Sriwijaya adalah organisasi politik kuno berbentuk Kadatuan yang pernah berkuasa selama 7 abad di kepulauan Asia Tenggara sebelah barat. Sriwijaya diyakini dimulai dari Palembang lalu berakhir di Jambi dan mengendalikan perdagangan yang melalui Selat Sunda dan Selat Malaka.
Banyak hal yang menarik terkait dengan Sriwijaya, salah satunya mengenai nama tempat dari mana pendiri Sriwijaya berangkat menuju Palembang. Nama tempat itu adalah ‘Minanga Tamwan’. Banyak orang telah mencurahkan waktu dan kepakaran mereka untuk menentukan dimanakah Minanga Tamwan berada. Untuk semua usaha yang telah mereka lakukan kita harus menghaturkan rasa terima kasih.
Dalam tulisan pendek nan ringan ini kami hendak mengusulkan lokasi baru bagi letak Minanga Tamwan. Ini bukan sebuah usaha sok gagah untuk menyelesaikan masalah dari mana Dapunta Hyang berangkat menuju Palembang melainkan sebuah usaha untuk memperumit masalah dengan menambahkan lokasi baru, membuat peminat Sriwijaya makin mumet karena makin banyak yang mesti dipikirkan.
Kata ’Minanga’ terdapat dalam prasasti Kedukan Bukit yang berasal dari tahun 682 atau 683 masehi. Minanga dituliskan sebagai nama tempat dimana Dapunta Hyang Sri Jayanasa berangkat menuju ke Mukha Upang untuk mendirikan Sriwijaya. George Coedes yang mengutip hasil kerja Krom menuliskan nama tempat itu sebagai ‘Minana’. Penulisan yang sama juga diberikan oleh Boechari. ‘Minana’ disini disepadankan dengan kata moderen ‘minanga’ dengan variasi lain berupa ‘binanga’.
Kata ‘minanga’ secara umum berarti ‘mulut sungai’ atau ‘muara’. Kata ini termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan banyak dijumpai di wilayah Asia Tenggara. Berbagai tempat dengan nama ‘minanga’ tersebar di Kepulauan Filipina, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera bagian selatan. Sementara varian ‘Binanga’ jamak ditemui sebagai nama tempat di Sumatera bagian utara.
Jika usaha untuk mencari tempat asal keberangkatan Dapunta hyang Sri Jayanasa hanya bergantung pada kata ‘minanga’ maka itu akan menjadi hal yang sulit.
Perjalanan Dapunta Hyang dari Minanga sampai di Mukha Upang berlangsung selama sekitar 27 hari dengan mempergunakan perahu yang membawa ribuan orang. Pada masa yang kurang lebih sama, I-Tsing berangkat dari Cina daratan menuju ke Fo-Shi, yang diyakini berada di Palembang, dalam sebuah perjalanan selama 20 hari. Bila lokasi keberangkatan Dapunta Hyang berada dalam jarak 27 hari perjalanan laut dari Palembang maka lokasi Minanga bisa berada dimana saja antara Sumatera sampai Jepang atau antara Sumatera sampai Papua.
Untuk memperkecil ruang pencarian, maka kami menyarankan untuk memperhatikan kata ‘tamwan’ dan menyandingkannya dengan kata ‘minanga’ untuk mendapatkan nama tempat ‘minanga tamwan’.
Kami bukan ahli bahasa, hanya saja kami memerhatikan adanya perubahan penggunaan huruf antara kata yang sama di masa yang berbeda. Kata-kata di masa Sriwijaya masih dipergunakan di masa modern tetapi dengan sedikit penyesuaian. Kata-kata Melayu kuno seperti ‘wulan’, ‘mawa’, ‘wala’, ‘riwu’, dan ‘wuat’ yang ada dalam prasasti Kedukan Bukit menjadi ‘bulan’, ‘bawa’, ‘bala’, ‘ribu’, dan ‘buat’ dalam bahasa Melayu masa kini.
Berdasarkan pola di atas, kami menyarankan agar kata ‘tamwan’ diperlakukan dengan sama sehingga bentuknya pada hari ini akan menjadi ‘tamban’.
