Saat Dapunta Hyang membawa pasukannya untuk menyerang Jawa, sang Maharaja tidak menyebutkan secara persis tempat dimana dia dan pasukannya akan berlabuh. Akhirnya kita hanya bisa menduga-duga berdasarkan data di masa lalu yang masih ada sampai hari ini.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah Maharaja di Kedatuan Sriwjaya. Pusatnya ada di Palembang, dengan wilayah kekuasaan inti di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatra dan pesisir barat Semenanjung Malaya. Pesisir timur Sumatra bagian selatan adalah pengguna bahasa Melayu, karena itu Maharaja Sriwijaya selalu mempergunakan bahasa Melayu dalam setiap prasasti mereka.
Maharaja Sriwijaya dan penduduk Sumatra adalah pengguna bahasa Melayu yang teguh. Semua prasasti yang ada di Sumatra sebelum abad ke-13 hanya mempergunakan bahasa Melayu, termasuk semua Prasasti yang dikeluarkan oleh Sriwijaya. Prasasti dalam bahasa non-Melayu baru muncul di Sumatra pada akhir abad ke-13. Prasasti non-Melayu pertama yang muncul di Sumatra adalah Prasasti Padang Roco di tahun 1286 yang mempergunakan bahasa Sansekerta. Disusul oleh Prasasti berbahasa Jawa, yakni Prasasti Pagaruyung VI di Kapalo Bukit Gombak, yang dibuat di kurun waktu yang kurang lebih sama, yakni akhir abad ke-13.
Keteguhan dalam berbahasa Melayu ini bisa dijadikan petunjuk mengenai kehadiran Sriwijaya di luar wilayah tradisionalnya di Sumatra. Para penguasa Sriwijaya pasti akan mempergunakan bahasa Melayu dalam membuat prasasti, baik itu di Sumatra maupun di luar Sumatra. Contoh itu ada di Filipina.
Pada tahun 1989, ditemukan sebuab prasasti di Laguna de Bay, Manila. Prasasti ini berbahasa Melayu dan ditemukan di Pulau Luzon, Filipina, 2.600 kilometer di timur laut Palembang. Karena mempergunakan bahasa Melayu maka prasasti Laguna dianggap sebagai tanda adanya pengaruh Sriwijaya di kepulauan Filipina oleh para sejarawan.
Jika di tempat sejauh itu para penguasa Sriwjaya atau perwakilannya masih tetap mempergunakan bahasa Melayu, maka tidak akan berlebihan bila di tempat yang lebih dekat mereka akan lebih disiplin dalam mempergunakan bahasa Melayu. Tempat yang lebih dekat itu misalnya di Jawa, pulau yang bertetangga dengan Sumatra.
14 tahun setelah keberangkatan pasukan Sriwijaya ke Jawa, Prasasti berbahasa Melayu mendadak muncul disana. Prasasti itu ditemukan di Sojomerto, sebuah tempat di bagian tengah pesisir utara Jawa, 56 kilometer ke arah barat kota Semarang. Jika prasasti berbahasa Melayu di Filipina dianggap sebagai tanda adanya pengaruh Sriwijaya di Filipina, maka parasasti berbahasa Melayu di Jawa seharusnya diperlakukan seperti itu juga. Bahkan tanda pengaruh Sriwijaya sangat kuat di Jawa.
Karena bukan hanya satu, tetapi ada lima prasasti lainnya yang muncul dalam rentang waktu sekitar 132 tahun. Semua prasasti itu berbahasa Melayu dan didirikan di daerah yang kini termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Pada rentang waktu yang sama di Jawa Tengah hanya terbit dua buah prasasti berbahasa Jawa, satu dalam bahasa Sansekerta, dan satu campuran antara Jawa dan Sansekerta.
Perbandingan antara jumlah prasasti berbahasa Melayu dan Jawa di Jawa Tengah antara tahun 600 sampai 856 menunjukkan adanya dominasi bahasa Melayu atas bahasa Jawa, yakni lima berbanding dua. Jika kemunculan prasasti dan bahasa yang dipergunakannya bisa dijadikan ukuran pengaruh sebuah kerajaan atas suatu wilayah maka Sriwijaya pastilah memiliki pengaruh yang sangat kuat di Jawa, jika bukan malah menguasai pulau itu.
