Palembang adalah kota tertua di Indonesia yang dihuni terus menerus sejak awal berdirinya sampai sekarang. Dalam 1338 tahun sejarah yang panjang itu terselip berbagai sejarah kecil yang menarik, yang memberi rincian unik dalam perjalanan panjang kota lanjut usia ini. Salah satunya adalah mengenai nama tempat Tuan Kentang.
Tuan Kentang adalah nama sebuah kampung yang berada di sebelah timur Muara Sungai Ogan. Letaknya persis di tepi sungai dan populer sebagai sentra pembuatan kain tajung dan kain pelangi khas Palembang. Secara administrasi, kampung Tuan Kentang termasuk dalam wilayah kecamatan Seberang Ulu I, Kotamadya Palembang.
Selain menjadi sentra pembuatan kain, hal yang menarik dari kampung ini adalah namanya, Tuan Kentang.
Saat ini terdapat sedikitnya dua keyakinan mengenai asal nama ‘Tuan Kentang’. Pertama, ‘Tuan Kentang’ adalah nama seorang ulama besar yang dimakamkan di daerah tersebut. Dugaan ini dibuktikan dengan adanya makam di daerah Tuan Kentang yang dianggap keramat dan diziarahi oleh warga Palembang.
Pendapat kedua beranggapan ‘Tuan Kentang’ adalah “saudagar Tionghoa yang pernah punya bisnis besar di sepanjang muara sungai dan dimakamkan di kampung tersebut.” Pendapat ini muncul dalam laman Palembang Tourism dan laman Indonesia yang dikelola oleh Menkominfo dan Mensesneg.
Kami tidak akan berlagak sebagai hakim dan memutuskan mana yang benar diantara keduanya, melainkan kami akan menawarkan pendapat ketiga mengenai asal nama ‘Tuan Kentang’.
Sekitar tahun 1877, terdapat makam Kapitan Cina di sisi sebelah timur muara Sungai Ogan. Makam ini berada dekat sebuah sungai kecil tanpa nama yang menjadi anak dari Sungai Ogan. Di dekat sungai ini terdapat dua sungai lain yang lebih panjang dan juga menjadi anak dari Sungai Ogan. Sungai pertama berada di sebelah tenggara dan dikenal pada waktu itu sebagai Sungai Kapitan. Sungai kedua berada di sebelah utara dan dikenal dengan nama Sungai Wangkang. Bersama-sama, ketiga sungai ini berada tepat di belokan dari Sungai Musi ke Sungai Ogan.
Kapitan adalah gelar yang disandang oleh kepala komunitas Cina atau Arab di beberapa tempat di kepulauan Asia Tenggara sebelah barat, termasuk di Palembang. Pemberian gelar Kapitan ini di Palembang diduga dimulai sejak masa pendudukan Belanda. Sungai Kapitan mungkin mendapatkan namanya karena mengalir di dekat makam Kapitan Cina.
Wangkang adalah nama kapal dagang khas Cina. Pada masa lalu kapal ini ramai hilir mudik di perairan Sungai Musi. pemberian nama ‘wangkang’ kepada sebuah sungai mungkin terjadi karena sungai tersebut menjadi tempat berlabuh banyak kapal wangkang. Di sungai ini, mungkin wangkang-wangkang milik saudagar dan kapitan Cina menaikkan dan menurunkan barang dagangan. Disana mereka juga bisa melakukan perbaikan pada wangkang sebelum kembali berlayar.
Adanya makam Kapitan dan dua sungai dengan nama bernuansa Cina memberi kesan yang kuat bahwa daerah sebelah timur Muara Ogan di masa lalu adalah tempat dimana orang Cina banyak berkumpul. Petunjuknya ada pada padatnya nama bernuansa Cina pada satu daerah yang terhitung kecil, kira-kira hanya seluas dua lapangan sepakbola.
Pada tahun 1821 dan 1877 tidak ada perkampungan lain di sisi timur muara Sungai Ogan selain perkampungan Cina dan makam Kapitan. Barulah pada tahun 1917 Belanda mencatat keberadaan sebuah kampung lain yang mereka sebut kampung Karang Berahi.
Pada tahun ini, perkampungan di sekitar makam kapitan Cina semakin besar tetapi nama Sungai Wangkang dan Sungai Kapitan tidak lagi disebut. Sungai Kapitan berubah nama menjadi Sungai Rengas sedangkan Sungai Wangkang masih ada secara fisik tetapi tidak dituliskan namanya di dalam peta. Kemungkinan besar pada masa ini warga Cina telah meninggalkan Muara Ogan. Pembangunan pasar Sekanak dan pasar 16 di Palembang sebelah ilir oleh pemerintah pendudukan Belanda mungkin telah membuat warga Cina memutuskan untuk memindahkan bisnis mereka ke kedua pasar tersebut.
