“Semoga tempat yang akan dikunjungi ini setimpal dengan perjalanan ini.” Kata saya kepada teman perjalanan.
Kami sedang melangkah dengan hati-hati di sebuah jalan setapak yang berlumpur di antara kebun kopi di dalam sebuah hutan, 8 jam perjalanan ke arah barat dari kota palembang. Masuk melalui lorong diantara rumah warga, dalam 3 menit kami sudah berada di antara kebun kopi dan hutan, lalu berjalan lagi sekitar 12 menit melintasi jalan becek nan licin, bersyukur sekali tidak ada Cinta Laura Kiehl saat menapak jalan becek ini.
Setelah jalan becek yang terakhir kami bertemu belokan ke arah kanan, saat memasuki belokan itu, terjadilah mukjizat, jalan becek berubah menjadi jalan tanah padat berumput tebal, di kanan-kirinya tanaman tertata rapi, elok sekali, nampaknya ada orang suci yang pernah masuk ke hutan ini lalu menghentakkan tongkatnya ke tanah dan tadaaa, hutan terbuka untuk dilalui.
Saya mulai berjalan diatas rumput yang rapih itu, ada garis bekas perlaluan sepeda di tengahnya, tapi tetap rapih, karena tidak becek, saya mengikuti jalan setapak yang lurus itu, pada sisi kiri, dari balik rimbun tanaman yang menjadi batas jalan setapak saya mulai melihat beberapa batu disusun sampai setinggi orang dewasa, beberapa mulai berlumut, tanda bahwa batu-batu ini telah lama tidak disentuh, mungkin sejak pertama kali batu-batu itu disusun.
Sebuah pondok kayu besar bertingkat dua menyambut rombongan kami, lantainya langsung ke tanah, tanah yang keras tanpa rumput tapi bersih dan tidak becek, di ujung yang lain dari pondok ini saya melihat di atas tanah terdapat perapian kecil dengan teko logam di atasnya, diantara saya dan teko itu terdapat dua tempat duduk panjang dari bambu dan kayu, masing-masing satu di sisi kanan dan kiri.
Dari tempat saya berdiri di pintu masuk pondok, saya bisa melihat sebuah tempat yang unik, bebatuan disusun diantara tanah berumput tebal yang rapih dikelilingi oleh hutan dengan pepohonan tinggi, tempat ini sedikit aneh tapi menarik sekali.
Beberapa teman tidak tahan untuk segera masuk ke taman, namun segera diingatkan oleh pemilik agar melepas alas kaki sebelum masuk ke taman, saya tidak menanyakan gunanya tapi dugaan saya alas kaki harus dilepas agar tidak merusak tanah dan rumput yang sudah rapi itu, dan saya tidak keberatan melepaskan alas kaki saya setelah melihat tamannya memang terjaga dengan baik seperti itu.
Dan, ternyata memang lebih enak melangkahkan kaki tanpa alas di atas rumput dan tanah di taman itu, terasa lebih menyatu, tanpa tabir, ada semacam energi yang mengalir dari bumi masuk melalui kaki, membuat saya yang dalam keadaan normal adalah orang yang rewel mengenai perkara kebersihan tubuh bisa melangkah dengan tenang dan menikmati suasananya bertelanjang kaki.
Saya berkeliling, memasuki setiap bagian taman, dan saya mendapatkan kesan taman ini seperti taman-taman di pura di Bali, bahkan seperti taman-taman jepang yang rapi. Setiap batu diambil sendiri dari perut bumi oleh pak Damsi, pemilik taman ini, beliau menggali sendiri tanah disini, mengeluarkan batunya, lalu menyusun batu-batu itu sampai setinggi manusia dan menyusun sebagian lainnya sebagai pagar taman, itu dilakukan dengan tangannya sendiri dan tanpa bahan perekat apapun, dan itu sudah dilakukan pak Damsi sejak tahun 1980-an.
Menakjubkan.
Saya makin kagum setelah membayangkan bahwa taman ini adalah milik pribadi, bukan pemerintah, dan dibangun sendiri oleh pemiliknya dengan menggunakan peralatan perkebunan sederhana, tidak ada peralatan berat, tanpa semen, bata, dan truk apalagi traktor utnuk mengeduk tanah dan grader untuk meratakan tanah. Semuanya hanya dengan tangan.
Pak Damsi layak mendapatkan penghargaan dan pujian untuk apa yang telah beliau lakukan selama 30 tahun ini.
Dan salah satu bentuk penghargaan yang bisa teman-teman berikan untuk pak Damsi adalah, dengan datang berkunjung dan membuka alas kaki saat memasuki tamannya.
Sebenarnya ini bukan perjalanan yang berat, hanya becek saja, tidak disarankan memakai sepatu atau sendal mahal kesini, juga sendal jepit, karena ada kemungkinan sendal jepit akan lengket saat terbenam di lumpur dan percikan-percikannya akan mengotori betis dan celana. Mungkin akan lebih baik bila datang di musim kemarau karena saya datang saat musim hujan.
Dan,
Semua batu disini adalah batu asli dari alam bukan buatan pabrik, karena itu taman ini dinamai ‘Taman Batu Organik’, kalau batu-batuannya buatan pabrik apalagi bila mengandung zat kimia maka taman ini akan disebut ‘Taman Batu non-Organik’.
Dan karena bebatuan disini adalah alami, maka bebatuan disini baik bagi kesehatan pengunjungnya.
Mainlah!