Narasi yang mapan saat ini mengenai hubungan antara Sumatra dan Jawa di masa kuno adalah bahwa Sumatra berada di bawah pengaruh Jawa. Sumber dari pihak ketiga seperti pedagang dari Arab, Persia, dan China dijadikan dalil untuk membangun argumen supremasi Jawa atas Sumatra. Tetapi sumber dari Sumatra dan Jawa sendiri memberikan gambaran berbeda.
Berdasarkan data tertulis dari dua pulau yang bersebelahan itu, muncul kesan bahwa Sumatra berada dalam posisi yang memengaruhi Jawa, bahkan mungkin pernah mendudukinya selama seratus tahun lebih.
Penelurusan ke sumber Arab juga memberikan temuan yang menarik, yakni mereka tidak pernah menyebut bahwa Sumatra berada di bawah kekuasaan Jawa.
Berikut ini kami sajikan data tertulis dari Sumatra dan Jawa sendiri dilengkapi dengan catatan dari pihak ketiga, yakni Arab, India, dan China. Sumber-sumber ini kami berikan secara berurutan sesuai tahun kemunculannya agar dapat dipahami dengan lebih mudah.
686, serangan pertama Sriwijaya ke jawa. Keterangan mengenai hal ini di dapat dari prasasti Kota Kapur di Bangka barat.
Sebelum 700, prasasti pertama berbahasa Melayu muncul di tanah Jawa. Dimulai oleh Sojomerto yang berisi informasi mengenai kemunculan tokoh bernama Dapunta Selendra.
767, orang-orang dari selatan termasuk Jawa menyerang Sontay di Vietnam, kemungkinan adalah Sailendra dan pasukannya.
774, orang Jawa berkulit gelap dari selatan menyerang Nha Trang di Vietnam, kemungkinan adalah Sailendra dan pasukannya.
775, Raja dari Dinasti Sailendra mendirikan bangunan suci di Nakhon si Thammarat, Thailand.
787, orang Jawa berkulit gelap dari selatan kembali menyerang Nha Trang, kemungkinan adalah Sailendra dan pasukannya.
792 muncul prasasti kedua yang berbahasa Melayu di tanah Jawa. Prasasti Manjusrigrha berisi tentang kabar perbaikan sebuah candi Buddha.
821 muncul prasasti ketiga yang berbahasa Melayu di tanah Jawa. Prasasti Bukateja berisi tiga kata yang belum diketahui maknanya.
827 muncul prasasti keempat dan kelima yang berbahasa Melayu di tanah Jawa. Prasasti Gandasuli I dan II menyebut kata ‘dapunta likha dapunta śurādri hyaŋ guru’.
856 muncul prasasti Wantil yang berisi informasi tentang perang antara Rakai Pikatan melawan ‘walaputra’.
860, Raja Devapaladeva dari Kerajaan Pala di India menghadiahkan tanah di Nalanda kepada Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa. Tanah itu dipergunakan untuk membangun tempat ibadat dan asrama bagi siswa Buddha.
900-an awal, Abu Zayd dari Siraf di Persia menyebut bahwa Zabaj adalah Sriwijaya dan meletakkan Sribuza di dalam wilayahnya. Pada masa ini Maharaja Zabaj menyerang Khmer dan memenggal kepala rajanya. Maharaja Zabaj pada setiap pagi melemparkan sebatang emas ke dalam kolam istana.
929 muncul prasasti Turyan yang memberi informasi tentang pemindahan pusat Kerajaan Medang oleh Mpu Sindok dari Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur.
935 muncul prasasti Anjuk Ladang yang berisi informasi imbalan dari Raja Medang kepada Desa Anjuk Ladang yang telah membantu melawan serangan Sriwjaya.
900-an akhir, Abu Rayhan al-Biruni dari India menyebut bawah di kalangan orang india yang hidup di masanya, Zabaj dikenal sebagai ‘suwarna dib’ (swarnadwipa).
990, Dharmawangsa menyerang Sriwijaya. Menurut catatan dari Kekaisaran China, Raja Medang menyerang Sriwijaya dan untuk beberapa tahun selanjutnya kedua kerajaan dalam keadaan berperang.
