Sriwijaya pernah berjaya di tanah Jawa dan meninggalkan jejak nyata yang ada sampai sekarang.
Sejarawan menyebut bahwa sebuah prasasti berbahasa Melayu dari tahun 900 yang ditemukan di Luzon menjadi bukti adanya pengaruh Sriwijaya di Kepulauan Filipina. Berdasasarkan itu, maka lima prasasti berbahasa Melayu yang ada di Jawa sudah lebih dari cukup untuk menyebut bahwa Sriwijaya memiliki pengaruh yang amat kuat di Jawa, jika bukan menguasainya.
Kemunculan lima prasasti berbahasa Melayu di Jawa terjadi setelah Maharaja Sriwijaya di Sumatra mengumumkan bahwa dia sedang dalam perjalanan untuk melakukan serangan ke Jawa dan berakhir setelah Raja setempat di Jawa berperang melawan ‘Walaputra.’ Rincian mengenai bahasa sebagai bukti kehadiran Sriwijaya di Jawa bisa dibaca disini. Sedangkan untuk bukti menurut prasasti bisa dibaca di paragraf selanjutnya.
Berikut ini adalah rangkaian sejumlah prasasti antara tahun 686 sampai 856 yang terkait dengan Sriwijaya dan Jawa. Prasasti-prasasti ini kami sajikan secara berurutan membentuk kronologi kejadian di masa lampau agar lebih mudah dipahami.
686, muncul keterangan mengenai serangan Sriwijaya ke Jawa yang disebut tidak patuh. Informasi ini di dapat dari prasasti Kota Kapur di Bangka barat.
Sekitar 700, prasasti pertama berbahasa Melayu muncul di tanah Jawa, yakni Prasasti Sojomerto yang berisi informasi mengenai kemunculan tokoh bernama Dapunta Selendra.
792 muncul prasasti kedua yang berbahasa Melayu di tanah Jawa. Prasasti Manjusrigrha berisi berita tentang perbaikan sebuah candi Buddha.
821 muncul prasasti ketiga yang berbahasa Melayu di tanah Jawa. Prasasti Bukateja berisi tiga kata yang belum diketahui maknanya.
832 muncul prasasti keempat dan kelima yang berbahasa Melayu di tanah Jawa, yakni Prasasti Gandasuli I dan II.
856 muncul prasasti Wantil yang berisi informasi tentang perang antara Rakai Pikatan melawan ‘walaputra’ yang disebut sebagai ‘penumpuk batu’.
Berdasarkan informasi dari tulisan prasasti yang dikeluarkan sendiri oleh para penguasa di Jawa, kita bisa membangun reka ulang kisah yang paling mungkin terjadi pada masa itu.
Setelah Maharaja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa memerintahkan serangan ke Jawa pada tahun 686, di pulau itu muncul seorang tokoh bernama Dapunta Selendra. Namanya ditulis dalam Prasasti Sojomerto, sebuah prasasti yang diperkirakan dibuat pada akhir abad ke-7 dan awal abad ke-8, antara tahun 650 sampai 750, dengan tahun 700 sebagai angka tengahnya.
Gelar ‘Dapunta’ yang disandang oleh Salendra serupa dengan gelar ‘Dapunta’ yang disandang oleh Maharaja Sriwijaya Sri Jayanasa, yakni ‘Dapunta Hyang’. Kesamaan gelar dan kemunculan yang tepat setelah serangan Sriwijaya ke Jawa menimbulkan kecurigaan bahwa keduanya memiliki hubungan. Mungkin Sri Jayanasa dan Selendra adalah saudara atau berasal dari keluarga yang sama. Kemungkinan lainnya adalah mereka berdua adalah para pemimpin di dua kota pelabuhan di Sumatra Selatan yang membentuk persekutuan yang dalam persekutuan itu Sri Jayanasa yang menjadi pemimpinnya.
Setelah Kerajaan kuno Kalinga di utara Jawa tengah berhasil ditaklukan, Dapunta Hyang Sri Jayanasa menugaskan Dapunta Selendra untuk mengendalikan wilayah taklukan itu. Sebagai pemimpin baru di tanah asing, Dapunta Selendra merasa perlu untuk memperkenalkan siapa dirinya kepada warga di wilayahnya, karena itu dibuatlah Prasasti Sojomerto.
