Dinasti Sailendra mungkin adalah dinasti yang paling terkenal dari masa kuno nusantara. Mereka dianggap mengendalikan sebuah wilayah luas yang terbentang dari pesisir Indo Cina di utara sampai ke Pulau Jawa di selatan. Dinasti Sailendra juga membangun Candi batu terbesar di Asia tenggara, yakni Borobudur. Keagungannya itu membuat Dinasti Sailendra menjadi rebutan berbagai pihak.
Jawa, Sumatra, dan India adalah tiga tempat yang mengaku menjadi asal mula Dinasti Sailendra. Tulisan ini akan berupaya memberikan bukti yang mendukung pengakuan Sumatra, sebagai tempat asal Dinasti Sailendra. Lima alasan akan diberikan sebagai dasar pengakuan Sumatra sebagai asal Dinasti Sailendra yang akan disertai dengan empat bukti pendukung bahwa Sumatra Selatan adalah kampung halaman Sailendra.
Waktu Kemunculan
Pendiri Dinasti Sailendra adalah Dapunta Selendra. Dia adalah sosok sejarah, benar-benar ada. Namanya muncul dalam sebuah prasasti yang ditemukan di pantai utara Pulau Jawa bagian tengah, antara Pekalongan dan Semarang. Pada baris ketujuh dalam prasasti yang diberi nama ‘Sojomerto’ itu, terpahat nama ‘Selendra’.
Prasasti itu muncul dalam waktu yang berdekatan dengan pengumuman yang dibuat oleh Sriwijaya dari Sumatra untuk menghukum ‘bhumi jawa’ yang tidak patuh. Pengumuman itu dibuat pada tahun 686 masehi.
Sebelum Sriwijaya mengirim ekspedisi militer mereka ke Jawa, sebuah kerajaan besar telah berdiri di pantai utara Jawa, kerajaan itu bernama Kalinga. Kekaisaran Cina mencatat sebuah kerajaan dari kepulauan di selatan yang bernama Holing. Kerajaan ini pernah mengirim utusan kepada mereka pada 640 dan 666 masehi. Tetapi sejak Sriwijaya melancarkan operasi militer mereka ke ‘bhumi jawa’ pada 686 masehi kerajaan Holing berhenti mengirimkan utusan.
Kerajaan Holing dalam catatan Cina ini diduga sama dengan kerajaan Kalinga yang diperkirakan berpusat di sekitar Kota Pekalongan. Setelah Sriwijaya mengirim ekspedisi militer ke Jawa, mereka mendadak berhenti mengirim utusan ke kekaisaran Cina dan di dekat tempat yang sama sebuah prasasti yang memperkenalkan tokoh Selendra diterbitkan.
Bahasa Prasasti
Prasasti Sojomerto yang memperkenalkan tokoh Selendra diterbitkan dalam bahasa Melayu kuno. Jika Selendra adalah orang asli Jawa, yang berkuasa di Pulau Jawa atas orang-orang bersuku Jawa yang mempergunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari maka akan sangat mudah bagi Selendra untuk memperkenalkan dirinya mempergunakan bahasa yang dimengerti oleh semua bawahannya. Tetapi dia tidak melakukan itu. Mungkin karena dia memang bukan orang Jawa.
Selendra juga bukan orang India, karena itu dia tidak mempergunakan bahasa Sansekerta untuk memperkenalkan dirinya. Dia adalah orang Sumatra yang berbicara dalam bahasa Melayu dan menerbitkan prasasti dalam bahasa ibunya.
Gelar
Selendra sang pendiri Dinasti Sailendra membawa gelar ‘Dapunta’ di depan namanya. Gelar tersebut terpahat pada baris keenam dalam prasasti Sojomerto.
Gelar itu sama persis dengan gelar yang disandang oleh penguasa tertinggi Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Menurut Boechari, gelar ‘Dapunta’ adalah gelar rendah di kalangan masyarakat Jawa. Gelar itu terkait dengan posisi pemimpin biara atau tempat ibadat. Pada masa yang sama, para penguasa Jawa mempergunakan gelar ‘prabu’ dan ‘rakai’. Perbedaan ini cukup menjelaskan bahwa ‘Dapunta’ adalah gelar yang tidak dipergunakan oleh penguasa di Jawa dan harus dicari asalnya di luar pulau itu.