Dengan perlakuan seperti di atas, maka untuk kata ‘minanga tamwan’ kita akan mendapatkan padanan berupa ‘muara tamban’.
Kami tidak mengetahui adanya tempat dengan nama Muara Tamban di Asia Tenggara, tetapi kami mendapati sebuah tempat yang bernama Tamban Muara.
Tamban Muara adalah nama sebuah desa yang berada dalam kecamatan Tamban dan menjadi bagian dari provinsi Kalimantan Selatan. Desa Tamban Muara berada di sisi barat Kota Banjarmasin, tepat di tepi Sungai Barito dan hanya berjarak sekitar 19 kilometer dari Laut Jawa. Tamban Muara di Barito Kuala menjadi kandidat pertama sebagai lokasi bertolaknya Dapunta Hyang ke Palembang. Ulasan singkat mengenai tempat ini akan kami bagikan di tulisan terpisah.
Selain menjadi nama tempat, pada masa kini kata ‘tamban’ juga diberikan kepada sejenis ikan laut sejenis hering. Tamban adalah ikan berukuran kecil yang berenang dalam kelompok besar di dekat permukaan laut. Ikan tamban banyak ditemui di perairan sekitar Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan perairan sekitar Sulawesi Selatan. Pada tempat-tempat ini, ikan tamban dikonsumsi oleh warga sebagai lauk sehari-hari yang terjangkau. Kami tidak menemukan tempat bernama ‘Muara Tamban’ di sekitar perairan Kepri, Bangka, dan Sulawesi Selatan, tetapi jika ‘minanga tamwan’ boleh ditafsirkan sebagai ‘muara sungai dimana ikan tamban banyak berada’ maka semua muara sungai yang terdapat di perairan Kepulauan Riau, Bangka, dan di Sulawesi Selatan akan menjadi kandidat kuat kedua letak dimana Minanga Tamwan berada.
Jika kata ‘tamban’ dianggap bukan versi modern dari kata ‘tamwan’ dan diperlakukan sebagai kata yang hidup di masa yang sama namun hanya berbeda dialek/penyebutan dan bisa saling menggantikan, maka kita akan mendapatkan pilihan lain atas lokasi keberangkatan Dapunta Hyang.
Sama seperti ‘minanga’, kata ‘tamban’ juga dikenal di berbagai tempat di Kepulauan Asia Tenggara. Pada daftar kata dalam rumpun bahasa Melayu – Polinesia barat yang disusun oleh Robert Blust, kata ‘Tamban’ di beberapa tempat dipergunakan untuk menyebut ikan laut kecil sejenis hering, sedangkan di tempat lain dipergunakan untuk menyebut ikan yang bentuknya serupa dengan ikan barrukan tetapi bewarna lebih terang. Untuk penafsiran tamban sebagai ikan laut sejenis hering maka itu serupa seperti pembahasan ikan tamban di masa modern yang telah disinggung di dua paragraf sebelumnya, sedangkan tamban sebagai ikan serupa barrukan adalah hal yang baru.
Barrukan digambarkan sebagai ikan ikan yang licin, mengkilat, dan tidak memiliki sisik. Ikan ini memiliki sungut di mulut dan sirip beracun di punggungnya. Kata ‘Barrukan’ dipergunakan di Sulawesi Selatan, ciri-cirinya serupa dengan ciri ikan Badukang atau Pedukang atau Kadukang. Keempat kata itu mungkin adalah variasi penyebutan dalam bahasa Melayu untuk ikan yang sama. Ikan Badukang hidup di laut berlumpur yang berada dekat dengan muara sungai atau pesisir pantai, kadangkala ikan ini masuk ke badan sungai sampai batas pasang tinggi. Ikan Badukang menyebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk di Sumatera.
