Pempek adalah kuliner khas Palembang yang disukai oleh banyak orang dan dikenal luas di Indonesia dan mancanegara. Kuliner berbahan dasar sagu ini memiliki beragam bentuk dan metode penyajian yang mampu menggugah selera.
Tulisan ringan ini akan mencoba menelusuri nama awal dan riwayat penganan khas kota di tepian sungai Musi ini. Penelusuran ini akan dimulai dari namanya.
Nama
Meski dikenal luas dengan nama ‘pempek’, tetapi orang yang turun temurun telah tinggal di Palembang cenderung menyebut penganan ini dengan nama ‘kelesan’. Setelah sempat tenggelam, kata ‘kelesan’ akhir-akhir ini kembali muncul dan dipergunakan sebagai nama ‘asli’ dari makanan yang dibuat dari sagu dan ikan ini.
Kamus Melayu-Inggris yang dibuat oleh R.J. Wilkinson dan terbit pada tahun 1901 memberikan informasi mengenai adanya kata ‘kelesa’. Disana ‘Kelesa’ disebut sebagai ikan tetapi sayangnya Wilkinson tidak memberikan rincian mengenai apa jenis ikannya. Untungnya kata ‘kelesa’ masih dipergunakan sampai saat ini sehingga masih dapat ditelusuri artinya.
‘Kelesa’ atau ‘klesak’ adalah kata yang dipergunakan dalam dunia Melayu untuk menyebut ikan Arwana Asia dari kelas Scleropages formosus dan Scleropages aureus. Ikan ini tersebar di semenanjung Melayu, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan. Di Sumatra dan Kalimantan ikan ‘kelesa’ disebut dengan nama ‘tangkeleso’ atau ‘tangkelese.’ Ikan ini adalah ikan purba yang telah hidup sejak 220 juta tahun yang lalu, semasa dengan hewan darat raksasa dinosaurus.
Pada masa dahulu mungkin orang Palembang menambahkan daging ikan tangkelese ini pada adonan olahan sagu yang menjadi bahan makanan mereka. Makanan itu lalu diberi nama ‘kelesan’, sebuah kata yang dibentuk dari nama bahan yang mereka tambahkan, yakni ikan tangkelese.
Kandidat lain untuk asal usul kelesan berasal dari sebuah suku di Filipina yang memiliki hubungan dengan Melayu Palembang di masa yang sangat lampau. Tausug.
Dalam Bahasa suku Tausug di Filipina terdapat kata ‘kullus’ yang diturunkan dari kata ‘keles’ dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat. Kata itu kurang lebih berarti ‘menjadi kecil’ yang bila dikaitkan dengan bengkak atau benjolan maka bengkak dan benjolannya mengecil; pada ban dan balon berarti mengempis; dan pada manusia atau hewan berarti menjadi kurus.
Ketika sagu dipersiapkan sebagai makanan, dia akan berbentuk gumpalan besar yang lembab. Gumpalan besar itu lalu dioleh menjadi bentuk bulat yang lebih kecil atau silinder panjang yang dipotong-potong sehingga bisa dimasukkan ke dalam wadah yang dibuat dari daun. Proses yang membuat gumpalan besar menjadi lebih kecil sehingga bisa diwadahi itu sesuai dengan makna kata ‘keles’ dalam Western Malayo-Polinesian dan ‘kullus’ dalam bahasa Tausug.
Setelah mengetahui kemungkinan nama awalnya, maka tulisan ringan ini akan dilanjutkan dengan mempergunakan kata ‘kelesan’ sebagai pengganti kata ‘pempek’.
Riwayat
Tidak ada waktu yang pasti mengenai kapan kelesan pertama kali diciptakan. Informasi yang tersedia sangat minim sehingga mereka yang paling percaya diri pun hanya bisa mereka-reka sejarah pempek tanpa data yang memadai. Informasi yang terbatas itu akan disinggung pada paragraf setelah ini dengan ditambahi satu informasi kecil lainnya.
Setelah Berjaya di Palembang, Dapunta Hyang Sri Jayanasa membuat taman untuk warga Palembang yang dia beri nama Sriksetra dan untuk meresmikannya, Maharaja pertama Sriwijaya itu menerbitkan prasasti Talang Tuo pada tahun 684 masehi. Prasasti itu memberikan daftar nama tumbuhan yang tersedia di taman Sriksetra, salah satunya adalah pohon Sagu.