Sumatra telah melihat adanya seorang pemegang gelar ‘Dapunta’ yang menjadi maharaja, yakni Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Penguasa yang naik tahta pada waktu yang kurang lebih sama dengan kemunculan Dapunta Selendra di Jawa.
Aliran Agama
Dinasti Sailendra adalah penghayat agama Buddha aliran Mahayana, aliran yang sama seperti yang diusung oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa di Palembang. Pada masa Dapunta Selendra datang, Pulau Jawa bagian tengah dikuasai oleh Dinasti beragama Hindu aliran Siwa. Selendra sendiri diyakini beragama Siwa berdasarkan gaya bahasa prasasti Sojomerto yang dia keluarkan. Tetapi beberapa waktu kemudian dia atau penerusnya berubah menjadi penganut aliran Mahayana dari agama Buddha. Mungkin karena mendapatkan pengaruh dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Asal Usul Nama
Nama ‘Selendra’ diduga adalah bentuk yang berubah dari serapan kata ‘Sailendra’. ‘Sailendra’ sendiri dibentuk dari dua kata ‘Saila’ dan ‘Indra’ yang memiliki arti ‘Raja Pegunungan’. Kata ‘Sailendra’ di India kuno dipergunakan untuk menyebut pegunungan Himalaya yang membentang memanjang tanpa putus dari barat laut sampai ke timur laut India. Rangkaian pegunungan di kepulauan Asia tenggara yang dapat dianggap setara dengan Pegunungan Himalaya adalah Pegunungan Bukit Barisan di Sumatra.
Pegunungan Bukit Barisan terbentang tanpa putus dari utara sampai ke selatan Pulau Sumatra. Rupa buminya mungkin terlihat seperti sejumlah puncak gunung yang berbaris memanjang satu di belakang yang lain. Mungkin dari situlah asal namanya berasal, sebagai cara warga Sumatra untuk menyebut gunung yang mereka lihat berbaris-baris tanpa henti. Penduduk Bukit barisan pasti menyadari bahwa mereka tinggal di sebuah rangkaian pegunungan yang memanjang sejauh mata memandang. Jika mereka memiliki penguasa maka tidak akan mengherankan bila si penguasa mengambil nama ‘Raja Pegunungan’, alias ‘Sailendra’.
Berdasarkan lima hal di atas maka sekarang kita memiliki alasan untuk menganggap Dapunta Selendra si pendiri dinasti Sailendra adalah seorang tokoh dari Sumatra yang berkuasa di pulau Jawa. Tetapi, dimanakah persisnya dia berasal?.
Karena Sriwijaya didirikan di Palembang oleh persekutuan para Datu yang dipimpin oleh Sri Jayanasa, maka Selendra pastilah berasal dari suatu tempat di sekitar Kota Palembang. Dugaan itu didasarkan pada serangan pertama yang Sri Jayanasa dan para Datu lakukan, yakni menyerang Mukha Upang.
Palembang dan Mukha Upang berada di sungai yang sama tetapi Palembang berada lebih di hulu, sekitar 45 kilometer di sebalah barat Mukha Upang. Pada masa itu Mukha Upang mungkin telah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang cukup besar dan menyaingi Palembang, membuat pedagang asing lebih memilih untuk berhenti di pelabuhan mereka dan berdagang disana, tanpa perlu berlayar lebih dalam sampai ke Palembang. Persekutuan para Datu di Palembang yang ingin menguasai perdagangan di pantai timur Sumatra harus memulai ambisi mereka dengan menaklukan Mukha Upang agar bisa membawa pasukan mereka keluar menuju ke pantai timur dan melancarkan serangan kemana saja mereka suka.
Melihat situasi seperti itu, daerah asal Selendra mesti di cari di Palembang atau di sekitar Palembang yang mengarah ke barat, ke daerah Pegunungan Bukit Barisan. Tempat itu harus telah berkembang sebelum Sriwijaya ada, memiliki bukti kehadiran kebudayaan kuno yang tinggi, dan memiliki ciri aliran Siwa dan aliran Mahayana. Kita akan melihat apakah yang kita cari tersedia di Sumatra Selatan.
