Perut kenyang setelah lebaran yang penuh makanan baiknya memang diajak jalan-jalan, supaya tidak terlalu buncit, atau jika perut buncit setidaknya jantungnya sehat, ya, cita-citanya begitu.
Sabtu pagi itu saya sudah sarapan mie ayam di dekat Museum Balaputradewa, ini dilakukan demi jantung sehat di dalam perut buncit, dan juga untuk menyambut teman-teman pejalan dari jakarta, yang juga, buncit.
Tiba di Museum Balaputradewa, kami langsung disambut oleh para wanita cantik yang mengalungkan semacam Phasmina yang terbuat dari kain jumputan, kain khas Sumatera Selatan. Lalu kami dibawa berjalan-jalan keliling Museum, melihat berbagai arca, megalit, dan prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan, melihat masa purba di Sumatera Selatan, lalu ke masa pra-Sriwijaya, masa Sriwijaya, masa kolonial Belanda, dan masa kemerdekaan RI.
Berkeliling museum Balaputradewa ini membuat saya kagum atas kekayaan sejarah Sumatera Selatan, yang seharusnya bisa membuat warganya bangga lalu melestarikannya, dan terlebih lagi, ini adalah modal yang sangat besar untuk bersaing dalam dunia pariwisata.
Pelesiran di Museum Balaputradewa diakhiri di rumah Limas yang berada di bagian belakang lingkungan museum, rumah yang ada di dalam uang kertas 10.000, rumah besar yang terbuat dari kayu dengan berbagai ukiran menghiasi bagian dalamnya, disertai perabot antik dari masa kolonial Belanda, dan tidak lupa, sebuah meja makan yang penuh pempek.
Bangunan lain yang menarik di Museum Balaputradewa adalah rumah khas penduduk pedalaman Sumatera Selatan, letaknya ada di sisi timur rumah Limas. Rumah ini terbuat dari kayu yang bagian lantainya adalah potongan bambu yang disusun renggang di atas kerangka kayu yang ditopang oleh beberapa kayu bulat utuh sepanjang sekitar 15 meter, kayu-kayu ini diletakkan melintang di atas beberapa tonggak kayu yang juga terbuat dari kayu bulat utuh setinggi sekitar 1,5 meter, dan tonggak kayu ini tidk langsung menyentuh tanah, melainkan ditegakkan di atas tatakan yang terbuat dari batu cadas.
Teknik pembangunan seperti ini membuat rumah kayu ini menjadi tahan guncangan gempa. Luar biasa!
ini yang namanya kearifan lokal.
Perjalanan selanjutnya dimulai dari jalan Sekanak, sebelah barat Benteng Kuto Besak, jalanan ini dipenuhi bangunan tua, seperti bangunan kayu yang merupakan pertokoan Cina dari awal abad 20, saat Palembang masih diurus oleh Belanda, masa yang sama juga mewariskan banyak bangunan batu di sepanjang jalan Sekanak yang gaya arsitekturnya serupa dengan bangunan semasa dari kota Singapura, Malaka, dan Georgetown, bila di tiga tempat itu bangunan tua yang serupa bisa dijadikan objek wisata, seharusnya bangunan-bangunan di Sekanak juga bisa.
Dari tempat kami memarkirkan kendaraan di dekat kantor PT Hok Tong, kami berjalan menuju pasar Sekanak yang sedang ramai oleh pekerja angkut yang mengeluarkan buah kelapa kering dari kapal kayu besar yang membawanya dari pesisir timur Sumatera Selatan, daerah yang banyak terdapat perkebunan kelapa.
Inilah denyut nadi kota Palembang yang asli, perdagangan di pasar di tepi sungai Musi, yang berlangsung sejak awal berdirinya kota Palembang, seperti yang pernah dikunjungi oleh I-Tsing pada tahun 671 M, seperti Palembang yang dikunjungi pedagang India, Arab, dan Persia sejak 1.400 tahun yang lalu, seperti pasar Sekanak ini sekarang, yang ada sejak awal tahun 1900-an, semoga denyut nadi ini terus berlangsung.
[wpvideo VeK2sPXT]
Sekanak dengan jalannya yang lebar dan termasuk sepi, harus kami tinggalkan untuk segera menuju pulau Kemaro. Pulau Kemaro dengan Pagodanya yang terkenal adalah tempat yang indah, tapi, perjalanan menyusuri sungai menuju ke pulau Kemaro tidak kalah serunya. Dari atas perahu kayu yang bergerak pelan dan mengayun setiap terkena gelombang, mata yang menjadi berat ini memperhatikan gerak kehidupan di tepian Musi, orang-orang yang memperbaiki perahu, yang menjala ikan, yang berjualan solar untuk motor perahu, anak-anak yang mandi sambil bermain di air, sampai ke acara hajatan yang digelar di atas kapal tongkang, luarbiasa! Aktif sekali!
Dari pulau Kemaro kami menyeberang ke kampung Arab al-Munawar, untuk menyaksikan kebudayaan Arab yang berpadu dengan budaya Palembang yang melayu. Al-Munawar dipenuhi dengan bangunan tua yang anggun, tempat yang cocok sekali untuk mereka yang mencari lokasi berfoto dengan nuansa masa lalu yang megah. Wah.
Saat kami tiba disana ternyata sedang ada acara pernikahan berlangsung, sehingga kami sempat menyaksikan sendiri kejadian penting itu, menyenangkan, ramai, penuh kesibukan, disertai dengan hiruk pikuk tetabuhan, seru.
