Prasasti yang pertama muncul di Indonesia mempergunakan bahasa Sansekerta yang berasal dari India. Prasasti itu adalah prasasti Mulawarman dari Kerajaan Kutai di Kalimantan bagian timur sekitar tahun 400 masehi. Prasasti Mulawarman disusul oleh serangkaian prasasti berbahasa Sansekerta peninggalan Kerajaan Tarumanagara di Jawa sebelah barat. Setelah sejumlah prasasti berbahasa Sansekerta, muncul prasasti berbahasa asli nusantara yang diawali dengan prasasti berbahasa Melayu.
Prasasti berbahasa Melayu pertama kali terbit pada tahun 682 masehi di suatu tempat yang sekarang menjadi bagian dari Kota Palembang, disusul oleh prasasti kedua pada tahun 684 yang juga terbit di Kota Palembang. Lalu pada tahun 686 terbit prasasti Kota kapur di Pulau Bangka, di sebelah timur laut Palembang. Prasasti Kota Kapur berisi ancaman dan imbalan bagi penduduk di Kota Kapur. Terdapat tiga prasasti lain yang memiliki isi serupa dengan Kota kapur yang memberi petunjuk bahwa ketiganya dibuat dalam waktu yang sama atau berdekatan. Ketiga prasasti itu adalah Palas Pasemah di Lampung selatan, Telaga Batu di Palembang, dan Karang Brahi di hulu Jambi.
Prasasti Kota Kapur berisi informasi mengenai keberangkatan pasukan Sriwijaya untuk menaklukan ‘bhumi Jawa’ yang tidak mau tunduk. Pada era yang sama dengan terbitnya prasasti Kota Kapur, terbit pula prasasti berbahasa Melayu di pesisir utara pulau Jawa, yakni di Sojomerto, yang berada di antara Kota Pekalongan dan Kota Semarang.
Secara keseluruhan terdapat tujuh buah prasasti berbahasa Melayu dalam gelombang pertama yang berlangsung antara tahun 650 sampai 750 masehi. Lima buah prasasti berada di bagian selatan Pulau Sumatra, satu buah di Pulau Bangka, dan satu buah di Pulau Jawa. Semua prasasti berbahasa Melayu di Sumatra dan Bangka mempergunakan huruf Pallawa sedangkan prasasti Melayu di Jawa mempergunakan huruf turunan Pallawa yakni Kawi.
Prasasti Kedukan Bukit menceritakan tentang perjalanan yang dilakukan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang diakhiri dengan pendirian sebuah permukiman bernama Sriwijaya. Prasasti kedua yakni Talang Tuo memberikan informasi mengenai pembuatan sebuah taman untuk penduduk Sriwijaya. Prasasti ketiga adalah Kota Kapur yang memiliki isi yang serupa dengan tiga prasasti lain, yakni ancaman kemusnahan bagi mereka yang tidak taat kepada Kedatuan Sriwijaya dan doa agar memperoleh kesejahteraan bagi mereka yang taat. Satu hal yang membedakan prasasti Kota kapur dengan prasasti Karang Brahi, Palas Pasemah, dan Telaga Batu adalah informasi pada akhir prasasti yang berisi informasi mengenai serangn Sriwijaya ke Pulau Jawa. Prasasti ketujuh memberikan informasi nama seorang tokoh laki-laki, yakni Dapunta Selendra, beserta nama istri dan nama kedua orang tuanya.
Informasi yang disediakan oleh ketujuh prasasti itu bisa dirangkai menjadi sebuah kronologi kejadian yang memberi gambaran mengenai situasi di selatan Pulau Sumatra dan utara Jawa pada masa tersebut.
Pada 682 masehi Dapunta Hyang Sri Jayanasa memulai ekpedisi militernya dengan menduduki daerah di Mukha Upang atau sekitarnya dan mendirikan sebuah permukiman bernama Sriwijaya. Setelah itu Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan sebuah taman untuk penduduk Sriwijaya. Taman yang diresmikan pada 684 masehi itu dipenuhi oleh berbagai pohon yang bermanfaat dan buah yang dapat dimakan dan dilengkapi pula dengan kolam dan bendungan.
Pada saat yang bersamaan, Dapunta Hyang Sri Jayanasa tetap melanjutkan ekspedisi militernya ke berbagai tempat di sekitar Sriwijaya. Kaling, Holing, Holotan, Tolomo, Tulangpohwang, dan Moluoyu adalah pemukiman besar yang beberapa kali mengirim utusan ke Kekaisaran Cina mulai 430 sampai 666 masehi. Keenam tempat itu berada di bagian selatan Sumatra atau di bagian barat dan tengah Jawa. Sejak Dapunta Hyang Sri Jayanasa memulai ekspedisi militernya pada 682, semua permukiman besar itu berhenti mengirimkan utusan diplomatik dan dagang mereka ke Cina.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang menyatakan diri hendak menghukum ‘bhumi Jawa’ karena menolak tunduk sepertinya berhasil menempatkan seorang dapunta seperti dirinya untuk berkuasa di pesisir utara Jawa. Dapunta Selendra akan menjadi awal dari deretan raja-raja dari wangsa Sailendra yang berkuasa di Jawa dan akhirnya di Sriwijaya.