Megalit
Sumatra Selatan memiliki ratusan buah lebih megalit, membuatnya menjadi provinsi yang terbanyak memiliki megalit di Indonesia. Ratusan megalit itu tersebar di 41 situs yang sebagian besar berada di Kabupaten Lahat. Tempat itu berada di dataran tinggi Bukit Barisan, antara 500 sampai 1.000 meter dari atas permukaan laut. Dua megalit yang telah diteliti memiliki usia karbon 1.400 dan 1.000 tahun. Megalit tertua telah ada sejak 600-an masehi, sebelum atau semasa dengan dapunta Hyang Sri Jayanasa dan Dapunta Selendra. Ratusan megalit lain menanti untuk diteliti dan mungkin beberapa diantaranya akan memberikan angka yang mengejutkan.
Kebudayaan batu besar ini menjadi bukti adanya peradaban tinggi yang aktif di sebelah barat Kota Palembang. Peradaban ini memiliki kemampuan untuk membuat karya seni dari batu besar dalam jumlah banyak yang tersebar di wilayah yang luas dan kebudayaan seperti itu tidak muncul dalam waktu semalam. Dibutuhkan masa berpuluh tahun, jika bukan ratusan tahun, untuk mengembangkan budaya memahat batu mempergunakan peralatan pertukangan seadanya sesuai masa itu.
Kebudayaan pengusung batu besar ini memiliki hubungan dengan kebudayaan lain yang berkembang di hilir sungai yang sama dan di pesisir. Hubungan itu mungkin awalnya adalah hubungan dagang antara sumber komoditas di hulu dengan psuat dagang di hilir. Selanjutnya hubungan itu mungkin bertambah menjadi hubungan politik yang akan menjami kelancaran perdagangan antara kedua pusat tersebut.
Percandian
Sumatra Selatan memiliki percandiannya sendiri. Percandian ini terdiri dari 13 buah candi bata yang berada di Bumi Ayu, sebuah lokasi yang terletak di tepi Sungai Lematang antara Lahat di barat dan Palembang di timur. sungai ini bermuara ke Sungai Musi. Selain itu ditemukan pula sisa-sisa candi di Nikan, Jepara, Tingkip, dan Bingin Jungut.
Sebagian dari candi-candi tersebut diduga didirikan pada abad kesepuluh masehi oleh masyarakat sekitar. Itu menunjukkan bahwa telah terdapat permukiman penduduk jauh sebelum candi didirikan. Permukiman itu lalu tumbuh menjadi cukup besar dan mampu mengembangkan budaya yang memadai untuk membuat mereka bisa mengelola diri mereka sendiri dan mendirikan candi.
Artefak
Sebuah arca Buddha Awalokiteswara telah ditemukan di daerah Bingin Jungut jauh di hulu sungai Musi. Arca tersebut diduga berasal dari abad ketujuh sampai delapan masehi. Uniknya, pada bagian belakang arca Buddha tersebut tertera nama yang terkait agama Hindu. Arca Buddha ini diduga dipersiapkan sebagai hadiah dari seseorang beragama Hindu kepada orang beragama Buddha yang belum diketahui, mungkin kepada seorang tokoh setempat atau kepada warga secara keseluruhan di permukiman setempat.
Nama Hindu pada arca Buddha menunjukkan bahwa kedua aliran itu telah ada dan berkembang di pedalaman Palembang. Hubungan antara kedua aliran agama itu pun berjalan baik,
Toponimi
Terdapat tiga tempat di Sumatra Selatan menyandang nama ‘Kedaton’. Ahli bahasa mengatakan bahwa nama ‘Kedaton’ dibentuk dari kata ‘datu’ yang diberi awalan dan akhiran ‘ke-an’. Kata ‘ke-datu-an’ itu lalu berubah dalam penyebutan menjadi ‘Kedaton’. ‘Ke-Datu-an’ adalah kata yang dipergunakan untuk menyebut lokasi dimana seorang ‘Datu’ tinggal, Datu yang sama seperti Datu Sri Jayanasa dan Datu Selendra.
‘Kedaton’ yang terdekat dari kota Palembang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Letaknya hanya 41 kilometer arah selatan dari Bukit Siguntang. ‘Kedaton’ kedua berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu, sekitar 95 kilometer ke arah barat daya Kota Palembang dan ‘Kedaton’ terakhir berada 170 kilometer di sebelah barat Palembang, di Kabupaten Lahat.
