Belanda pernah menduduki Palembang selama kurang lebih 124 tahun. Selama pendudukannya di Palembang, Belanda meninggalkan banyak jejak yang masih bisa dilihat hari ini, kecuali satu hal, pemakaman. Apakah orang Belanda yang meninggal di Palembang dikirim kembali ke Belanda sehingga tidak ada makamnya? Tulisan pendek ini akan mencoba menawarkan sedikit jawaban.
Pada masa lalu Palembang adalah salah satu tempat penghasil lada utama di Asia Tenggara sebelah barat. Karena itu tidak mengherankan ketika Belanda masuk ke Asia tenggara mereka segera membuat hubungan dagang dengan Palembang. Perusahaan dagang Belanda VOC akhirnya mendapatkan kontrak pertama mereka dengan Palembang pada tahun 1641.
Sejak saat itu hubungan dagang antara Palembang dan Belanda mengalami pasang surut, dengan penekanan di kata ‘surut. Hubungan yang panas itu kemudian berujung pada pertikaian terbuka yang melibatkan meriam dan senjata. Hasil akhirnya adalah, Belanda berhasil mengalahkan dan menduduki Palembang pada tahun 1821.
Selama 124 tahun menduduki Palembang, Belanda telah mendirikan banyak bangunan dan jalan, termasuk berbagai jembatan dan jalur kereta api. Pada awal abad ke-20, minyak ditemukan di wilayah hulu Palembang, sehingga memicu dibangunnya beberapa pabrik penyulingan minyak di timur kota Palembang. Akibatnya makin banyak orang Belanda dan Eropa lainnya yang datang ke Palembang.
Dengan kesibukan membangun yang mendatangkan banyak orang seperti itu, cukup mengherankan bahwa hari ini sama sekali tidak ada kuburan bagi orang Belanda atau orang Eropa lainnya di Palembang.
Ada rentang waktu 124 tahun masa pendudukan Belanda di Palembang dan jika satu generasi adalah 25 tahun maka ada sedikitnya 5 generasi orang Belanda di Palembang. Dan karena orang Belanda bukanlah tergolong manusia abadi, maka pasti ada di antara mereka yang meninggal dunia di Palembang.
Mengingat pelayaran antar benua masih memakan waktu berbulan-bulan di masa itu, maka orang Belanda yang meninggal di Palembang tidak mungkin dibawa ke Belanda dan dikuburkan disana. Jenzah mereka akan tetap berada di Palembang dan diperlakukan dalam salah satu cara berikut ini, yakni dibakar, atau ditenggelamkan di air, atau dimakamkan.
Akan sangat sulit mencari jejak orang Belanda di Palembang bila jenazahnya ditenggelamkan ke sungai dan itu akan lebih sulit lagi bila ternyata jenazahnya dibakar. Tetapi bila orang Belanda lebih memilih untuk menguburkan rekan mereka yang meninggal maka itu akan meninggalkan jejak yang bisa ditelusuri.
Kuburan atau pemakaman disebut ‘kerkhof’ dalam bahasa Belanda. Kata ‘kerkhof’ awalnya berarti ‘halaman gereja’, tetapi karena halaman gereja juga dipergunakan untuk menguburkan anggota jemaat gereja, maka ‘kerkhof’ juga berarti ‘lahan pemakaman’. Dalam peta, daerah pemakaman ditandai dengan aikon bulan sabit atau salib, tergantung peruntukan makam tersebut, apakah makam untuk orang Islam atau untuk orang Kristen.
Di Palembang, jejak pemakaman orang Belanda alias kerkhof muncul pertama kali pada tahun 1877. Pada tahun itu pemerintah pendudukan Belanda menerbitkan peta Palembang dan memberikan sejumlah informasi berharga, salah satunya mengenai letak kerkhof.
Pada peta tahun 1877, kerkhof ternyata telah ada di Palembang. kerkhof pertama itu terletak di dekat Benteng Kuto Besak. Setelah berhasil menaklukan Palembang, Benteng Kuto Besak dipergunakan Belanda sebagai markas pasukan lapis baja, dan sejumlah perwira dan prajurit mereka diberi rumah dinas yang dibangun di dalamnya. Asrama militer di dalam Benteng Kuto Besak ini menjadi permukiman orang Belanda terbesar di Palembang, oleh sebab itu tidak mengherankan bila sebuah pemakaman dibangun di dekatnya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah sepertinya peta yang diterbitkan pada tahun 1877 ini diambil dari peta yang lebih tua yang menggambarkan Palembang pada tahun antara 1811 sampai 1825. Sehingga patut diduga bahwa kerkhof itu dibangun segera setelah Belanda berhasil menaklukan Palembang, mungkin dengan tujuan untuk memakamkan anggota pasukan Belanda yang tewas dalam perang 1821.
Pada tahun selanjutnya, jumlah kerkhof di Palembang akan bertambah banyak dan lebih menyebar. Peta Palembang dari tahun 1917 menunjukkan bahwa pada masa itu terdapat tiga buah kerkhof di kota tepian Sungai Musi ini.
Pada tahun 1917, Wilayah Palembang sebelah ilir yang dipadati permukiman penduduk berada mulai dari tepi Sungai Musi sampai ke sekitar jalan Letkol Iskandar. Dari jalan Letkol Iskandar ke arah lebih utara lagi hanya terdapat beberapa kuburan dan sedikit bangunan. Kuburan-kuburan itu diantaranya adalah pemakaman Cinde Balang dan Candi Angsoko.