Di ujung acara, kami diajak makan oleh pihak tuan rumah, tentu saja makan dengan cara Arab, satu nampan besar berisi nasi minyak dengan topping sepotong besar daging kambing bakar dan goreng, makan besar ya Allah. Ini adalah suasana makan bersama yang berkesan sekali, ramai-ramai bersama-sama, mengambil nasi di nampan yang sama, berebut lauk, berbagi daging kambing bakar, senang sekali, sampai-sampai teman-teman dari Jakarta berniat mengulang lagi makan seperti ini, mantap!
Tujuan selanjutnya adalah kota olahraga Jakabaring, yang lebih dikenal dengan sebutan JSC, kependekan Jakabaring Sport City. JSC adalah daerah olahraga terpadu yang terdiri dari berbagai venue untuk berbagai olahraga, ada kolam renang, lapangan sepak bola, lapangan atletik, lapangan tenis, beladiri, menembak, sampai danau buatan untuk pertandingan kano.
Setelah sempat berkeliling ke arena menembak, danau buatan dan kolam renang, akhirnya kami tiba di stadion sepakbola, bangunan terbesar di lingkungan JSC, sekaligus yang paling dikenal karena menjadi markas klub sepakbola Sriwijaya FC. Disana kami diajak memasuki ruang konferensi pers yang baru dibangun, ruang khusus bagi insan pers yang hendak meliput pertandingan sepakbola di JSC.
Ruangan yang khusus dibangun untuk pers di lingkungan stadion seperti ini adalah yang pertama ada di Indonesia, ruangan pers biasanya ruangan biasa yang dipakai hanya menjelang pertandingan dilaksanakan, tapi di JSC berbeda, ruangan pers dibuat khusus dan hanya dipakai oleh insan pers, salut!
Ruangannya memiliki AC, beberapa baris kursi untuk wartawan yang dilapisi kulit dengan bordir logo SFC, barisan kursi untuk tim yang bertanding, dan semua kursi dilengkapi dengan mikrofon, ditambah dengan lantai yang memakai rumput sintetis, suasana sepakbola-nya terasa sekali dalam ruangan ini.
Setelah puas menikmati suasana ruang pers, kami diajak melihat ruang ganti pemain, Ruangannya luas dilengkapi dengan loker untuk masing-masing pemain, lalu ada wastafel dan kamar mandi. Ruang ganti pemain ini ada empat buah, sehingga bila ada dua pertandingan berurutan maka masing-masing tim punya Ruangannya sendiri tanpa perlu buru-buru berberes untuk bergantian memakai ruang ganti. Dari ruang ganti kami menuju ke lapangan sepakbola, dan iya, lapangannya luas dan ada banyak rumput dan dikelilingi tribun, berdiri di tengah lapangan dan memandang sekeliling, terasa ada aura megah yang membuncah dalam hati yang terdalam, tsahh.
Setelah puas berkeliling di JSC, kami yang kelelahan dan kelaparan ini akhirnya menuju ke sebuah rumah makan yang menjual pindang, makan enak sudah di depan mata, setibanya disana kami memesan berbagai jenis pindang, termasuk pindang telur ikan gabus dan pindang udang, dan saat semua pindang telah tersaji, kami semua tidak bisa lagi menahan diri, langsung saja kami memotret semua makanan itu, semuanya!
Seperti kata mbak Chika, “Blogger itu makan makanan dingin”, karena saat makanan datang dalam keadaan hangat, mereka sibuk foto-foto.
Tapi, makanan enak tetap saja enak, mau hangat atau dingin, karena itu setelah puas foto-foto kami langsung menyantap pindang dan pempek yang terhidang, kenyang!
Saat perut kenyang dan mata mulai berat, kami segera bergegas sebelum tertidur, menuju ke daerah Kambang Iwak untuk mengikuti Pawai Budaya yang merupakan acara pertama dalam rangkaian acara pembukaan Festival Sriwijaya 2016. Setibanya disana, kami langsung disambut dengan barisan anak muda dalam berbagai kostum warna Warni yang meriah. Pesta akan segera dimulai!
Malamnya kami semua berkumpul di pelataran Benteng Kuto Besak untuk menghadiri acara puncak pembukaan Festival Sriwijaya 2016, acara ini dibuka langsung oleh Gubernur Sumatera Selatan, disaksikan oleh segenap kepala daerah tingkat II yang diundang. Sebuah acara pembukaan yang indah, dibelakang panggung yang warna warni oleh lampu, ada jembatan Ampera yang megah dengan cahaya lampu yang warna warni pula, sungguh-sungguh malam yang penuh warna. Megah.
Dalam sambutan pembukaannya, bapak gubernur Sumatera Selatan menyampaikan beberapa kemajuan yang telah dicapai Sumatera Selatan, juga mengingatkan kepada warga Sumatera Selatan mengenai keagungan sejarah Sumatera Selatan, yang paling menarik adalah saat beliau mengatakan bahwa Candi Buddha terbesar di Asia Tenggara dibangun oleh Sriwijaya, iya benar, Candi Borobudur dibangun oleh dinasti Syailendra dari Kedatuan Sriwijaya.
Dalam kemeriahan pesta pembukaan itu, diantara orang-orang yang menikmati keriuhan, saya menatap jembatan Ampera, menatap Benteng Kuto Besak, menatap Kampung Kapitan dari kejauhan, saya bersyukur telah lahir dan besar di tempat seperti ini, tempat yang mewariskan sejarah panjang peradaban manusia, warisan yang sangat beharga, kepada penduduknya sekarang.
Semoga kami bisa terus menjaga harta beharga ini, terus menghidupi kebudayaan agung ini, dan mewariskannya kepada anak cucu kami nanti.