Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah tokoh sejarah yang diyakini sebagai pendiri Kedatuan Sriwijaya. Namanya muncul pada dua prasasti yang berbeda. Gelar ‘Dapunta Hyang’ pertama kali muncul dalam prasasti Kedukan Bukit yang terbit pada tahun 682 masehi. Dalam baris kedua prasasti itu tertulis ‘klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di’ yang diterjemahkan menjadi ’paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di’. Sedangkan nama beserta dengan gelarnya baru dtemukan pada prasasti berikutnya yakni prasasti Talang Tuwo. Kalimat pertama pada baris kedua bertuliskan ‘parwaṇḍa punta hiyaŋ śrī jayanāga’ yang diterjemahkan menjadi ’pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa’.
Kini kita memiliki seorang tokoh yang benar-benar ada dalam sejarah yang memiliki nama ‘Sri Jayanasa’ dan bergelar ‘Dapunta Hyang’. Kata ‘Hyang’ merujuk kepada sebuah bentuk roh atau jiwa yang memiliki kekuatan melebihi manusia normal dalam kebudayaan kuno Indonesia. Pada masa modern kata ‘Hyang’ dianggap memiliki arti yang sama dengan kata ‘dewa’ dan ‘tuhan’. Menurut Boechari, ‘Dapunta’ adalah semacam gelar pemimpin, dipadukan dengan kata ‘Hyang’ maka bisa disimpulkan bahwa Sri Jayanasa adalah seorang pemimpin yang serupa dewa.
Berdasarkan kedua prasasti itu diketahui bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanasa membawa pasukan besar untuk bertempur di Mukha Upang dan akhirnya mendirikan Kedatuan Sriwijaya pada tahun 682 masehi. Dia lalu membuat sebuah taman besar bagi warga Kedatuan Sriwijaya yang diberi nama taman Sriksetra pada 684 masehi. Dua tahun kemudian Dapunta Hyang Sri Jayasana menerbitkan prasasti di Kota kapur yang berisi ancaman dan imbalan bagi penduduk Sriwijaya. Prasasti dengan isi yang nyaris sama juga ditemukan di Karang Brahi, pedalaman Jambi, dan Palas Pasemah, ujung selatan Lampung. Patut diduga kedua prasasti ayng disebut belakangan itu diterbitkan dalam waktu yang bersamaan atau merupakan satu rangkaian prasasti dalam ekpedisi militer yang sama.
Prasasti yang diterbitkan oleh dapunta Hyang dapat memberi petunjuk mengenai luas wilayah yang kini dia kuasai, yakni sama dengan gabungan antara provinsi Sumatra Selatan, Jambi, Lampung, dan Bangka, dan sebagian wilayah utara Pulau Jawa seperti yang diisyaratkan oleh bagian akhir Prasasti Kota Kapur.
Melihat pencapaian yang dia raih, Sri Jayanasa adalah orang hebat yang memang layak mendapatkan gelar kepemimpinan yang setara dewa. dia berhasil menggalang banyak orang untuk masuk ke dalam pasukannya dan mengelolanya sehingga menjadi kekuatan tempur yang disegani. Di bawah kepemimpinannya pasukan Sriwijaya mampu menaklukan berbagai pelabuhan dagang dan permukiman di pedalaman dan mendirikan sebuah kekuasaan yang terbentang luas di bagian barat Asia tenggara. Sayangnya tidak banyak yang diketahui dari sosok hebat ini.
Selain dari kegiatan militer dan proyek sipil yang tertera di prasasti yang dia terbitkan, tidak banyak hal lain yang diketahui mengenai sosok Dapunta Hyang Sri Jayanasa, terutama mengenai asal usulnya. Sebagian orang mengatakan bahwa Jayanasa adalah pemimpin dari luar Palembang yang menaklukan Mukha Upang lalu mendirikan sebuah permukiman baru di Palembang yang menjadi ibukota Kedatuan Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit memberikan petunjuk bahwa Sri Jayanasa berangkat bersama pasukannya dari suatu tempat bernama Minana pada 19 Mei 682 dan pada 16 Juni 682 dia mendirikan Kedatuan Sriwijaya. Terdapat waktu 28 hari antara waktu keberangkatannya dari Minana sampai waktu mendirikan Sriwijaya. Dalam waktu 28 hari itu Sri Jayanasa membawa pasukannya dari Minana menuju ke Mukha Upang, bertempur disana, dan lalu pergi ke Palembang untuk melakukan persiapan untuk mendirikan Kedatuan Sriwijaya. Dengan begitu waktu 28 hari tidak seluruhnya dihabiskan di perjalanan melainkan dibagi empat, yakni waktu perjalanan menuju Mukha Upang; waktu untuk menaklukan Mukha Upang; waktu untuk melanjutkan perjalanan ke Palembang; dan waktu untuk mempersiapkan pendirian Sriwijaya di Palembang.
