Palembang adalah kota tertua di Indonesia yang dianggap berdiri pada 16 Juni 683. Sejak saat itu Palembang terus menerus dihuni sampai sekarang. Sayangnya, tanggal itu bukanlah tanggal berdirinya Palembang, seperti yang akan kita bicarakan di paragraf selanjutnya.
Kelebihan Palembang dibanding kota lain adalah karena waktu kemunculannya dianggap memiliki penanda jelas dalam sejarah, bukan hanya berupa catatan perjalanan para petualang yang pernah mampir atau sekadar mendengar, tetapi sebuah bukti yang sengaja ditinggalkan oleh pendirinya.
Peninggalan itu adalah sebuah prasasti yang disebut Kedukan Bukit. Prasasti ini ditemukan di rumah seorang warga di kampung Kedukan Bukit, sebelah barat kota Palembang. Prasasti ini menyebut sebuah tanggal yakni 16 Juni. Tanggal itu disesuaikan oleh Walikota Palembang menjadi tanggal 17 Juni yang lalu diadopsi menjadi tanggal lahir kota di tepian Sungai Musi itu. Prasasti Kedukan bukit sendiri lalu disebut sebagai prasasti akta lahir Kota Palembang, sebuah prasasti yang menjadi penanda. Serupa dengan prasasti pendirian gedung Rumah Sakit atau Jembatan, yang dibuat dan diletakkan di lokasi pembangunan sebagai bentuk pengumuman yang dapat dibaca oleh khalayak ramai yang lalu lalang.
Tetapi, disitu pulalah letak masalahnya, Prasasti Kedukan Bukit tidak menyebut tentang pendirian Palembang.
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada 29 November 1920 di rumah warga yang berada di tepi Sungai Tatang yang mengalir dari kaki Bukit Siguntang dan bermuara di Sungai Musi. Pada baris ketujuh diberitakan bahwa Dapunta Hyang dan pasukannya tiba di Mukha Upan dan pada baris kesembilan dan kesepuluh terdapat pernyataan bahwa dia mendirikan Wanua Sriwijaya. Sama sekali tidak ditemukan kata ‘palembang’ atau yang menyerupainya di dalam Prasasti Kedukan Bukit.
Jika Prasasti Kedukan Bukit bukanlah akte kelahiran Palembang, lalu kapankah Palembang berdiri?.
Itu adalah sebuah pertanyaan yang rumit yang membutuhkan banyak kerja lapangan untuk menjawabnya. Hanya saja untuk melakukan kerja lapangan itu terdapat satu Masalah dan sayangnya masalah itu sangat besar, masalah itu adalah usaha untuk memindahkan separuh penduduk Palembang agar dapat melakukan penggalian dan meneliti benda kuno apa saja yang ada di bawah rumah mereka.
Sebagai kota yang telah dihuni selama ratusan tahun di lokasi yang hampir tidak berpindah pindah, sudah pasti akan ada banyak jejak yang ditinggalkan oleh penghuni Palembang terdahulu yang dapat ditemukan. Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di dekat Bukit Siguntang di sebelah barat, sedangkang Prasasti Telaga Batu ditemukan di dekat pabrik PT. Pusri di sebelah timur. Wilayah diantara kedua prasasti itu dapat dianggap sebagai daerah dimana Palembang berada di jaman Sriwijaya. Kini wilayah itu telah padat dihuni oleh penduduk, sehingga usaha untuk melakukan penggalian menjadi mustahil dilakukan. Kini pilihan yang tersedia hanyalah dengan mencari informasi dari pihak ketiga yang diperkirakan terkait dengan berdirinya Palembang.
