I-tsing menggambarkan Palembang sebagai pelabuhan niaga utama yang berdagang dengan China. Kotanya dikelilingi benteng dan terletak di tepi sungai. Rajanya memiliki banyak kapal yang berlayar antara Palembang dengan India. Palembang juga menjadi pusat belajar agama Buddha yang memiliki lebih dari seribu murid dan warganya berdoa kepada Buddha memakai bunga yang terbuat dari emas.
China adalah kekaisaran besar sehingga untuk mendapatkan sebutan ‘pelabuhan dagang utama’ Palembang pasti adalah pelabuhan terbesar di wilayah selatan pulau Sumatra dan salah satu yang terbesar di keseluruhan pulau. Cukup besar untuk membuat orang-orang dari China terkesan saat melihatnya.
Raja Palembang dikatakan memiliki banyak kapal dan berdasarkan penemuan kayu kemudi kapal kuno di Sumatra Selatan, kapal Raja Palembang diperkirakan memiliki lebar setidaknya 12 meter dengan panjang 36 sampai 48 meter. Kapal kayu itu sanggup membawa muatan seberat 140 ton. Isinya adalah hasil hutan dan hasil bumi dari pedalaman Palembang.
Untuk mendapatkan status sebagai pelabuhan dagang utama, maka pelabuhan di Kota Palembang pada 1.300 tahun yang lalu pastilah merupakan pelabuhan yang paling ramai daripada pelabuhan lain yang ada di sekitarnya. Puluhan bahkan mungkin ratusan kapal berbagai ukuran berlayar keluar masuk dan suasananya cukup ramai sehingga mampu memukau I-tsing. Puluhan kapal ini akan membutuhkan ratusan buruh angkut yang akan membawa barang keluar dari kapal menuju gudang atau sebaliknya, membawa barang dari gudang masuk ke kapal.
Pelabuhannya sendiri memiliki kepala pelabuhan atau yang pada masa setelahnya dikenal sebagai ‘Syahbandar’. Jumlahnya sesuai dengan jumlah pelabuhan yang ada. Syahbandar akan dibantu oleh petugas pemeriksa yang akan mendatangi kapal yang hendak berlabuh dan petugas pencatat kapal dan barang yang masuk atau keluar pelabuhan. Terdapat pula puluhan pemandu kapal, mereka bertugas memberi arah agar kapal tidak memasuki perairan dangkal saat hendak berlabuh. Pelabuhan sebesar dan sesibuk itu pasti dijaga oleh pasukan Kerajaan Palembang. Ratusan dari mereka mungkin berpatroli di pelabuhan dan gudang, juga di Sungai Musi untuk memastikan keamanan dan ketertiban perniagaan.
I-tsing mengatakan bahwa Raja Palembang memiliki kapal-kapal, bukan tidak mungkin dari ratusan kapal yang singgah d Palembang, sebagiannya dimiliki oleh orang Palembang sendiri selain Raja, yakni para keluarga raja, bangsawan, dan pedagang. Selain berdagang, kapal-kapal yang singgah akan melakukan pemeliharaan, kayu yang lapuk diganti dengan kayu yang baru, dan bagian yang rusak diperbaiki dengan yang baru. Karena itu sudah pasti terdapat tempat perbaikan kapal di Palembang.
Kapal-kapal Raja Palembang yang mampu berdagang sampai India dan China itu pastilah merupakan kapal kayu yang besar dan kuat, kapal yang mampu membelah ombak samudra dan mampu bertahan melawan badai yang ganas di lautan. Kapal-kapal itu mungkin dibeli dari tempat lain, mungkin juga dibuat sendiri. Mengingat laporan I-tsing bahwa Palembang adalah pelabuhan utama, besar kemungkinan kota di tepian Musi ini memiliki galangan sendiri untuk membuat dan memperbaiki kapal. Galangan-galangan ini akan mempekerjakan puluhan tukang kayu yang membentuk kapal dan ratusan tukang kasar yang mengerjakan tugas beratnya. Akan ada pula para pemahat dan pengukir yang menyediakan hiasan bagi eksterior dan interior kapal, terutama bagi kapal kerajaan dan kapal dagang milik Raja Palembang.
Biksu petualang I-tsing juga menyebut bahwa penduduk Palembang berdoa kepada Buddha dengan mempergunakan bunga dari emas. Sudah pasti di Palembang terdapat pula pengrajin emas. Keahlian mereka akan sangat dibutuhkan untuk membuat perhiasan dan peralatan dari emas untuk kebutuhan raja dan ritual-ritual agama Buddha. Selain perajin emas, terdapat pula para pandai besi dalam jumlah banyak. Mereka harus memenuhi kebutuhan peralatan dari besi untuk tukang kapal, penebang pohon, dan pengumpul sumber daya hutan, serta untuk membuat senjata bagi pasukan kerajaan.