Wikipedia menyebut bahwa ikan Badukang berasal dari muara Sungai Banyuasin, di provinsi Sumatera Selatan. Bila ikan Badukang dapat dianggap sebagai ikan tamban, maka ‘minanga tamban’ dapat diartikan sebagai ‘muara dimana banyak terdapat ikan Badukang’ atau ‘muara sungai tempat Ikan Badukang berasal’. Dengan pengertian seperti itu, ‘minanga tamban’ dapat diletakkan pada muara sungai dimana ikan Badukang berasal, yakni muara Sungai Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Kembali kepada penggambaran ikan tamban sebagai ikan serupa Badukang tetapi bewarna lebih terang, maka kita harus mencari ikan dengan rupa fisik seperti Badukang tetapi dengan warna lebih cerah. Ikan yang kita cari adalah ikan Sembilang. Sembilang adalah ikan tanpa sisik dengan sungut panjang di mulutnya. Mereka hidup di muara sungai, perairan payau, dan laut dangkal di sekitarnya. Ikan Sembilang hidup menyebar pada daerah antara Jepang sampai ke Australia, tetapi Sembilang dengan warna cerah yang kita cari ada di perairan antara Kepri dan Bangka.
Jika Sembilang dapat disepakati sebagai ikan tamban, maka untuk kata ‘minanga tamban’ kita akan mendapatkan arti ‘muara sungai yang terdapat banyak ikan sembilang’ atau sederhananya adalah ‘Muara Sembilang’.
Tempat yang paling sesuai dengan penggambaran ‘Muara Sembilang’ adalah sebuah sungai di provinsi Sumatera Selatan. Sungai itu bernama Sungai Sembilang dan muaranya berada di bagian utara Selat Bangka. Sesuai dengan namanya, kita bisa mengharapkan bahwa terdapat banyak sekali Ikan Sembilang di sungai ini sehingga orang-orang di masa lalu memberi nama sungai itu sesuai dengan hal menonjol yang dimilikinya. Pada pertengahan tahun 2020 ini kami mendapatkan kabar bahwa orang yang memancing di bagian utara Selat Bangka, dekat Muara Sembilang, berhasil mendapatkan ikan Sembilang di kail mereka.
Dari pembahasan sederhana di atas, kini kita memiliki sejumlah nama sebagai kandidat tempat keberangkatan Dapunta Hyang menuju Palembang untuk mendirikan Sriwijaya pada tahun 682/3 masehi. Tempat-tempat itu adalah kecamatan Desa Tamban Muara di Kalimantan Selatan, semua daerah pesisir di Kepulauan Riau, Pulau Bangka, semua pesisir di perairan antara Kepri dan Bangka, semua pesisir di perairan Sulawesi Selatan, muara Sungai Banyuasin, dan muara Sungai Sembilang.
Dari semua lokasi yang kita miliki di atas, sependek yang kami tahu hanya ada satu tempat yang berada dekat sekali dengan situs kuno dari masa pra-Sriwijaya dan tempat itu adalah Muara Sembilang.
Sungai Sembilang berada di sebelah utara kawasan situs kuno Karang Agung. Kawasan Karang Agung memiliki belasan situs yang berasal dari abad kedua sampai keempat masehi. Situs-situs ini tersebar diantara Sungai Sembilang yang berada di sisi utara dengan Sungai lalan yang berada di sisi sebelah selatan. Salah satu situs kuno itu bahkan berada tepat di hulu Sungai Sembilang.
Dengan demikian, kandidat terkuat untuk menjadi lokasi dimana Minanga Tamwan berada adalah Sungai Sembilang di Sumatera Selatan.
Dapunta Hyang pada tahun 682/3 masehi telah berangkat dari Sungai Sembilang dengan membawa ribuan pengikutnya menuju ke Mukha Upang untuk mendirikan Kadatuan bernama Sriwijaya.
Inilah pendapat kami saat ini. Tentu saja pendapat ini dapat berubah bila di masa depan terdapat lokasi lain dengan argumentasi yang lebih meyakinkan.
Nama Minanga, ada pada aliran sungai kalumpang yang sekarang berada di Sulawesi barat, di daerah inipun banyak kita temukan tingalan prasejarah berupa tembikar, batu ike. Selain itu di aliran sungai inipun pernah di temukan arcq budha yang berasal dari awal abad masehj
iya pak, seperti yang kami tulis di atas, kata ‘Minanga’ banyak ditemui di wilayah pembicara bahasa rumpun austronesia-melayu, terutama di Sulawesi dan Filipina.