Itu adalah subuh yang sangat dingin, saya sangat mengantuk karena kelelahan setelah 11 jam mengemudi mobil, tapi udara dingin memaksa saya untuk bangun sejenak dan mencari remot AC, namun saat saya membuka mata segera saya sadar, di ruangan ini tidak ada AC, saya tidak bisa mematikan AC, saya bahkan tidak bisa menurunkan suhu ruangan ini, karena untuk melakukan itu saya harus menurunkan suhu di seluruh kota Pagaralam.
Kota ini dingin sekali.
Tidak lama kemudian saya akhirnya benar-benar bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di teras sebuah villa yang terletak di tepi perkebunan teh, pagi yang dingin itu saya disuguhi pemandangan indah dari perkebunan teh dengan kota Pagaralam di kejauhan dan latar belakang Bukit Jempol. Sangat menyegarkan mata.
Saya menyeduh kopi hangat tanpa gula di ruang makan yang terletak di lantai dua Hotel Besh lalu duduk di teras yang menghadap langsung ke Gunung Dempo, dari depan saya membentang kebun teh yang hijau segar sampai ke lereng gunung dempo, pemetik teh bekerja, beberapa kendaraan kadang lalu lalang di atas sana, pemetik teh dan kendaraan itu seperti miniatur yang muncul diantara kebun teh, pemandangan yang menyegarkan dan menghibur. Saya tidak butuh televisi pagi ini.
Makan siangnya saya lewatkan di sebuah tempat yang menyenangkan bernama Green Paradise, lokasinya bisa ditempuh melalui jalan beraspal yang masuk ke dalam hutan, lalu dilanjutkan berjalan kaki sekitar 100 meter melalui sebuah peternakan kuda jenis lokal, ada dua air terjun disini, tidak terlalu besar tapi cukup membuat suasananya menenangkan, tidak ada kebisingan jalanan, hanya gemerisik air dan pemandangan hijau dari selada air yang menyegarkan, apalagi makanannya enak, perut dan mata kenyang, puas sekali.
Sebenarnya masih mau berdiam lebih lama di Green Paradise tapi masih ada beberapa tempat lain yang menarik yang menanti didatangi, baiklah, setelah memotret anak-anak yang berenang di kolam utama, saya akhirnya bergerak menuju tempat selanjutnya, rumah kediaman Depati Kenawas.
Ini adalah rumah tua yang masih cukup utuh, ukurannya jauh lebih besar daripada rumah-rumah di sekitarnya. Terbuat dari kayu, rumah Depati Kenawas ini menyimpan beberapa benda-benda antik, seperti hiasan kepala hewan.
Saat ini rumah Depati Kenawas tidak dihuni, hanya ada penjaganya di bagian belakang rumah, sementara keturunan Depati Kenawas sekarang bedomisili di ibukota Indonesia.
Selesai mendengarkan kisah Depati Kenawas, kami beranjak menuju ke titik air panas di desa Pagar Bunga, kecamatan Tanjung Sakti. Sungguh ini adalah lokasi air panas yang unik, karena titik sembur air panasnya terdapat di sepanjang aliran sungai, sehingga bila kita masuk dan berjalan di aliran sungai maka terasa beberapa perbedaan suhu air, kadang dingin, kadang hangat, bahkan panas bila kita berada di dekat sumber mata air panasnya. Bukan hanya air, saat saya sedang melepas sepatu di tepi sungai, kaki saya menginjak batu yang panas sekali, membuat saya kaget, ternyata batu itu bersebelahan dengan sumber air panas di tepi sungai, Nampak uap mengepul dari permukaan airnya. Orang biasa merebus telur di mata air itu, saya baru saja nyaris merebus telapak kaki sendiri disitu.
Tempat mata air panas ini berada di sebuah sungai kecil yang tidak dalam, hanya sebatas dengkul orang dewasa, tepi dan dasar sungainya dipenuhi batu koral, dan dari sela-sela batu koral itulah muncul air panasnya. titik air panasnya tersebar di beberapa tempat di sepanjang sungai, membentang konon sepanjang 100 meter di sepanjang aliran sungai.
Saya belum pernah melihat mata air panas yang berderet di sungai seperti ini, sungguh tempat yang menarik untuk dikunjungi, beberapa mata air yg besar dipagari dengan dinding semen yang sedikit lebih tinggi dari permukaan air, fungsinya agar air panasnya tidak cepat hilang dibawa oleh arus yang deras sekaligus menjadi tempat pengunjung duduk santai sambil merendam kaki mereka di air hangat.
Sayangnya hujan mulai turun, sehingga saya harus bergegas dari tempat yang hangat ini dan menuju lokasi selanjutnya, sebuah gereja tertua di Sumatera Selatan, yaitu Gereja St. Mikael di Tanjung Sakti yang dibangun tahun 1896. St. Mikael adalah gereja yang teduh, sangat teduh, apalagi saat diluar hujan deras seperti saat kami tiba disana.
Bagian dalam gereja St. Mikael lapang sekali dan dihiasi banyak foto para tokoh katolik dunia. Warna putih mendominasi bagian dalam gereja St. Mikael, dengan langit-langit yang tinggi yang juga bewarna putih, gereja ini dibangun dengan bahan campuran antara batu dan kayu. Ini adalah gereja berusia 120 tahun yang cantik.
Cukup lama saya ada disana sehingga tak terasa langit mulai gelap, itulah saat saya menyadari bahwa perjalanan ini telah selesai, saatnya kembali ke penginapan dan mulai berkemas.
Pagaralam adalah kota yang diberkahi keindahan alam dan kekayaan sejarah, yang menanti untuk dikunjungi oleh para pelawat dari penjuru negeri, lelahnya perjalanan terbayar lunas setelah mendatangi berbagai tempat wisata disini.
Pagaralam layak sekali dikunjungi sekali lagi.