Kedaton di Lahat terletak di dataran tinggi Bukit Barisan dan di dekat pusat peradaban batu besar yang meninggalkan ratusan buah lebih megalit. Lokasinya berada di tepi sungai Lematang, sungai yang sama yang mengalir melalui percandian Bumi Ayu dan bermuara ke Sungai Musi di sebuah tempat yang terletak sekitar 53 kilometer arah barat Bukit Siguntang. Sedangkan tempat bernama ‘Kedaton’ di OKU berada di tepi sungai Ogan, sungai besar yang bermuara ke sungai Musi persis di tempat yang berhadapan dengan Bukit Siguntang. Kedaton terakhir terletak tepat di selatan kota Palembang dan berada tepat di tepi sungai Komering.
Dari tiga tempat ini, Kedaton yang berada di Lahat memiliki hal yang menarik. Dia terletak di dalam lingkungan budaya batu besar yang semasa dengan Sriwijaya, berada di tepi sungai penting yang memiliki kompleks percandian dan terhubung langsung dengan Sungai Musi.
Melihat pada informasi yang tersedia, maka kandidat terkuat daerah asal Daputa Selendra adalah daerah dataran tinggi Besemah yang berada di tepi sungai Lematang. Kebudayaan batu besar yang menghasilkan ribuan megalit mungkin memiliki cukup orang yang tersebar di sejumlah pemukiman. Mereka lalu mengangkat orang yang terkuat diantara mereka menjadi pemimpin dengan menyandang nama ‘Raja Pegunungan’ dan bergelar ‘Dapunta’. Si Pemimpin ini mungkin awalnya beragama Siwa tetapi berpindah menjadi Mahayana.
Penguasa dataran tinggi di pedalaman ini mengendalikan pusat pengumpulan komoditas dagang, seperti damar dan emas. Mereka pasti memiliki hubungan dagang dengan pelabuhan-pelabuhan di hulu Musi seperti Palembang, hubungan yang mungkin berkembang menjadi hubungan politik dan militer untuk menjamin kelancaran dan kesuksesan perdagangan mereka.
Sebagai orang pedalaman yang selalu mempergunakan bahasa Melayu, Selendra mungkin tidak seluwes Sri Jayanasa dalam berkomunikasi dengan dunia di luar Sumatra Selatan, itu mungkin menjadi penyebab dia membuat prasasti berbahasa Melayu padahal sedang berkuasa atas orang Jawa di tanah Jawa, yakni Prasasti Sojomerto. Masalah pada prasasti Sojomerto dimana terdapat gaya penulisan aksara yang mencirikan gaya yang lebih tua seperti yang ada di prasasti Mulwarman di Kalimantan mungkin bisa dijelaskan juga oleh status Selendra sebagai orang pedalaman Sumatra selatan.
Gaya aksara yang sama mungkin berkembang di Kalimantan dan Sumatra, tetapi ramainya pelabuhan Palembang membawa gaya aksara baru sehingga mendorong gaya aksara yang lama terdesak ke pedalaman. Gaya aksara yang lama itu lalu dibawa keluar oleh Selendra bersama juru tulisnya dari pedalaman Sumsel ke pesisir utara pulau Jawa.
Pada akhirnya, Dapunta Selendra mungkin berasal dari dataran tinggi Besemah di Sumatra Selatan. Sejumlah informasi yang mendukung telah kami sajikan. Tetapi selayaknya ilmu pengetahuan, perkembangan menuju kea rah yang lebih baik akan terus terjadi seiring tersedianya data yang makin akurat.
Diperlukan banyak penelitian lapangan di berbagai tempat di Sumatra Selatan untuk mendukung teori Selendra berasal dari pedalaman Palembang ini. Teori ‘Selendra berasal dari Lahat’ ini akan berubah menjadi makin kuat atau malah melemah sesuai dengan informasi termutakhir yang disediakan oleh hasil penggalian atau dari temuan prasasti baru.
Tulisan ini dibuat untuk mendorong adanya usaha yang lebih banyak dalam melakukan penelitian lapangan di dataran tinggi Sumatra Selatan. Penelitian-penelitian ini bisa saja diinisiasi oleh pemerintah kabupaten/kota atau oleh lembaga pendidikan dan masyarakat umum yang antusias. Tetapi penelitian itu harus bekerjasama dengan Balai Arkeologi Sumatra Selatan agar dapat dilakukan dalam cara yang sesuai sehingga dapat menuai informasi yang maksimal.