Metroxylon sagu adalah pohon yang tumbuh di rawa-rawa di seluruh kepulauan Asia Tenggara, termasuk di Palembang. Bagian dalam batangnya dapat diolah menjadi bubuk sagu yang pada masa lalu menjadi makanan pokok bagi mayoritas penduduk kepulauan dari barat sampai ke timur. Kini sagu masih dikonsumsi secara luas di pulau Mentawai, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Satu hal yang hampir bisa dipastikan adalah bahwa pada masa Sriwijaya sagu adalah makanan pokok di Sumatera, termasuk di Palembang.
Dukungan untuk hal itu datang dari Cina. Seorang petugas kekaisaran Cina bernama Cha Ju-kua menggambarkan Sriwijaya dalam bukunya yang berjudul Chu-fan-chi yang terbit pada tahun 1225. Saat menyingung makanan, Cha Ju-kua menulis “Mereka menyebut Raja mereka ‘Lung-ts’ing’. Dia tidak memakan biji-bijian dan hanya memakan sha-hu. Jika tidak memakan sha-hu maka pada tahun itu akan terjadi kemarau.”
Kata ‘Sha-hu’ pada catatan itu oleh penerjemah Chu-fan-chi diartikan sebagai ‘sagu’.
Jika Maharaja Sriwijaya menjadikan sagu sebagai makanan utamanya maka cukup aman untuk berasumsi bahwa masyarakat sriwijaya di Palembang pun mengkonsumsi sagu. Mengenai bagaimana masyarakat kuno di Palembang mengolah sagu untuk dikonsumsi mungkin bisa dilihat pada bagaimana masyarakat masa kini di Mentawai, Sulawesi, Maluku, dan Papua mengolah sagu.
Meski ikan tangkelese sudah ada di masa itu, tetapi sampai sekarang belum ada cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah penduduk Palembang di masa Sriwijaya telah mencampurkan daging ikan tangkelese ke dalam gumpalan sagu mereka. Prasasti Talang Tuo dan Chu-fan-chi tidak memberikan informasi mengenai hal tersebut.
Bantuan mungkin datang dari satu tempat di daratan Asia Tenggara, sebuah petunjuk dalam bentuk yang sangat longgar tetapi mungkin akan sangat bermanfaat dan menentukan.
Pada paruh kedua abad kedelapan masehi, satu tempat di Cham, Vietnam kuno, mendapatkan serangan dari Kun-lun. Pada sebuah prasasti yang didirikan untuk mengenang perlawanan atas serbuan itu, orang Cham menyebut bahwa orang Kun-lun datang menaiki kapal dan memakan makanan yang baunya menyengat seperti jenazah.
‘Kun-lun’ adalah kata yang dipergunakan oleh orang Cina dan para tetangganya, termasuk Cham, untuk menyebut orang Melayu.
Serangan militer pastilah melibatkan banyak orang dengan banyak kapal dan orang Melayu yang mampu melakukan serangan militer antar pulau pada abad kedelapan masehi adalah orang Melayu yang mampu melakukan koordinasi dengan baik. Koordinasi itu bisa terjadi mungkin karena mereka semua berada dalam satu pemerintahan kerajaan yang sama dan kerajaan Melayu yang ada pada masa itu adalah Sriwijaya yang berpusat di Palembang.
Berdasarkan informasi dari prasasti Talang Tuo kita tahu bahwa orang Melayu Sriwijaya mengkonsumsi sagu.
Sependek yang diketahui, sagu tidak mengeluarkan bau busuk. Tetapi sagu mungkin saja mengeluarkan bau busuk jika dalam proses pengolahannya menjadi makanan sagu diberi tambahan bahan lain yang bisa membusuk, daging ikan misalnya. Adonan sagu dan daging ikan inilah yang mungkin tertinggal oleh pasukan Melayu Sriwijaya setelah menyerang Cham. Orang Cham yang melihat adonan itu lalu mengenangnya sebagai makanan yang mengeluarkan bau busuk seperti jenazah.
Jika itu adalah yang terjadi maka adonan sagu dan pempek bekal Pelaut Melayu Sriwijaya untuk menyerang Cham mungkin adalah bentuk paling awal dari makanan bernama kelesan yang dikenal hari ini. Bagaimana bentuknya secara persis mungkin tidak akan pernah diketahui tetapi ini adalah petunjuk terdekat yang dapat dijadikan bukti bahwa kelesan, dalam bentuknya yang paling awal, telah ada sejak masa Sriwijaya, yakni setidaknya sejak abad kedelapan masehi.
Hanya inilah informasi yang tersedia mengenai riwayat kemunculan kelesan. Dalam tulisan selanjutnya kami akan mencoba mereka-ulang riwayat kelesan berdasarkan variasi dalam bentuk, cara dalam penyajiannya, dan sebaran kelesan.
aku nak pempek kates…