999, Kekaisaran China mencatat kabar bahwa utusan dari Sriwijaya tidak bisa pulang ke Palembang karena ibukota sedang diserang Jawa.
1003 Raja Sriwijaya mendirikan kuil Buddha. Catatan Kekaisaran China masa Dinasti Sung menyebutkan bahwa Raja Sri Cudamani Warmadewa mendirikan sebuah kuil Buddha.
1016, Sriwijaya menyerang Medang. Menurut Prasasti Pucangan, musibah besar menimpa Dharmawangsa menyebabkan istananya hancur, dirinya terbunuh, dan kerajaannya musnah.
Memerhatikan urutan-urutan kejadian tersebut. Maka akan terlihat bahwa Sriwijaya dari Sumatra adalah pihak yang menyerang dan menduduki Medang di Jawa. Setelah Medang berhasil mengusir penguasa dari Sumatra, mereka berada dalam keadaan terus menerus diserang oleh Sriwijaya. Tercatat enam kali Medang harus memindahkan ibukota mereka akibat serangan itu, salah satunya tercatat dalam prasasti Anjuk ladang. Keenam tempat itu adalah, Mataram, Mamrati, Poh Pitu, Tamwlang, Watugaluh, dan Wwatan.
Ibukota Medang berawal di utara Yogyakarta, lalu bergerak ke arah utara mendekati Semarang sebelum kembali bergerak ke pedalaman Jawa tengah. Ibukota Medang akhirnya pindah ke arah timur, dalam sebuah pola yang tampak sebagai usaha untuk menjauhi Sriwijaya yang berada di barat dan pesisir utara Jawa yang berada dalam pengaruh Kedatuan itu.
Catatan petualang dari Arab, Persia, dan India pada abad ke-10 dijadikan dalil oleh para sejarawan untuk membangun sebuah argumen yang menjadikan Sumatra sebagai Negara bawahan Jawa. Usaha itu dilakukan dengan mengartikan ‘Zabaj’ sebagai ‘Jawa’. Argumen itu lalu berusaha diperkuat dengan ide bahwa Sailendra adalah penguasa asli Jawa yang berkuasa di Sumatra dan Balaputra adalah Raja Dinasti Sailendra yang lari ke tempat kakeknya yang menjadi raja di Sriwjaya.
Sayangnya tidak ada satu pun prasasti yang menyatakan bahwa Medang menyerang Sumatra sebelum masa Balaputra berkuasa. Tidak ada pula prasasti berbahasa Jawa di Sumatra pada masa antara Sri Jayanasa dan Balaputradewa. Sebaliknya, terdapat prasasti dimana Sriwijaya menyatakan akan menyerang Jawa yang diikuti dengan kemunculan penguasa bergelar ‘Dapunta’ dan prasasti-prasasti berbahasa Melayu di Jawa. Rincian hal itu bisa dibaca ditulisan mengenai Penguasa Sumatra di tanah Jawa.
Catatan perjalanan dari para petualang Arab, Persia, dan India telah jelas menyatakan bahwa ‘Zabaj yang menguasai Serbaza’ adalah Kedatuan Sriwijaya. Beberapa sejarawan lalu berusaha membelokkan itu dengan cara menyamakan ‘Zabaj’ dengan ‘Jawaka’. Usaha-usaha seperti ini tidak berkesesuaian dengan semua sumber tertulis yang semuanya telah kami beberkan sebelum ini.
Kisah yang dapat dibangun dari urutan data di atas menunjukkan bahwa setelah menyatakan menyerang Jawa, Sriwijaya nampaknya berhasil menundukkan Jawa tengah bagian utara dan mendirikan Dinasti Sailendra. Bukti penaklukan ini dari sudut pandang bahasa bisa dibaca disini. Penguasa baru ini mungkin didirikan oleh salah satu pemimpin dari ekspedisi Sriwijaya yang menaklukkan Jawa atau oleh penduduk Jawa sendiri yang dipercaya oleh Sriwijaya.