Tiga kerkhof yang dicantumkan dalam peta Palembang tahun 1917 tersebar di tiga tempat yang berbeda. Kerkhof pertama berada di belakang Benteng Kuto Besak, di lokasi yang sama seperti dalam peta tahun 1877. Kherkof kedua berada di dekat pertokoan JM Plaza sedangkan kerkhof ketiga berada di dekat gedung kantor pusat Bank Indonesia Sumatera Selatan.
Kerkhof kedua berada di lingkungan yang dikenal dengan nama Talang Jawa. Pada masa berikutnya, di dekat kerkhof kedua ini akan dibangun permukiman warga Eropa dengan jalan yang diberi nama Dempo.
Kerkhof ketiga berada di tepi utara kota Palembang tahun 1917. Lokasinya berada di perbukitan pada lereng yang menghadap ke Sungai Musi, di sebelah timur jalan yang menghubungkan Palembang dengan Talang Betutu. Letak kerkhof yang ketiga ini dapat dikatakan berada di pinggiran kota Palembang. dikatakan seperti itu karena dari letak kerkhof ketiga ini sampai ke Talang Betutu nyaris tidak ada permukiman penduduk.
Kelak di dekat kerkhof yang ketiga ini akan dibangun rumah sakit Roma Katolik.
Tahun 1917 adalah masa dimana Palembang memiliki kerkhof paling banyak. Setelah itu, kerkhof-kerkhof yang ada tidak bisa bertahan dan menghilang, dimulai dari tahun 1925.
Pada tahun 1925 itu Belanda kembali mengeluarkan peta kota Palembang. Dalam peta ini hanya terdapat satu kerkhof yang bertahan sedangkan dua kerkhof lainnya menghilang. Kerkhof yang bertahan itu berada di pinggiran utara kota Palembang. Kemungkinan yang terjadi adalah pembangunan bangunan-bangunan kantor dan tempat tinggal memanfaatkan banyak lahan sehingga kuburan-kuburan dipindahkan dan dipusatkan di satu tempat saja. Tempat terakhir ini akan bertahan cukup lama, setidaknya sampai tahun 1945.
Peta Palembang tahun 1945 menunjukkan bahwa kerkhof di utara Palembang masih ada. Keberadaannya ditandai dengan sebuah kotak bersegi empat pada lokasi yang sama seperti pada peta tahun 1925 hanya saja kali ini tidak disertai keterangan apapun.
Setelah tahun 1945, tidak ada peta yang bisa kami lihat. Sependek yang kami ketahui, sejak dekade 1980 tidak ada lagi kerkhof yang tersisa di Palembang. Mungkin karena tidak populer atau karena sudah sepenuhnya hilang. Jika kerkhof itu memang hilang maka kehilangannya itu terjadi mungkin setelah tahun 1949.
Kini di tahun 2020 semua kerkhof sudah tidak ada di Palembang, namun dari peta-peta lama kita dapat mengetahui dimana mereka pernah berada dan membandingkannya dengan keadaan Palembang saat ini.
Kerkhof pertama ada di belakang Benteng Kuto Besak. Kini di atas lahan tersebut telah berdiri gedung Kantor Pos dan Plasa Telkom.
Kerkhof kedua berada di sisi sebelah barat jalan Talang Jawa yang sekarang menjadi jalan Kolonel Atmo. Lahan kerkhof kedua ini sekarang berubah menjadi Gereja Katolik Hati Kudus dan pertokoan di sisi selatannya.
Kerkhof ketiga berdiri di daerah utara kota Palembang, di sebelah timur jalan menuju ke Talang Betutu. beberapa tahun kemudian di lahan antara jalan tersebut dengan kerkhof ketiga akan dibangun rumah sakit khusus tawanan perang. Sekarang rumah sakit tawanan perang itu telah hilang dan berganti menjadi kantor Bank Indonesia. Kerkhof yang berada di sebelah Bank Indonesia itu kini berubah menjadi pertokoan dan perumahan penduduk.
Hilangnya kerkhof-kerkhof di Palembang patut disayangkan. Karena sama seperti bangunan peninggalan Belanda lainnya di Palembang, kerkhof juga mampu menghadirkan informasi yang penting mengenai masa lalu. Informasi itu diantaranya berupa situasi ekonomi, kegiatan perdagangan, keahlian membangun, dan kecakapan seni pahat.
Kehadiran kerkhof di suatu kota menjadi penting ditengah maraknya pemerintah mendorong pertumbuhan industri pariwisata di Indonesia. Keberadaan kerkhof akan mampu memicu kemunculan wisata ziarah dari anak keturunan orang Belanda yang dimakamkan di Palembang. Wisata ziarah ini sendiri telah berlangsung secara mandiri. Orang-orang dari Belanda berangkat sendiri ke Palembang untuk melihat rumah dimana kakek dan nenek mereka dulu tinggal di Plaju, kota satelit kilang minyak yang ada di timur kota Palembang.
Semoga tulisan ringan ini bisa menjawab pertanyaan mengenai bagaimana orang Belanda yang meninggal di Palembang diperlakukan. Harapan lainnya adalah semoga akan muncul kesadaran untuk melestarikan kekayaan budaya yang ada di Palembang, dari manapun budaya itu berasal. Karena suka atau tidak, budaya-budaya itu telah memperkaya sejarah dan budaya kota Palembang.