Tiga hal penting yang perlu diperhatikan adalah, pertama, tidak ada prasasti berbahasa Melayu yang terbit di Jawa sebelum Sriwijaya melakukan serangan ke sana pada 686; kedua, prasasti berbahasa Melayu muncul di Jawa mulai dari awal tahun 700-an sampai tahun 832; dan ketiga, tidak ada prasasti berbahasa Jawa yang terbit di Sumatra antara tahun 686 sampai 1250-an, menunjukkan arah pengaruh politik dan budaya bergerak dari Sumatra menuju ke Jawa dan bukan sebaliknya.
Berdasarkan lokasi prasasti dan tahun pembuatannya kita bisa mereka-ulang kemungkinan urutan peristiwa yang terjadi di Jawa Tengah dari tahun 686 sampai 832, yang rinciannya bisa dibaca pada tulisan selanjutnya.
Setelah berangkat dari Sumatra, pasukan Sriwijaya tiba di pesisir utara jawa bagian tengah dan melakukan serangan disana. Serangan itu tampaknya berhasil dengan baik sehingga seorang yang berbahasa Melayu mampu menjadi penguasa dan memerintahkan penulisan prasasti yang mempergunakan bahasa ibunya di tanah Jawa. Prasasti itu ditemukan di Sojomerto.
Dari pesisir utara, Sriwijaya lalu merangsek masuk ke pedalaman Jawa tengah. Disana mereka kembali berjaya sehingga mampu mengeluarkan prasasti berbahasa Melayu, yakni Manjusrigrha pada 792. Letak prasasti ini berada di dekat Kota Yogyakarta saat ini sehingga bisa dibayangkan Pasukan Sriwijaya berhasil menduduki wilayah yang luas dari pesisir utara Jawa sampai ke daerah pedalaman dekat Yogyakarta.
Pada masa selanjutnya, terbit tiga prasasti Melayu di Jawa tengah. Kali ini di lokasi yang lebih mendekati pantai utara jawa daripada ke pantai selatan. Ketiga parasasti itu adalah Bukateja di 821, Gandasuli I, dan Gandasuli II di 832. Gandasuli adalah prasasti terakhir berbahasa Melayu yang muncul di Jawa. Berakhirnya era prasasti melayu di Jaa mungkin berkaitan erat dengan perang yang terjadi antara penguasa lokal Jawa melawan ‘Walaputra’.
Perang itu disebut dalam Prasasti Wantil yang didirikan pada tahun 856. Pada masa sebelum Prasasti Wantil dibuat, terjadi perang antara raja jJawa dari Dinasti Sanjaya melawan ‘Walaputra’. Belum diketahui apakah ‘walaputra’ ini adalah nama seseorang atau nama sekelompok orang. Tetapi kemiripan kata itu dengan nama Maharaja Sriwijaya di Sumatra menggoda banyak Sejarawan untuk menyamakan ‘Walaputra’ dengan si Maharaja. Mengenai kaitan ini bisa dibaca rinciannya disini.
Dalam peperangan itu, ‘Walaputra’ kalah dan sejak saat itu tidak ada lagi prasasti berbahasa Melayu didirikan di Jawa.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa operasi militer Sriwiaya untuk menghukum Jawa berhasil dengan baik. Maharaja Sriwijaya berhasil menaklukan kerajaan kalinga di utara Jawa dan menempatkan Dapunta Selendra untuk mengelola tanah yang baru ditaklukan itu. Dapuna Selendra lalu mendirikan dinasti Sailendra yang berkuasa di Jawa selama sekitar 140 tahun. Kekuasaan mereka berakhir setelah raja lokal dari Dinasti Sanjaya memberontak melawan Dinasti Sailendra.
1 thought on “Bahasa Melayu Sebagai Petunjuk Sriwijaya Menaklukan Jawa”