Pihak ketiga itu adalah I-Tsing (Yijing), seorang Bikhu Buddha yang hendak berziarah dan belajar ilmu agama Buddha ke India. Dalam perjalanan pertamanya di tahun 671, I-tsing singgah di sebuah permukiman dengan pelabuhan besar yang berada di sebelah selatan Melayu. Melayu adalah sebuah nama tempat yang terus menerus muncul dalam sejarah sehingga bisa dipastikan letaknya, yakni di sekitar Kota Jambi saat ini. Setahun kemudian I-tsing menulis bahwa Melayu kini telah ditundukkan oleh permukiman-pelabuhan dari selatan itu. Satu-satunya permukiman di selatan Melayu yang telah ada pada masa itu adalah permukiman tempat dimana Prasasti Kedukan Bukit ditemukan. I-Tsing mencatat tentang permukiman-pelabuhan itu pada 671 sedangkan Prasasti Kedukan Bukit bertanggal tahun 683. I-tsing kembali ke permukiman-pelabuhan itu pada tahun 688, 5 tahun setelah Prasaati Kedukan Bukit didirikan. Berdasarkan kesaaman letak dan tahun, maka cukup aman untuk mengatakan bahwa kota yang dimaksud oleh I-Tsing adalah Palembang.
Jadi, alih-alih berdiri pada tahun 683, Palembang telah ada 12 tahun lebih awal, yakni pada 671.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Palembang baru berdiri saat I-tsing datang?
Untuk mencapai titik dimana I-tsing bisa dengan terpukau mengatakan bahwa Palembang adalah pelabuhan dagang utama, kota di tepian musi itu pastilah telah melalui proses yang panjang, sebagian dari proses itu kami gambarkan dalam tulisan tersendiri berjudul ‘Gambaran Mengenai Besarnya Bandar Palembang di Masa Awal Sriwijaya’. Proses perkembangan yang dialami Palembang pasti akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun, jika bukan ratusan tahun.
Seorang Bikkhu pengelana dari China bernama Fa-Hien (juga ditulis sebagai Fa-Hsien dan Faxian) telah singgah di pesisir timur Sumatra dan melaporkan keberadaan pelabuhan bernama Ya-po-ti pada tahun 414. Sedangkan pada Catatan Dinasti Sung di china yang ditulis antara 420 sampai 478, terdapat kerajaan bernama Ya-po-ta di wilayah yang sama. Penelitian dari balai Arkeologi menemukan sisa-sisa pemukiman dari abad keempat dan kelima masehi di beberapa tempat di pantai timur Sumatra, dekat Palembang. Manik-manik dari China ditemukan di situs Karang Agung dan Air Sugihan yang terletak di muara Sungai Musi, sungai yang juga mengalir melewati Palembang. Hal itu membuktikan bahwa pesisir timur Sumatra bagian selatan di delta Sungai Musi telah dihuni pada masa dimana Fa-Hien datang.
Arkeolog menyebut bahwa apa yang ditemukan di Karang Agung adalah bukti adanya peradaban pra-Sriwijaya, yakni perkampungan yang telah didirikan dan berkembang jauh sebelum Kedatuan besar yang beribukota di Palembang itu ada. Pada masa itu, tahun 300-an masehi, telah terdapat sejumlah kampung di hilir Sungai Musi di pesisir timur Sumatra, mungkin juga di bagian pedalamannya, di hulu, seperti kami tulis di ‘Tumbuhnya Pusat Dagang di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatra’. Beberapa diantaranya lalu berkembang menjadi perkampungan yang lebih besar, yang warganya tidak hanya bekerja menjaring ikan dan mengumpulkan makanan dari hutan sekitar, tetapi juga telah melakukan perdagangan jarak jauh. Salah satu dari kampung besar itu sisa-sisanya adalah yang ditemukan oleh para Arkeolog di Air Sugihan dan Karang Agung.
Mereka mendapatkan damar, kamfer, dan komoditas dagang lainnya dari kampung-kampung lain yang berada di pedalaman, kampung yang lebih dekat dengan hutan lebat yang kaya, salah satunya mungkin adalah kampung Palembang, sebuah permukiman sederhana yang berada di pertemuan antara Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Tempat yang sangat strategis sebagai tempat pertemuan dan pertukaran barang antara orang-orang yang membawa beraneka ragam hasil hutan dari daerah di hulu Musi, Ogan, dan Komering.
Dengan begitu akan cukup aman untuk berpendapat bahwa Palembang telah ada setidaknya pada tahun 300-an masehi, semasa dengan kampung lain yang telah ditemukan sisanya di Karang Agung dan Air Sugihan.