Ini adalah bangunan yang tidak saya kira akan jumpai di daerah suku Komering, yaitu sebuah rumah kayu dengan lantai berjenjang layaknya rumah limas di kota Palembang.
Kurang lebih 100 tahun yang lalu Pangeran Rejed Wiralaksana membangun sebuah rumah besar dengan banyak tiang sebagai hadiah untuk menantu perempuannya yang merupakan warga asli komering, sementara Pangeran Rejed sendiri adalah orang Rambang dari daerah Rambang Senuling.
Rumah ini dibangun dengan menggunakan jasa seorang ahli bangunan bersuku Cina dan menggunakan bahan kayu unglen yang kuat dan tahan lama. Itulah mengapa kita masih bisa menikmati keanggunan rumah ini puluhan tahun setelah ia didirikan.
Menuju ke tempat ini tidaklah sulit, hanya sekitar 15 menit dari pusat kota Kayuagung, ibukota kabupaten Ogan Komering Ilir, bila ditempuh dari palembang akan memakan waktu sekitar 2 jam 30 menit.
Nama daerahnya adalah Kampung Pangeran, terletak di kecamatan Sugih Waras, kampung ini berada persis di tepi sungai, suasananya tenang dan nyaman, membuat saya betah duduk berlama-lama disana.
Penghuni Kampung Pangeran ini masih satu keluarga besar sehingga bisa dibilang ini adalah kampung keluarga. Ada dua jalan masuk ke Kampung Pangeran yang berupa sebuah jalan lurus tanpa cabang yang berbentuk huruf ‘U’, kedua ujung huruf ‘U’-nya bersambung ke jalan raya antar Kota Kayuagung dan Martapura.
Tidak ada banyak orang di kampung ini, saat saya datang hanya ada penghuni rumah dan beberapa anak-anak sekitar yang riang gembira walau sedang berpuasa, ya, saya datang saat umat Islam sedang menyambut pergantian bulan Hijriah dengan berpuasa, ritual yang biasanya dianggap berat oleh anak-anak perkotaan dijalankan dengan penuh senyum dan riang gembira oleh anak-anak kampung Pangeran.
Ada sekitar 16 rumah lain di Kampung Pangeran ini yang juga sudah berusia tua dan tentu saja memiliki ceritanya masing-masing dan rumah Pangeran Rejed adalah bangunan terbesar di dalam kampung ini. Rumah ini memiliki banyak tiang kayu untuk menunjang struktur rumahnya, dari jumlah penopang kayu inilah datang sebutan ‘Rumah 100 Tiang’, karena memang terdapat 100 buah tonggak kayu penopang rumah.
Memiliki dua tangga untuk naik, hanya salah satu tangga yang dibuka, yaitu yang berada di dekat pintu rumah, ada teras besar memanjang yang menyambut kita saat tiba di anak tangga teratas, disitu kita bisa memotret ke arah halaman dan sungai yang mengalir tenang di seberang jalan.
Masuk ke dalam rumah terdapat dua jenjang rumah, jenjang pertama lebarnya sekitar 2 meter, jenjang kedua jauh lebih lebar, mungkin sekitar 20 meter dan luas tanpa sekat.
Pada jenjang pertama tidak ada perabotan, dinding yang menghadap ke teras terdiri dari ukiran kayu yang membuat kita bisa memandang ke arah teras sementara dinding yang membatasi dengan jenjang kedua terbuat dari kayu tanpa ukiran yang menghalangi pandangan. Dinding yang kedua ini bisa dibuka pasaknya dan diayun ke atas dari bagian bawahnya lalu dipasakkan ke bagian atas dinding pertama, sehingga antara jenjang pertama dan jenjang kedua tidak ada pembatas, biasanya hal ini dilakukan saat ada hajatan yang mengundang orang banyak datang ke dalam rumah.
Jenjang kedua adalah ruangan luas tanpa sekat yang dipenuhi hiasan ukiran di dindingnya. Ada satu set kursi dan meja di tengahnya dan beberapa perabot lain di tepinya, namun jumlahnya tidak banyak, secukupnya saja, menciptakan ruangan yang lega, duduk disana tidak membuat terasa dikepung barang-barang, yang terasa malah adanya sesuatu aura yang agung, dan bagus untuk dipotret.
Lantai kayu di rumah ini terhitung masih baik, terasa kokoh saat diinjak, dan langit-langit yang tinggi membuat udara di dalam rumah tidak panas dan pengap.
Lingkungan di sekitar rumah 100 tiang ini bersih, hampir tidak ada sampah yang terlihat, sungai yang mengalir persis di seberang rumah pun bersih, airnya mengalir tenang, ada beberapa perahu kecil yang lalu lalang dengan anggun, di tepi sungai ada semacam turab yang bisa diduduki, juga tersedia tangga batu tempat warga turun ke sungai. Semuanya tertata baik, kampung kecil yang bersih dan rapih.
Saat hendak pulang, saya bertemu beberapa anak setempat, mereka mengobrol di bagian bawah teras rumah 100 tiang, saat saya sapa, mereka menjawab ramah, setelah beberapa saat bicara, saya bisa menilai bahwa anak-anak ini sopan dan malu-malu, khas anak kampung, dan hal lain yang penting adalah, tidak ada gawai di tangan mereka.
Ah, saya suka anak kampung.
Kampung Pangeran sendiri adalah sebuah nama yang menarik, nama yang bisa menggugah rasa ingin tahu orang, yang bisa berujung kepada kunjungan ke Kampung Pangeran. Cerita yang berada dibalik nama Kampung Pangeran akan menjadi pengantar yang bagus saat pelancong berkeliling desa, memasuki satu persatu dari 16 rumah tua yang ada di kampung ini, itu tentu akan menjadi atraksi wisata yang luar biasa dari Kampung Pangeran, sesuatu yang bisa menjadi andalan bagi kabupaten OKI.
Apalagi bila di dalam Kampung Pangeran ini terdapat home stay di salah satu dari 16 rumah tua itu, atau di rumah lain milik warga, akan ada pelancong yang merasakan hal yang sama seperti saya saat berada di Kampung Pangeran, suasana yang unik yang nyaman yang memancing rasa ingin tahu “bagaimanakah pagi hari disini?”, “bagaimana suasananya saat matahari tenggelam?”, “apa kegiatan warga sehari-hari?”, itu akan membuat mereka menginap untuk mencari tahu.
Saya tidak ingin membesar-besarkan, tapi Kampung Pangeran ini adalah tempat yang menarik, layak untuk disinggahi bila teman-teman sedang berada di sekitar kota Kayuagung, jika teman-teman menyukai kampung al-munawwar, maka Kampung Pangeran ini sejenis itu, hanya saja dalam versi yang lebih rendah hati, versi kampung, dengan suasana kampung yang benar-benar kampung, bukan kampung di tengah kota.
Main-mainlah ke Kampung Pangeran.
yess this is my hometown