Jawa sebelah barat bertetangga dengan Pulau Sumatra. Pulau besar di bagian barat laut itu telah lama menjadi tuan rumah bagi perdagangan jarak jauh antara India dan Asia tenggara daratan dan kepulauan. Jalur perdagangan yang ramai yang melintasi pesisir barat dan timur Sumatra pasti telah memberikan limpahan keuntungan kepada Jawa bagian barat.
Situs kuno di Anyer dan Buni menunjukkan bahwa mereka telah hadir sebagai pemukiman besar yang ramai sejak tahun 100-an masehi. Gerabah buatan abad keempat masehi dari India telah ditemukan di situs tersebut. Perdagangan yang ramai menawarkan banyak keuntungan, temasuk bagi daerah pedalaman yang menjadi sumber barang dagangan. Secara bersamaan, permukiman-permukiman ini tumbuh, mengundang banyak orang datang dan akhirnya beragam profesi pun berkembang. Situasi yang berujung pada terciptanya sebuah sistem masyarakat yang rumit, terdiri dari beragam etnik, pekerjaan, dan kelas ekonomi.
Hukum lalu diciptakan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, dua hal penting agar perekonomian dan perdagangan dapatterus berjalan. Orang kuat lalu bermunculan untuk menjalankan hukum itu. Satu diantaranya akan menjadi yang paling kuat dan berkuasa, dia yang akan menjadi raja yang pertama.
Raja akan menetapkan wilayah dengan menegakkan batu bertulis dengan jejak kakinya. Dia juga akan memastikan bahwa perdagangan berjalan lancar dengan melebarkan alur sungai atau membuat alur yang baru, sebuah pekerjaan kolosal yang akan dia umumkan peresmiannya melalui sebuah batu bertulis agar bisa dibaca setiap orang dari masa ke masa. Itulah yang terjadi di Jawa barat selama abad kelima. Situasi yang aman dan terkendali disertai dengan kekayaan yang melimpah membuat raja memiliki waktu dan uang untuk menerbitkan enam prasasti dalam waktu sekitar 30 tahun.
Hal yang sama tidak ditemui di bagian lain pulau Jawa. Jawa bagian tengah dan timur sepertinya hanya memiliki permukiman kecil dengan tatanan masyarakat yang sederhana pada abad ini, baik di pesisir maupun di pedalaman.
Setelah masa yang sangat aktif, Jawa barat melihat masa jeda dalam penerbitan prasasti dan masa ini berlangsung sangat lama. Selama 500 tahun kemudian tidak akan ada prasasti lain yang terbit di Jawa bagian barat. Sebuah situasi yang sangat mencurigakan bagi sebuah daerah yang sebelumnya berkembang begitu pesat dan mengungguli seluruh pulau Jawa pada masa awal sejarah.
Raja di Jawa barat yang sebelumnya sangat aktif mengeluarkan prasasti kini tidak menerbitkan prasasti sama sekali. Terdapat dua kemungkinan atas masa kekosongan prasasti itu, pertama, para raja penerus tidak suka membuat prasasti; kedua, para raja disana mendapatkan gangguan yang mencegah mereka menerbitkan prasasti pada masa kekuasaanya.
Hal yang berbeda terjadi di Jawa bagian tengah. Wilayah itu terlambat 150 tahun dari saudaranya di barat dalam hal menerbitkan prasasti. Prasasti ini terbit antara tahun 501 sampai 600 dan berisi mengenai pujian atas kesucian sumber mata air. Tidak ada nama tokoh yang ditulis dalam prasasti ini sehingga membuka kemungkinan bahwa prasasti Tukmas dibuat bukan oleh penguasa dalam tingkat apapun. Penyebutan mata air sebagai ‘sesuci Sungai Gangga’ memberi petunjuk halus bahwa prasasti ini terkait dengan suatu ritual keagamaan dan mungkin dibuat oleh seorang atau sekelompok pemuka agama setempat.
Prasasti yang dikeluarkan oleh seorang penguasa baru muncul di Jawa bagian tengah pada tahun 732 masehi oleh Raja Sanjaya. 332 tahun setelah hal yang sama dilakukan oleh Raja Purnawarman dan 290 tahun setelah prasasti terakhir muncul di Jawa barat. Raja Purnawarman dan Raja Sanjaya adalah dua Raja asli Pulau Jawa, yang berbicara dalam bahasa setempat dan mengeluarkan prasasti dalam bahasa Sansekerta. Antara masa Raja Purnawarman dan Raja Sanjaya terbit satu prasasti lain yang berbeda dengan kebiasaan mereka sebagai penguasa asli.
Prasasti Sojomerto terbit di pulau Jawa di akhir tahun 600-an atau di awal tahun 700-an, antara 675 sampai 725 masehi. Prasasti yang memperkenalkan keluarga Dapunta Selendra ini mendahului prasasti silsilah raja-raja Jawa yang diterbitkan oleh Raja Sanjaya. Prasasti berbahasa Melayu kuno ini bahkan lebih dahulu terbit di Pulau Jawa daripada prasasti berbahasa Jawa sendiri, yang baru muncul 50 tahun kemudian.
