Saat ini jalur rempah sedang menjadi tema pembicaraan yang hangat. Berbagai webinar diselenggarakan di berbagai kota untuk membahas jalur rempah selama pandemic melanda. Membicarakan jalur rempah belum sempurna bila tidak membahas peran Palembang sebagai salah satu kota dagang terbesar dalam sejarah Indonesia. Berikut ini kami rangkumkan peran Palembang dalam perdagangan rempah dari masa ke masa.
Sriwijaya, 670 – 1225 Masehi
Sriwijaya adalah kedatuan yang menguasai mayoritas wilayah pesisir Pulau Sumatera yang merupakan tempat dimana pelabuhan penting berada dan perdagangan antar bangsa berlangsung di Asia Tenggara. Sriwijaya juga mengendalikan arus lalu lintas perdagangan yang melalui Selat Malaka dan Selat Sunda. Sejak pertama kali didirikan, Sriwijaya beribukota di Palembang secara tersu menerus sampai ke masa puncaknya. Sekitar 100 tahun terakhir masa hidupnya, Sriwijaya berpindah ibukota ke pedalaman Jambi.
Dikutip dari buku Taylor Jean Gelman, catatan sejarah kekaisaran Cina menyebutkan bahwa selama abad keenam, ketujun, kedelapan, kesepuluh, dan kesebelas Sriwijaya mengirimkan misi dagang ke Cina dengan membawa lada, getah, rotan, gading gajah, dan produk-produk lainnya. Sementara itu seorang pejabat pelabuhan di salah satu kota di Cina Chau Ju Kua pada abad ketigabelas menulis bahwa kapal-kapal dari Sriwijaya tiba di pelabuhan Cina untuk berdagang dengan membawa cengkeh dan kapulaga.
Post Sriwijaya, 1226-1500 Masehi
Palembang yang kini tidak lagi menjadi ibukota Sriwijaya tetap menjalani kehidupannya sebagai kota perdagangan. Kelompok pedagang dari berbagai bangsa menetap di kota tua itu, yang terbesar diantara mereka adalah etnik Cina.
Pada masa ini Palembang tetap menjadi kota yang penting. Nilai pentingnya itu terlihat selama muhibah Laksamana Cheng Ho ke Asia Tenggara, Palembang menjadi salah satu pelabuhan yang paling sering dia singgahi.
Pada masa ini, Palembang berdagang dengan berbagai pelabuhan di Asia Tenggara daratan dan Asia Timur. berdasarkan catatan yang ditemukan di Taiwan, raja disana telah melakukan perdagangan yang sangat menguntungkan dengan Palembang. Mereka membeli lada di Palembang untuk dijual dengan harga berlipat-lipat di Cina dan Jepang.
Kerajaan dan Kesultanan Palembang, 1500-1821 Masehi
Tome Pires mencatat bahwa pada masa ini Palembang adalah tanah yang sangat baik, jauh lebih baik daripada pulau Jawa. Dari berbagai komoditas perdagangan di Palembang, dia menyebutkan bahwa Palembang memiliki bawang putih dan bawang merah dalam jumlah tak terhingga.
Pada masa selanjutnya, ketika telah berdagang dengan pendatang Eropa, Palembang menjadi salah satu sumber utama lada di Asia Tenggara. Pada masa ini lada ditanam di daerah Ulu Sungau Musi dan daerah Komering.
Belanda adalah negara pendatang yang sangat bersemangat untuk menguasai perdagangan rempah. Mereka membuat kesepakatan dagang dengan Sultan Palembang untuk memastikan monopoli mereka atas produk lada yang dihasilkan oleh kota di tepi Sungai Musi tersebut. Mereka bahkan berani memblokir Sungai Musi dan menyerang Palembang untuk memastikan bahwa Sultan mematuhi perjanjian dagang yang tidak adil itu.
Kolonial, 1821 – 1945 Masehi.
Meski kini telah berada di bawah kendali Belanda, Palembang tetap meneruskan perannya sebagai pelabuhan yang memperdagangkan berbagai komoditas, salah satunya adalah lada.
Seorang pejabat di Divisi Perdagangan dalam Departemen Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Pemerintah Belanda yang bernama Stroomberg menyebutkan bahwa lada hitam dari Palembang dan Aceh adalah lada hitam dengan kualitas terbaik. Dari Palembang, lada nomor satu itu dikirim ke Batavia sebelum diekspor ke luar negeri.
Indonesia, 1945 – 2020
Setelah menjadi bagian dari Indonesia, Palembang tetap memelihara statusnya sebagai penghasil dan pedagang rempah. Per tahun 2018 terdapat hampir 12 ribu hektar lahan perkebunan lada di 8 kabupaten kota dalam provinsi Sumatera Selatan, diantaranya ada di Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan Komering Ulu Selatan, daerah yang menghasilkan lada sejak masa Kesultanan Palembang masih ada. Kebun tersebut menghasilkan lebih dari 8 ribu ton lada yang diantaranya dikirim ke Amerika Serikat, India, Singapura, dan Spanyol.
Berdasarkan rangkuman singkat dari masa ke masa di atas terlihat jelas bahwa sejak awal perdagangan rempah dimulai Palembang telah aktif terlibat di dalamnya. Sejak 1350 tahun yang lalu Palembang telah menempatkan dirinya sebagai pemain utama dalam perdagangan rempah di Asia Tenggara, dimana di dalamnya termasuklah Indonesia.
Palembang sendiri adalah kota tertua di Indonesia yang dihuni terus menerus sejak awal berdirinya sampai saat kami mengetik artikel pendek nan ringan ini. Untuk mendukung klaim ini Palembang memiliki akte kelahiran yang berupa sebongkah batu bertulis yang sekarang dikenal dengan nama prasasti Kedukan Bukit. Prasasti tersebut mencantumkan angka tahun 682 Masehi.
Aktifitas dagang kota Palembang bahkan lebih tua daripada akte kelahirannya sendiri. Kronik Cina mencatat bahwa Palembang telah mengirimkan misi dagang mereka sejak tahun 670 masehi.
Dengan semua informasi yang tersedia di atas, adalah hal mustahil untuk menutup mata atas peran penting Kota Palembang dalam sejarah perdagangan rempah di Indonesia. Palembang adalah salah satu kota pertama di Indonesia yang melakukan perdagangan rempah internasional, jika bukan malah yang pertama sekali. Mengabaikan Palembang akan menjadi kekeliruan yang fatal dalam usaha membangun narasi jalur rempah di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.