Siang itu saya sedang duduk di ruang tamu di rumah abu di Kampung kapitan, saya sedang mendengarkan pak Mulyadi yang bercerita dengan penuh semangat, banyak yang dia sampaikan tapi saya lebih tertarik mengenai sejarah leluhurnya.
Seperti kebanyakan warga Palembang lainnya, sejarah Palembang yang diketahui oleh pak Mulyadi tidak tertib urutan waktunya dan tertukar tokoh-tokohnya, tapi itu bisa dimaklumi, karena sejak di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas sejarah yang dipelajari oleh warga Palembang adalah sejarah kerajaan-kerajaan di jawa dan hanya sedikit menyinggung sejarah kota kelahiran mereka sendiri, Palembang.
Namun ada dua hal yang sangat menarik perhatian saya dari ‘orasi kebudayaan’ pak Mulyadi itu, pertama, bahwa dia dan keluarganya memiliki buku tua warisan keluarga yang ditulis dalam huruf Cina yang tidak bisa dibaca pak Mulyadi karena mereka sekeluarga tidak bisa lagi membaca aksara Cina, dan kedua, bahwa kapitan Cina terakhir yang ada di Palembang dimakamkan di daerah Kemang Manis, di sebelah barat daya pemakaman Puncak Sekuning.
Dan, perburuan itu pun dimulai…
Saya bisa dengan segera menemukan makam Kapitan Cina yang terakhir di Palembang, letaknya di dataran tinggi, di daerah perbukitan di barat laut kota Palembang, yang ditunjukkan dalam peta Palembang pada tahun 1947 berikut ini.
Pada saat saya pertama kali berkunjung, kondisinya sangat menyedihkan, pelatarannya tergenang, sebagian dilapisi lumpur tipis, dan di sekitarnya becek. makamnya sendiri dinaungi oleh bangunan batu terbuka, dengan tulang plafon yang mulai miring dan atap genteng yang tidak simetris. penilaian singkat atas situasinya adalah, tidak menarik. ini bukan tempat yang akan didatangi oleh turis.
Namun di kunjungan terakhir saya kesana, ada yang berubah, bangunan batunya sudah tidak ada, makamnya tidak lagi diselimuti beton, dan ada tanaman di sekitar makam, penilaian singkat atas situasinya adalah, keadaan membaik, namun masih buruk, masih tetap becek dan tergenang. tempat yang mungkin akan dikunjungi turis bila tidak ada lagi yang bisa mereka kunjungi di Palembang.
Hal yang lebih menyedihkan adalah, di sekitar makam tidak ada keterangan mengenai makam bersejarah ini. tidak ada tulisan dalam aksara latin yang bisa dibaca mengenai penghuni makam, siapa namanya, apa jabatannya, bagaimana perjalanan hidupnya dan bagaimana akhir hidupnya. tidak ada.
Nol.
Padahal kapitan Cina adalah jabatan yang penting, kapitan Cina adalah orang yang ditunjuk oleh penguasa Palembang (saat itu adalah Belanda) untuk mengelola komunitas Cina yang ada di Palembang, dan Palembang di masa itu adalah sama seperti provinsi Sumaera Selatan saat ini.
Nama Kapitan Cina yang terakhir di Palembang adalah Oey Teng Kiang, pekerjaannya pasti sulit, karena sebagai ketua komunitas Cina, dia harus menjaga ketertiban komunitasnya dan bertanggung jawab kepada pemerintah Belanda yang telah menunjuknya.
Berat karena pada masa itu ada berbagai perkumpulan rahasia di kalangan masyarakat Cina di Palembang yang kegiatannya cenderung kepada kejahatan, bahkan di singapura, ada perkumpulan rahasia masyarakat Cina disana yang terkait dengan Triad di Hong Kong dan Cina daratan.
Tidak diketahui apakah ada jaringan Triad di Palembang pada masa itu, Namun pada tahun 1866 Gustave Schlegel menyebut adanya perkumpulan rahasia Cina di Palembang yang bernama ‘Seven Friendly’.
Kapitan Oey sendiri berhadapan dengan perkumpulan rahasia Cina pada masa kepemimpinannya, nama perkumpulan rahasia itu adalah ‘Three Star’, dan ‘Three Star’ ini adalah perkumpulan rahasia yang agresif, mereka hendak merekrut Kapitan Oey menjadi anggota mereka, namun Kapitan Oey menolak, penolakan itu membua ‘Three Star’ kalap, mereka menyerang kapitan secara fisik, mengancam nyawanya, tercatat tiga kali ‘Three Star’ menyerang Kapitan Oey, dalam serangan-serangan itu jatuh korban jiwa, namun Kapitan Oey selalu selamat.
Lalu pada tanggal 19 september 1924, Kapitan Oey sekali lagi diserang, kali ini kapitan Oey mendapatkan 35 luka tusuk di sekujur tubuhnya, Kapitan Oey tewas.
Berita tewasnya kapitan Oey ini menyebar kemana-mana, bahkan menjadi berita di sebuah koran yang terbit di Singapura.
Kini kapitan Oey terbaring di makamnya, makam megah yang tidak terurus. sebagai tokoh kota Palembang di masa hidupnya, kapitan Oey layak mendapatkan lebih dari ini.
Merawat makam kapitan Oey adalah bagian dari mengenang dan melestarikan kisah mengenai para kapitan yang pernah ada di Palembang.
Kehidupan kapitan Oey layak dikenang dan diceritakan sebagai bagian dari kekayaan budaya kota Palembang, kota tua, yang luarbiasa.