Kota besar tidak muncul tiba-tiba, apa yang kita lihat saat ini tidak muncul begitu saja pada pagi hari tadi. Lima pusat perbelanjaan yang ada di Kota Palembang tidak muncul dalam semalam, begitu pula puluhan perumahan yang bertebaran di penjuru kota, semuanya ada melalui sebuah proses yang berlangsung sejak bertahun-tahun yang lalu. Tidak ada yang langsung ada, karena yang instan hanyalah mie instan.
Semua kota besar di dunia dimulai dari kota kecil, bahkan mungkin sangat sederhana. New York awalnya adalah perkampungan kecil bernama New Amsterdam yang menjadi tempat pedagang bulu Binatang bermukim. Kini New Amsterdam hanyalah bagian kecil dari kota mega besar yang berjuluk Big Apple. Proses yang sama terjadi di penjuru dunia, termasuk di pesisir timur Pulau Sumatra.
Sumatra diperkirakan telah dihuni manusia sejak 40.000 tahun yang lalu. Penggalian di Gua Harimau di Baturaja menunjukkan bahwa gua di tebing di atas sungai itu telah dihuni manusia sejak 3.000 tahun yang lalu, 1.000 tahun sebelum Yesus lahir. Dan Gua Harimau bukanlah satu-satunya tempat yang dihuni manusia di Sumatra.
Pada masa dimana mobil belum ada, manusia yang hendak bepergian dengan cepat akan mempergunakan sungai sebagai jalan. Hutan hujan tropis terlalu lebat sehingga sulit ditembus, berpindah-pindah di dalam hutan akan memakan waktu lama dan menghabiskan tenaga. Sungai adalah pilihan yang lebih mudah, apalagi jika manusia telah mampu membuat perahu. Sungai juga menyediakan makanan dan air minum, karena itu, manusia di masa lalu mendirikan permukiman di tepi sungai.
Awalnya akan ada satu keluarga yang mendirikan rumah di satu tempat di tepi sungai, ketika anak-anak mereka tumbuh dewasa, rumah-rumah lain didirikan di dekat rumah orang tua, mencipatakan perkampungan pertama. Ketika perkampungan mulai terasa padat atau terjadi perbedaan pendapat, akan ada anggota keluarga yang pindah ke tempat baru. Mereka akan menyusuri sungai ke hulu atau ke hilir, sesuai dengan keinginan. Jika tempat telah ditemukan maka rumah didirikan, menegakkan hunian baru, rumah-rumah yang lain akan menyusul setelah anak-anak keluarga perintis ini meranjak dewasa, menciptakan kampung kedua. Proses ini akan terus terjadi berulang kali sampai akhirnya terdapat banyak pemukiman sederhana di sepanjang sungai, mulai dari hulu sampai ke hilir, di muara yang berada di lautan.
Sungai dan hutan tidak selalu sama isinya. Ada ikan yang berbeda, ada tumbuhan berbeda, ada damar dan kamfer yang berbeda, perbedaan-perbedaan itu akan memenuhi selera-selera yang berbeda pula. Akan ada orang dari satu kampung yang lebih menyukai ikan dari sungai lain yang berbeda dengan sungai tempat dia berada. Itu akan menimbulkan interaksi, perdagangan dalam bentuk yang sederhana, tukar menukar antara barang yang dianggap setara nilainya.
Perdagangan ini akan berlangsung antar kampung kuno di sepanjang sungai. mereka akan saling melihat kebutuhan dari kampung lain dan mencoba memenuhi, baik dari barang sendiri maupun dari barang kampung lain. Ini adalah awal dari munculnya pedagang perantara, mereka melihat satu barang dibutuhkan oleh kampung di hulu yang bisa dia dapat dari kampung di hilir, atau sebaliknya, yang jika bisa penuhi maka akan memberi mereka keuntungan besar.