Raja-raja Sailendra lalu melanjutkan penaklukan ke selatan sampai ke dekat Yogyakarta. Selama menguasai Jawa, Sriwijaya berhasil mengumpulkan kekuatan besar dengan memadukan pasukan dari Sumatra, Jawa barat, dan Jawa tengah. Pasukan itu lalu melakukan berbagai serangan ke wilayah Indochina.
Situasi geopolitik dimana penguasa Sumatera yang mengendalikan Jawa seperti ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa selama masa antara tahun 686 sampai 990 masehi tidak ada catatan mengenai serangan terhadap Sumatera. Jawabannya adalah karena Sumatera yang mengendalikan kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan peperangan dilakukan di tanah di luar pulau Sumatera, dalam hal ini, di Jawa dan di Indocina. Perang-perang ini dilakukan mungkin sebagai wujud usaha perluasan wilayah atau sekadar untuk melemahkan kerajaan-kerajaan pesaing
Pada pertengahan abad ke-9, Penguasa Sailendra di Jawa berhasil diusir oleh penguasa lokal anggota Dinasti Sanjaya dari Medang melalui peperangan. Balaputra yang mungkin adalah pewaris tahta Sailendra di Jawa melarikan diri ke tanah Sumatera, tanah yang diduga adalah tanah asal leluhurnya. Pengusiran itu akhirnya memicu balasan yang keras dan pahit dari Sriwijaya.
Setelah Dinasti Sailendra dihabisi, militer Sriwijaya terus menerus menyerang Medang. Pesisir utara Jawa yang masih dalam pengaruh Sriwijaya menjadi pangkal operasi militer Kedatuan itu dalam menyerang Medang yang berpindah-pindah ibukota di pedalaman Jawa. Prasasti Anjuk Ladang layak diberi perhatian lebih karena memiliki makna penting untuk mengamati situasi di masa itu.
Prasasti ini didirikan oleh penguasa Medang sebagai ucapan terima kasih atas bantuan warga Desa Anjuk Ladang yang telah membantu mementahkan serangan dari Melayu (dalam masa ini adalah bagian dari Sriwijaya). Setelah serangan dimentahkan, maka Medang mendirikan ibukota baru di sebelah barat Anjuk Ladang. Ibukota baru ini berada sekitar 200 kilometer di sebelah timur ibukota lama di Poh Pitu.
Prasasti Anjuk Ladang memberi informasi beharga mengenai dahsyatnya serangan Sriwijaya. Kuatnya serangan itu membuat Medang harus melarikan diri dari Jawa tengah ke Jawa timur dan menghindari daerah pesisir. Mereka awalnya memilih Tamwlang di hilir Sungai Brantas sebagai ibukota, tetapi gangguan dari Sriwijaya membuat mereka mesti berpindah ke hulu di Watugaluh.
Meski sudah berpindah ke hulu tetapi Sriwijaya masih tetap memburu, sampai akhirnya Raja Medang berlari jauh ke Hulu ke dekat Kota Nganjuk sekarang. di situ terdapat Desa Anjuk Ladang, dan berkat bantuan warga desa itu maka Raja Medang bisa memukul mundur tim pemburu Sriwijaya. Medang akhirnya mendirikan ibukota baru di sebelah barat Anjuk Ladang, di hulu anak sungai Begawan Solo, sungai yang di bagian hilirnya menjadi wilayah Penguasa Lwaram.
Medang sempat melakukan pertaruhan terakhir. Saat beribukota di Wwatan mereka mencoba menyerang balik sehingga membuat ibukota Sriwijaya di Palembang berada dalam kepungan. Tetapi itu tidak berlangsung lama dan Medang berhasil diusir pulang.
Sriwijaya lalu melancarkan serangan terakhir yang mematikan, dengan memanfaatkan para penguasa pesisir utara Jawa yang berada dalam pengaruhnya. Dengan bantuan Sriwijaya, Penguasa Lwaram yang memerintah di bagian sebelah utara Jawa timur melancarkan serangan ke ibukota Medang di Wwatan.
Ini adalah akhir bagi Medang. Raja Medang Dharmawangsa Teguh tewas terbunuh di istananya dan kerajaan Medang tamat riwayatnya.
0 thoughts on “Sriwijaya dan Serangan Terus Menerus ke Jawa”