Dengan asumsi seperti itu maka bisa diperkirakan dari waktu 28 hari yang tersedia maka perjalanan menuju ke Mukha Upang yang paling banyak menyita waktu, mungkin antara 20 sampai 24 hari. Bila Dapunta Hyang diyakini berasal dari luar Palembang, maka kampung halamannya haruslah dicari di tempat yang memakan waktu perjalanan sekitar 20 sampai 24 hari untuk sampai ke Mukha Upang, sesuai teknologi yang tersedia pada masa itu.
Prasasti Kedukan Bukit menyediakan informasi bahwa pasukan yang dipimpin Dapunta Hyang Sri Jayanasa terbagi dua antara pasukan darat dan air. Sebagian besar menaiki sampan dan sebagian kecil berjalan kaki. Satu hal yang tidak diketahui adalah apakah pasukan darat itu sejak awal dari Minana telah berjalan kaki atau mereka terlebih dahulu menaiki sampan dari Minana lalu turun dan berjalan kaki saat telah mendekati Mukha Upang.
Jika perjalanan itu sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan kapal, maka beberapa lokasi dimana Minana berada adalah timur laut anak benua India, Bangladesh, Myanmar, Cina, Kalimantan timur laut, atau di Kalimantan timur.
Sedangkan bila perjalanan menuju Mukha Upang itu merupakan kombinasi antara perjalanan laut dan darat maka Minana mungkin berada di sekitar pantai barat dan timur semenanjung Melayu, pantai timur Sumatra bagian utara, pantai barat Sumatra bagian selatan, Jawa timur sebelah utara, Bali, pesisir tenggara Kalimantan, dan Indo Cina.
Dimana pun Minana ini berada, Mukha Upang harus melihat dan merasakan serbuan darinya pada tahun 682. Pada tahun yang sama Sriwijaya akan didirikan di sebuah tanah kosong yang menjadi cikal bakal kota Palembang.
Informasi yang disediakan oleh prasasti Kedukan Bukit berada dalam era yang sama dengan masa perjalanan seorang pendeta agama Buddha dari Cina ke pesisir timur Pulau Sumatra bagian selatan. I-Tsing menulis bahwa dirinya tiba di sebuah kota bernama Sribhoga di sebelah selatan Melayu pada tahun 671 masehi. Dia tinggal selama enam bulan di Sribhoga sebelum melanjutkan perjalanan ke Melayu, Kedah, dan India. I-Tsing lalu kembali ke Sribhoga pada tahun 685 dan tinggal disana selama sebelas tahun sebelum pulang ke Cina. Menurut Wolters, Sribhoga tempat I-tsing singgah dan tinggal adalah tempat dimana Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan Kedatuan Sriwijaya.
Kembali ke dugaan Sri Jayanasa adalah orang asing yang menaklukan Mukha Upang dan mendirikan Sriwijaya pada Tahun 682, maka kejadian itu pastilah diketahui oleh I-Tsing yang singgah ke Palembang pada tahun 671 dan kembali ke sana pada 685. I-Tsing mengenal penguasa Palembang-Sribhoga karena pada tahun 671 sang penguasa telah berbaik hati memberinya tumpangan kapal untuk menuju India. Jika penguasa yang sama telah digantikan oleh penguasa baru, maka I-tsing pasti akan memberikan catatan tambahan pada buku perjalanannya, seperti yang dia lakukan saat menyinggung Melayu.
Wolters mengatakan bahwa setelah kembali ke Sribhoga dari Nalanda, I-Tsing menyadari bahwa Melayu yang pada 671 adalah sebuah kota pelabuhan merdeka sekarang telah menjadi bagian dari Sribhoga. Karena itu I-Tsing menambahkan keterangan ‘sekarang telah menjadi Sribhoga’ pada saat menyebut kata ‘Melayu’ sebagai tanggapan atas perubahan yang terjadi. Hal yang sama tidak dia lakukan pada Sribhoga.
I-Tsing mungkin melihat bahwa penguasa Sribhoga pada tahun 685 sama seperti penguasa kota itu pada tahun 671 sehingga tidak merasa perlu menambahkan catatan apapun. Selama sebelas tahun menetap di Palembang, I-Tsing juga tidak melihat adanya serangan musuh kepada Palembang-Sribhoga. Dapat disimpulkan bahwa antara tahun 671 sampai 695 Palembang tidak mengalami serangan apapun.
Dengan demikian, dugaan bahwa Dapunta Hyang Srijayanasa adalah orang asing yang menyerang dan menguasai Palembang untuk mendirikan Kedatuan Sriwijaya dapat dianggap tidak tepat.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah orang asli Sribhoga sendiri yang telah berkuasa sejak 671, 11 tahun sebelum serangan kepada Mukha Upang terjadi dan proklamasi berdirinya Sriwijaya pada 682.
Mengenai kemungkinan asal usul leluhur Sri Jayanasa akan dibahas dalam tulisan terpisah.