Dapunta Selendra lalu mendirikan dinasti Sailendra di Jawa. Musuh mereka adalah raja-raja setempat yang berasal dari dinasti Sanjaya. Peperangan diantara keduanya mungkin terjadi secara terus menerus dengan Dinasti Sanjaya yang berada dalam posisi terdesak, jika memerhatikan lokasi dan tahun terbit prasasti berbahasa Melayu di Jawa.
Dinasti Sailendra lalu bergerak masuk ke pedalaman Jawa tengah, melewati dataran tinggi Dieng, Gunung Sumbing, dan Gunung Merbabu, sampai ke sisi sebelah selatan Gunung Merapi, di sebelah utara Kota Yogyakarta saat ini. Disana keturunan si penguasa Melayu mengeluarkan prasasti Manjusrigrha pada tahun 792 yang berisi pemberitahuan bahwa dia mendirikan candi Buddha yang kini dikenal dengan nama Candi Sewu.
Sebagai penguasa asing dari pulau seberang dengan agama Buddha yang berbeda dengan mayoritas penduduk Jawa yang beragama Hindu, maka tidak akan mengherankan bila muncul rasa tidak suka dari penduduk Jawa kepada Raja-raja Sailendra. Rasa tidak suka itu mungkin makin membesar setelah penduduk dieksploitasi secara besar-besaran untuk menumpuk batu dalam usaha membangun istana di Ratu Boko dan Candi Buddha Raksasa di Borobudur.
Penduduk Jawa tengah lalu angkat senjata, mereka memberontak dibawah pimpinan Rakai Pikatan dari dinasti saingan Sailendra, Sanjaya. Rakai Pikatan berhasil memukul mundur Raja Sailendra dari utara Yogyakarta sampai ke utara Gunung Sumbing. Disana, Raja Dari Dinasti Sailendra masih sempat mengeluarkan prasasti pada tahun 832. Tetapi peperangan semakin memanas dengan Raja Sailendra yang makin terdesak, untungnya bala bantuan segera datang. Bersama pasukan tambahan dari Sumatra ini si Raja Sailendra berada di posisi di atas angina. Dia berhasil mendesak Rakai Pikatan sampai kembali ke posisi awal di utara Yogyakarta.
Raja Sailendra si penumpuk batu menjadikan istana di perbukitan Ratu Boko sebagai markasnya. Pada sebuah perang penghabisan, istana di Ratu Boko sepertinya berhasil dikepung oleh Pasukan Rakai Pikatan. Si Raja Jawa sepertinya berhasil mengalahkan Raja dari Dinasti Sailendra, membuatnya terbunuh atau lari kembali ke Sumatra.
Kemenangan itu lalu diabadikan dalam Prasasti Wantil pada tahun 856. Prasasti itu menyebut bahwa Rakai Pikatan bertempur melawan bala bantuan dari ‘musuh yang menumpuk batu’, ‘Walaputra’. Sebuah ungkapan yang mungkin merujuk pada kegemaran raja-raja Sailendra untuk membangun candi dan istana.
Setelah peperangan itu, tidak pernah ada lagi prasasti berbahasa Melayu muncul di Jawa.
Meski berhasil dikalahkan, tetapi Sriwijaya tidak berhasil sepenuhnya diusir dari Jawa tengah dan timur, Sriwijaya tetap meneror Jawa dan bahkan membangun sekutu dengan para penguasa pelabuhan di pesisir utara Jawa, seperti yang tertuang dalam tulisan ‘Serangan Terus Menerus Sriwijaya Kepada Jawa’.
Setelah perseteruan antara Sriwijaya dan Medang berakhir. Sriwijaya akan terus bertahan sampai sekitar 300 tahun kemudian. Setelah Sriwijaya tiada maka kerajaan Majapahit muncul di Jawa bagian timur.
1 thought on “Sailendra, Penguasa Sumatra di Tanah Jawa”