Model perdagangan dengan perantara ini juga membuat satu barang bisa ditemukan jauh dari tempat asalnya. Mereka berpindah-pindah sebagai barang dagangan dari satu kampung ke kampung lainnya, terus menerus dalam satu rantai perdagangan yang melibatkan banyak kampung. Sistem perdagangan berantai ini juga disebabkan karena terbatasnya teknologi perkapalan di masa lalu. Perdagangan dilakukan dengan perahu-perahu sederhana yang karena jenis kayunya atau cara pembuatannya maka tidak bisa bertahan lama. Perahu ini pun dibuat hanya untuk di sungai, penggunaannya berhenti di muara sungai, tempat dimana ombak lautan ganas akan membuat perahu-perahu sederhana ini hancur berantakan jika nekad berlayar. Untuk berdagang antar kampung di pesisir laut, dibutuhkan perahu yang lebih besar, yang dibuat dari kayu yang lebih kuat menggunakan teknologi yang lebih baik.
Tetapi kapal-kapal samudra ini pun tidak langsung bisa berlayar jauh, awalnya hanya akan mampu membawa barang dagangan ke kampung pelabuhan lain yang dekat, sebelum teknologi perkapalan kuno semakin baik dan akhirnya kapal bukan hanya berlayar di tepian, tetapi bisa menyeberangi lautan.
Ketika pelayaran lintas samudra terjadi, perdagangan ikut meledak. Apa yang ada di Sumatra berbeda dengan apa yang ada di Jawa, Kalimantan, China, dan India. Masing-masing tempat membutuhkan barang yang jumlah dan mutunya hanya ada di tempat lain. Ketika perahu-perahu samudra ini tiba pesisir timur Sumatra dekat muara Sungai Musi, mereka menemukan komoditas lokal yang sangat beharga di tempat lain. Mereka membeli dalam jumlah banyak untuk diperdagangkan ulang di tempat asal mereka atau pelabuhan-pelabuhan lainnya, perdagangan perantara masih terus berlanjut. Ketika permintaan semakin besar, kampung di muara Musi tidak mampu memenuhinya sendiri, mereka akan mencari sumber lain di pedalaman untuk memenuhinya.
Para pedagang di kampung pesisir timur akan menaiki perahu mereka lalu menyusuri sungai ke hulu, menemui rekan-rekan sesama pedagang di pedalaman yang selama ini menjadi pemasok mereka. Mereka akan membeli dalam jumlah banyak agar dapat memenuhi permintaan pedagang lintas samudra. Itu akan menjadi peluang bagi pedagang kecil di pedalaman untuk menaikkan harga, yang awalnya pasti akan dituruti oleh pedagang dari pesisir. Sampai mereka merasa diperas atau menginginkan keuntungan yang lebih besar.
Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pedagang pesisir harus memangkas rantai perdagangan. Mereka harus dapat bertemu dengan orang di hulu sungai, tempat dimana mereka bisa membeli langsung pada pengumpul hasil hutan, bukan dari pedagang. Untuk itu mereka akan berperahu jauh ke pedalaman sungai, dimana sungai akan semakin sempit dan dangkal, tempat dimana perahu-perahu mereka akan ditambatkan dan melanjutkan perjalanan dengan sampan yang lebih kecil. Bangunan akan didirikan di tempat dimana perahu ditambatkan, yang akan menjadi gudang tempat menyimpan barang sebelum perahu pedagang pesisir datang. Sebuah pos dagang milik pedagang pesisir di wilayah pedalaman.