Ratusan pedagang asing, ratusan pekerja di galangan kapal, ribuan buruh angkut di pelabuhan, ratusan anggota pasukan kerajaan, ribuan murid Buddha, pandai besi, perajin emas, dan ratusan orang dari profesi lain yang terkait dengan pelabuhan dan kerajaan pasti membutuhkan makanan, minuman, dan tempat tinggal. Akan ada banyak tukang kayu dan keneknya yang hanya membuat rumah. Sedangkan puluhan atau bahkan ratusan penduduk lainnya mendirikan warung-warung yang menjual bahan makanan mentah atau makanan dan minuman siap santap.
Kayu untuk membangun kapal dan rumah akan dicari dan dikirimkan oleh ratusan orang yang merambah hutan-hutan di sekitar atau di pedalaman Palembang. Sementara ratusan orang lainnya pergi ke hutan dan ladang untuk mengumpulkan bahan makanan dan minuman bagi ribuan penduduk Palembang. Bahan makanan itu sebagian akan mereka kirimkan kepada Raja sebagai upeti dan sebagian lainnya untuk berbagai warung dan toko.
Selain penduduk dan pedagang asing, Palembang juga pasti didatangi ratusan orang dari pedalaman. Orang pedalaman ini datang dari ratusan talang yang didirikan di tepi puluhan anak sungai Musi yang berhulu di berbagai tempat di dataran tinggi Bukit Barisan, jauh di sebelah barat Kota Palembang. Mereka menghilir ke Palembang mempergunakan sampan dengan membawa berbagai hasil hutan dan hasil bumi yang beharga, mulai dari damar, kamfer, sampai emas.
Ramainya manusia dengan beragam profesi seperti yang digambarkan di atas sesuai dengan isi prasasti Telaga Batu. Dalam prasasti dari tahun 683 itu disebutkan beberapa pangkat dan profesi warga Kota Palembang, yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Setelah bayangan yang panjang dan lebar ini, tibalah kita kepada pertanyaan penting, seberapa besarkah kota Palembang?
Kota Palembang haruslah mampu menampung penduduknya, baik di dalam benteng kota maupun di sekitarnya.
I-tsing tiba di Palembang pada tahun 671 dan melihat sebuah pelabuhan dagang yang besar. 12 tahun kemudian pada 683 datang pula Dapunta Hyang Sri Jayanasa bersama 20.000 orangnya. Mereka lalu merayakan sesuatu dan membuat tempat tinggal baru yang dinamai ‘Sriwijaya’. Sudah pasti Dapunta Hyang bersama 20.000 orang bawahannya tidak sedang berdarmawisata ke Palembang, tidak juga dalam program transmigrasi, karena ketika tiba, mereka merayakan kejayaan dan pendirian entitas baru. Maka sudah pasti yang terjadi adalah sebuah ekspedisi militer yang dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa melawan Palembang. Dia lalu berhasil dan merayakan kemenangannya dengan mendirikan Sriwijaya, kedatuan yang akan mengendalikan Asia Tenggara untuk 400 tahun kemudian.
Dapunta Hyang tentunya membawa pasukan dalam jumlah yang memadai untuk melakukan penaklukan. Dia pasti telah berhitung berapa banyak warga laki-laki di Palembang yang akan melawan pasukannya sehingga dia akan membawa prajurit dalam jumlah yang seimbang. Jumlah pasukan Dapunta Hyang bahkan mungki lebih sedikit dari jumlah laki-laki di Palembang, jika dia yakin 20.000 pasukannya memiliki kemampuan dan persenjataan lebih baik daripada warga laki-laki Palembang yang jumlahnya lebih banyak.
Karena itu, akan cukup masuk akal bila diperkirakan jumlah penduduk laki-laki di Palembang yang bisa melawan Dapunta Hyang jumlahnya diantara 20.000 sampai 30.000 orang. Tapi angka itu bukanlah jumlah seluruh penduduk Palembang.
20.000 sampai 30.000 laki-laki itu pasti memiliki istri, anak, dan orang tua laki-laki dan perempuan yang uzur. Karena itu jumlah penduduk Palembang diperkirakan ada diantara 40.000 sampai 70.000. kira-kira sama dengan jumlah penduduk Kelurahan Ilir Barat II, Palembang hari ini.
Kurang lebih begitulah gambaran besarnya Kota Palembang pada masa I-tsing datang di tahun 671 masehi, lengkap dengan hiruk pikuk kehidupan kotanya.