(Tulisan kedua dari tiga bagian)
“Saya pernah kerja di Cina, waktu mau pindah ke Palembang, teman-teman langsung googling tentang Palembang, mereka bilang Palembang itu ndak ada apa-apa, kotanya disebut ciu-cang, kota markas bajak laut”
Tawa saya nyaris meledak setelah mendengar kalimat ini, kalimat ini lucu karena disampaikan dengan jujur, kejujuran yang pahit, dan saya menertawakan itu, tawa getir.
Palembang memang pernah dikelola oleh bajak laut dan Cheng Ho mampir ke Palembang salah satunya dalam rangka membersihkan jalur dagang di selat malaka dari gangguan para bajak laut yang saat itu bermarkas di… yak betul, Palembang.
Namun jauh sebelum Cheng Ho mampir ke Palembang dan menangkap perompak bernama Chen Zu Yi pada tahun 1407, pada tahun 1349 kronik Cina telah mencatat laporan dari para pedagang yang baru pulang dari Palembang bahwa kota itu dikuasai oleh seorang perompak dari Guang Zhou, bernama Liang Dao Ming,
Setelah pembersihan oleh Cheng Ho, pada tahun 1560 kronik Cina mencatat mengenai seorang penjahat asal Guandong yang pensiun dari dunia kejahatan di Guandong lalu menetap di Palembang, di Palembang dia menjadi pedagang kaya raya dan diangkat menjadi kapitan.
Namanya Zhang Lian, apakah dia juga kepala perompak? Belum diketahui, tapi masa dia di Palembang berdekatan dengan masa pendirian kerajaan Palembang pada tahun 1547 oleh Pangeran Sido Ing Lautan (imigran dari Jawa tengah) bersama Dipati Karang Widara, anak keturunan Demang Lebar Daun, penguasa lokal Palembang saat itu.
Saat itu Palembang mulai kembali menjadi pusat perdagangan di kawasan selatan pulau Sumatera, terimaksih kepada Lada dari Bangka dan dari pedalaman Sumatera, daerah di hulu sungai musi, ulu musi, yang membuat perdagangan di Palembang kembali bergairah dan mendatangkan kekayaan sehingga menarik perhatian penguasa lain untuk menguasai Palembang, pada tahun 1596 Banten datang menyerang dan berhasil dikalahkan, selanjutnya pada tahun 1658 Cornelius Ockerse memimpin armada VOC dari Batavia menyerang Palembang, dan seperti Banten, mereka pun gagal.
Khusus untuk Belanda, mereka melakukan serangan ke Palembang pada tahun 1658, 1659, dua kali pada tahun 1819, dan sekali pada 1821, pada serangan terakhir barulah Belanda mampu menaklukan Palembang.
Kemampuan Palembang untuk mempertahankan diri dari serangan armada laut bangsa lain ini mungkin Karena warga Palembang memiliki kemampuan mumpuni dalam pertempuran di atas air, sebuah bakat besar yang pada abad ketujuh membuat orang-orang Palembang mampu mengendalikan perairan yang luas di selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Lalu saat Sriwjaya bubar, masyarakat yang mahir bertempur di atas air ini masih meneruskan keseharian mereka seperti di masa Sriwijaya, mengatur lalu lintas perairan selat Malaka dan menarik pajak dari berbagai kapal yang lalu lalang, namun bedanya sekarang tidak lagi membawa panji Sriwijaya, hanya panji-panji perorangan atau kelompok, sehingga sekarang mereka disebut bajak laut.
Memiliki bakat yang hebat diatas air adalah suatu anugerah yang luar biasa, apalagi telah dibuktikan penggunaannya sehingga mampu mendirikan kekaisaran seluas Sriwijaya dan kesultanan Palembang Darussalam, tidak ada yang bisa membantahnya dan membuat orang Palembang memiliki identitas yang berbeda dari lingkungan sekitarnya, ini adalah sesuatu yang layak dibanggakan, dirayakan dan dikenang, dan kenangan itu bentuk terbaiknya adalah berupa Museum Bahari Sriwijaya.
Museum Bahari Sriwijaya akan berisi 4 bagian, yaitu bagian Sriwijaya, bagian bajak Laut, Bagian Palembang Darussalam, yang ketiganya fokus pada sejarah dan bagian Bahari Musi yang isinya berkaitan dengan budaya, menjelaskan mengenai bagaimana sungai Musi selama 1300 tahun telah membentuk kebudayaan manusia-manusia yang hidup dari dirinya, agar anak muda Palembang paham mengapa sungai Musi disebut laut dan lauk pauk selalu disebut ‘iwak’.
Penasarankan? Sama.
Mari berdoa dan berusaha bagi Museum Bahari Sriwijaya.
Dan aku menantikan museum ini ada buat dikunjungi. Semoga instagramable.