Prasasti berbahasa Melayu kuno Sojomerto yang diterbitkan oleh Dapunta Selendra berdiri di pesisir utara Jawa bagian tengah sedangkan Prasasti berbahasa Sansekerta Canggal yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya didirikan di pedalaman Jawa tengah, di sisi barat daya Gunung Merapi. Diantara kedua wilayah ini terbitlah prasasti berbahasa Jawa kuno Plumpungan.
Kemunduran Jawa barat
Seperti ditunjukka di atas, setelah masa pendek tetapi sangat aktif, Kerajaan di Jawa barat lalu tiba-tiba berhenti mendirikan prasasti dalam waktu yang sangat lama, yakni 500 tahun. Setelah mengeluarkan prasasti berbahasa Sansekerta Pasir Awi dan Muara Cianten sekitar tahun 430-an masehi, Jawa barat baru melihat terbitnya prasasti baru pada tahun 932 masehi di daerah Pasir Muara. Uniknya, bukannya kembali mempergunakan bahasa Sansekerta atau mempergunakan bahasa setempat Sunda, prasasti pertama setelah lima abad ini memakai bahasa Melayu kuno.
Setelah 500 tahun kekosongan sumber tulisan, kita diberi informasi bahwa daerah Jawa bagian barat dikembalikan kepada kekuasaan Raja Sunda dalam sebuah prasasti berbahasa Melayu kuno.
Tiga prasasti dengan tiga bahasa di Jawa tengah.
Prasasti pertama yang diterbitkan oleh seorang tokoh di Jawa tengah mempergunakan bahasa Melayu kuno dan terletak di pesisir utara, jauh dari letak prasasti berbahasa Sansekerta yang dikeluarkan oleh raja lokal yang terbit di pedalaman bagian selatan Jawa tengah. Prasasti yang kedua ini berdekatan dengan prasasti ketiga yang mempergunakan bahasa Jawa.
Berdasarkan urutan waktu terbit maka prasasti Melayu kuno Sojomerto menjadi yang pertama, disusul oleh prasasti Sansekerta Canggal, dan terakhir prasasti Jawa Plumpungan. Plumpungan adalah prasasti pertama di Indonesia yang mempergunakan bahasa Jawa.
Jawa tengah sudah pasti dihuni oleh penduduk asli yang berbahasa setempat yakni bahasa Jawa. Sebagai penganut agama Hindu, Buddha, atau Siwa mereka pastinya menghargai bahasa Sansekerta sebagaimana muslim menghargai bahasa Arab. Dengan begitu bisa dipahami mengapa prasasti di Jawa mempergunakan bahasa Sansekerta.
Penduduk Jawa berbicara dalam bahasa Jawa, tetapi mereka yang tinggal di pesisir utara dan sekitarnya sepertinya juga bisa berbicara dan membaca dalam bahasa Melayu. Dengan begitu isi prasasti Sojomerto bisa dipahami oleh siapa saja yang melihatnya disana. Bahasa Melayu sepertinya telah luas dipergunakan sehingga penduduk pulau Jawa pun bisa memahaminya. Bahasa ini mungkin dipopulerkan oleh para pedagang dari Pulau Sumatra atau Kalimantan yang singgah di pantai utara Jawa. Pedagang dari India yang untuk sampai ke Jawa harus melalui Pulau Sumatra pun sepertinya berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun-tahun selanjutnya, bahasa Melayu kuno mungkin telah menyebar penggunaannya ke bagian pedalaman Jawa tengah. Sampai tahun 832 masehi masih akan terbit tiga prasasti lain yang mempergunakan bahasa Melayu kuno di penjuru Jawa bagian tengah, menunjuka bahwa penduduk di ketiga daerah itu juga memahami bahasa Melayu Kuno.
Bahasa Melayu bukanlah bahasa keagamaan seperti Sansekerta, bukan bahasa asli pulau Jawa, dan bukan pula bahasa perdagangan. Perdagangan di dalam pulau Jawa pastilah telah berlangsung dalam bahasa Jawa selama berabad-abad dan berjalan lancar sebelum bahasa Melayu datang. Perdagangan itu pun tetap berlangsung ketika bahasa Melayu keluar dari Pulau Jawa.
Hadirnya bahasa Melayu di bagian tengah pulau Jawa mungkin memiliki hubungan dengan hadirnya bahasa dari Sumatra itu di bagian barat pulau Jawa.
Meski bahasa Melayu tidak memberi tanda kedatangan di Jawa barat, tetapi ia meninggalkan tanda kepergian pada abad kesepuluh melalui Prasasti Kebon Kopi II. Hal yang bertolak belakang terjadi di Jawa tengah, dimana bahasa Melayu memberitahukan kedatangannya tetapi tidak meninggalkan tanda kepergian yang pasti.