlalu ramai saat saya datang sekitar jam 1 siang, tapi pedagang masih banyak, lorongnya lebar sehingga bisa berjalan dengan leluasa. Di hari-hari tertentu kita bisa bertemu dengan para penjual bunga.
Lelah berkeliling, saya mampir ke sebuah kafe, yang walau berada di lingkungan pasar namun berlantai bersih mengkilap, saya memilih tempat duduk lalu memperhatikan suasana kafe yang Nampak seperti di tahun 1970an, sesuai sekali dengan suasana keseluruhan lingkungan ini.
Saya memesan minuman dan menikmati suasana, mengingat-ngingat patok kayu tua tadi, pasar yang tersembunyi, dan tempat minum teh yang nyaman di tengah kota, jalan kaki yang sempurna.
Saya cinta Palembang.
Itu kafe kawan kami, baru di renov.
Awas copet om.
Nah patok apolaah itu ye hehehe. Jingok pisang itu jadi laper