Sumatra adalah pulau yang luas, ukurannya setara dengan 3 kali Pulau Jawa. Pedagang dan petualang yang datang dari anak benua India dan pulau Srilanka aka sampai ke bagian utara pulau Sumatra. Jika datang dengan melintasi lautan maka mereka akan tiba di pesisir bagian barat, antara pulau Weh di utara Aceh sampai ke Sibolga di Sumatra Utara. Jika para pedagang dan petualang itu menyusuri pantai dari utara anak benua India sampai ke pesisir barat Semenanjung Melayu maka mereka akan menyeberangi selat Malaka dan berlabuh di pesisir timur Sumatra, antara Sigli di Aceh sampai Tembilahan di Riau.
Sementara itu bagian pertama Pulau Sumatra yang ditemui Pedagang dan Petualang yang datang dari arah Indocina dan Cina adalah pesisir timur, antara Muara Berbak di Jambi sampai Muara Musi di Sumatra Selatan.
Pedagang dari India, Srilanka, Indocina, dan Cina akan bertemu di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatra yang terbentang dari Sigli di utara sampai ke Maringgai di selatan. Perdagangan pasti berkembang pesat. Pedagang dari India dan Srilanka membawa barang-barang mereka sendiri untuk ditukar dengan barang lain dari Indocina atau Cina, dan begitu pula sebaliknya. Mereka juga akan bersaing untuk mendapatkan hasil pertanian dan hutan Sumatra. Sumatra menjadi tuan rumah untuk kegiatan perdagangan yang sangat aktif dan ramai dan alih-alih hanya sebagai penonton mereka juga turut serta dalam perdagangan itu.
Hasil perkebunan dan hutan dibawa dari pedalaman ke pesisir melalui ratusan anak sungai di belahan timur Pegunungan Bukit Barisan yang membelah Sumatra menjadi dua bagian. Sungai yang paling banyak memiliki anak sungai akan menjadi tempat yang paling banyak mengumpulkan hasil hutan dan perkebunan. Perkampungan-perkampungan nelayan yang ada di muara sungai itu akan menjadi tempat berdagang yang paling ramai.
Musi menjadi sungai dengan sistem aliran sungai terbesar di Sumatra. Sungai sepanjang 750 kilometer itu memiliki 22 daerah aliran sungai yang merupakan bagian dari sistem DAS Musi yang 8 diantaranya merupakan sungai besar, yakni Komering, Ogan, Leko, Lakitan, Kelingi, Rawas, Lematang, dan Semangus. Menurut BPS Sumsel, seluruh sungai dalam sistem DAS Musi jika dijumlahkan maka memiliki panjang total 33.017 kilometer.
Dengan jalan air serumit itu yang menjangkau jauh ke berbagai tempat di pedalaman maka bisa dibayangkan bahwa kampung-kampung di hilir Sungai Musi pasti dipenuhi oleh beraneka ragam hasil hutan dan kebun dalam jumlah yang amat banyak. Itu akan membuat perkampungan di Muara Musi itu menjadi tujuan utama para pedagang, baik yang datang dari barat maupun timur. Mereka akan menjadi pusat perdagangan di seluruh Sumatra, bahkan mungkin di seluruh bagian barat kepulauan Asia Tenggara.
Posisi yang strategis itu membuat sejumlah orang menjadi sangat kaya dan beberapa diantaranya mungkin berseteru atau bersekutu untuk mendirikan sebuah entitas politik yang akan mengendalikan sumber daya ekonomi dan perdagangan di Sumatra dan daerah-daerah sekitarnya. Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah yang paling menonjol dari para orang kaya itu dan berhasil mendirikan Sriwijaya.
Semua prasasti berbahasa Melayu yang terbit dalam gelombang pertama ini terkait dengan Kedatuan Sriwijaya. Pada masa-masa selanjutnya Sriwijaya melalui wangsa Sailendra akan menerbitkan beberapa prasasti lain di Jawa bagian tengah, baik yang berbahasa Melayu maupun berbahasa Sansekerta. Wangsa atau Dinasti Sailendra juga meninggalkan warisan lain di Jawa, salah satunya berupa monumen. agama Buddha terbesar di Asia Tenggara, yakni Candi Borobudur.
Prasasti berbahasa Melayu masih akan terbit di Pulau Sumatra sampai abad ke-14, enam ratus tahun sejak prasasti pertama dikeluarkan oleh yang perkasa Dapunta Hyang Sri Jayanasa.