Sikap pedagang pesisir ini tentu saja akan memancing amarah pedagang kecil di pedalaman, pedagang yang bukan saja kehilangan keuntungan, tetapi juga akan kehilangan nafkah karena pedagang besar bertemu langsung dengan pengumpul hasil hutan. Akan ada perkelahian antar pedagangbyang melibatkan banyak orang. Para pedagang kecil akan membentuk persekutuan agar mampu melawan pedagang besar. Puluhan bahkan ratusan orang akan berkelahi di perahu-perahu atau di dermaga-dermaga yang ada di sungai-sungai di pedalaman. Beberapa pedagang di pedalaman akan hancur, sebagian lagi akan bertahan. Mereka yang mampu bertahan, sebagian berkat persekutuan, sebagian lagi karena mereka berada di tempat yang strategis sehingga mampu mengumpukan banyak orang untuk melawan gangguan pedagang dari pesisir.
Tempat strategis itu adalah tempat dimana beberapa sungai besar bertemu. Puluhan sampan berbagai ukuran datang dari ratusan hulu masing-masing sungai besar itu. Mereka menyusuri sungai sampai di satu tempat yang ramai, dimana mereka melihat ratusan sampan dari sungai lain muncul membawa barang yang mereka butuhkan. Jika di tempat itu telah bertemu dengan semua kebutuhan, kenapa harus berperahu lebih jauh?. Tempat-tempat strategis semacam ini menjadi titik temu bagi warga di pedalaman dan pada akhirnya akan tumbuh dari kampung kecil menjadi kampung yang besar dan ramai dengan kegiatan ekonomi yang sangat aktif. Pemimpin kampung ini akan mengendalikan komoditas perdagangan dalam jumlah besar. Dia juga bisa menarik bayaran atas penggunaan wilayahnya sebagai tempat berdagang dan memberi keamanan atas aktifitas perdagangan dengan imbalan uang atau barang. Pemimpin lokal yang mampu mengumpulkan orang dan uang, pemimpin yang akan menjadi orang yang amat kaya dan kuat.
Pemimpin lokal yang super kaya dan menguasai perdagangan di pedalaman seperti ini akan menarik perhatian. Akan ada pemimpin dari kampung lain yang iri hati dan ingin menghancurkan kampung itu agar perdagangan pindah ke kampung mereka. Atau pemimpin lain yang bermurah hati tidak ingin menghancurkan, yang hanya ingin menguasai dan meneruskan perdagangan yang telah ada. Contoh dari pemimpin yang ingin menguasai dan meneruskan ini muncul pada tahun 683 masehi. Dia berangkat membawa 20.000 lebih prajurit menggunakan sampan menuju ke Mukha Upan, menaklukan sebuah kampung disana, dan merayakannya dengan mendirikan sebuah kedatuan.
Penelitian yang dilakukan di pesisir timur Sumatra Selatan telah menghasilkan sejumlah temuan penting. Pada daerah seperti Karang Agung dan Air Sugihan, Arkeolog mendapatkan Kendi dari dinasti Han di daerah itu, kendi itu berasal dari tahun 200-an masehi. 400 tahun sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam di tanah Arab. Mereka juga menemukan tinggalan kayu sisa rumah dari abad ke-4 Masehi, sekitar tahun 300-an, di daerah yang dekat dengan muara Sungai Musi itu.
Berperahu ke hulu, memasuki aliran Sungai Musi, pada daerah pertemuan antara Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering terdapat beberapa prasasti dari tahun 680-an. Berperahu lebih jauh ke hulu akan bertemu dengan Candi Bumiayu. Candi di tepi Sungai Lematang ini diduga dibangun pada abad ke 8 atau 9 Masehi, mungkin di dekat beberapa kampung dan pos dagang. Dan akhirnya, di hulu sekali Sungai Musi, terdapat Candi Bingin Jungut yang berdasarkan temuan arca di dalamnya diperkirakan dibangun pada abad ketujuh, semasa dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di pertemuan tiga sungai tadi. Candi ini mungkin berada di sekitar kampung para pengumpul hasil hutan.
Demikianlah proses suatu kota terbentuk, penuh cerita yang kini menjadi sejarah. Untuk perkembangan sebuah kampung di tahap selanjutnya, bisa dibaca di ‘Gambaran Besarnya Kota di Masa Sriwijaya’.