Daerah yang tadinya dihuni oleh warga Cina sekarang ditinggalkan kosong dan mungkin perlahan-lahan dihuni oleh warga dari hulu sungai Ogan. Generasi pertama para penduduk baru ini mungkin menyadari bahwa nama daerah yang mereka huni adalah Sungai Wangkang dan Sungai Kapitan, mereka pun mungkin tahu apa itu wangkang dan kapitan. Hal berbeda akan terjadi pada generasi setelah mereka.
Meski begitu, ada satu hal yang perlu diingat, yakni keberadaan sebuah perkampungan Cina dalam rentang waktu sekitar 96 tahun di muara Sungai Ogan pasti akan meninggalkan jejak pada lingkungannya, salah satu jejak yang tersisa itu bisa jadi berupa nama.
Sungai Kapitan mendapatkan namanya mungkin dari makam Kapitan Cina yang ada di dekatnya. Sekarang sungai ini sudah tidak ada lagi. Apa yang tersisa dari Sungai Kapitan hanyalah namanya yang sekarang menjadi nama sebuah lorong. Lorong ini terletak di tempat dimana dahulu Sungai Kapitan berada, terbentang dari barat ke timur persis seperti arah aliran Sungai Kapitan dahulu.
Sedangkan Sungai Wangkang memiliki nasib yang sedikit berbeda. Sungai ini sekarang sudah tiada jejaknya lagi baik secara fisik maupun nama. Tidak ada lorong atau jalan yang diberi nama ‘wangkang’. Tetapi kami menduga bahwa nama ‘wangkang’ akan menjadi kata asal yang membentuk sebuah nama baru bagi daerah di dekatnya.
Kami tidak melihat adanya perkebunan kentang dibuka di daerah Tuan Kentang, baik pada masa belanda maupun pada masa setelahnya dan terus sampai masa sekarang. Kentang juga tidak termasuk dalam daftar barang yang diperdagangkan di Palembang menurut catatan Sevenhoven. Kentang sendiri adalah tumbuhan asing yang dibawa masuk ke Kepulauan Asia Tenggara pada dekade terakhir abad ke-18. Kentang adalah sesuatu yang baru bagi penduduk Palembang dan kecil kemungkinan meninggalkan jejak sebagai nama sebuah tempat.
Kami menduga bahwa nama Tuan Kentang merupakan pelafalan yang mengalami perubahan dari kata ‘wangkang’. Wangkang adalah perahu dengan bentuk khas dan memberi kesan yang kuat pada orang yang melihat. Keberadaan sekumpulan wangkang pada tempat yang sama akan mudah diingat oleh orang-orang dan akan mereka pergunakan sebagai penanda tempat agar mudah diingat. Ini terjadi pada sungai yang akhirnya dicatat oleh Belanda sebagai Sungai Wangkang.
Alur peristiwa seperti itu, yaitu hal unik yang mudah diingat lalu dijadikan penanda tempat dan akhirnya menjadi nama tempat, terus berlangsung sampai masa sekarang.
Pelafalan kata ‘Tuan Kentang’ adalah ‘tu-wan-ken-tang’ yang mencerminkan kata ‘wangkang’.
Bagi orang yang tidak mengetahu apa itu wangkang maka ketika pertama kali mendengar kata itu maka pikiran mereka akan memprosesnya mempergunakan referensi yang tersedia dalam memori otak mereka. kata ‘wangkang’ mungkin didengar sebagai ‘wan tang’. Kata ‘wan’ mungkin dikira sebagai kependekan dari kata ‘tuwan’ dan kata ‘tang’ diasumsikan sebagai kependekan dari kata ‘kentang’. Hasilnya, mereka mendapatkan kata ‘tu-wan ken-tang’ yang dianggap sebagai penjelasan yang logis dari kata ‘wang-kang’ yang mereka dengar.
Perubahan ini mungkin terjadi sekitar masa akhir pendudukan Belanda di Palembang. Saat Muara Ogan sudah ditinggalkan oleh orang Cina dan wangkang mereka, sehingga meninggalkan kebingungan bagi penghuni baru mengenai alasan kenapa nama tempat mereka tinggal adalah Sungai Wangkang.
Bila perubahan kata dari ‘wangkang’ menjadi ‘tuwan kentang’ ini terasa rumit bagi sebagian orang maka perubahan yang rumit itu juga terjadi pada kata ‘muara ogan’ yang berubah menjadi ‘marogan’.
Kemungkinan lain asal nama ‘Tuan Kentang’ adalah kata tersebut berasal dari kata ‘Tuan Wangkang’.
Sebagai daerah yang dikenal oleh orang Palembang sebagai tempat berkumpulnya wangkang maka pastilah disana berdiam pula saudagar pemilik wangkang. Bagi orang yang tidak mengenal langsung, si saudagar ini mungkin disebut dengan mempergunakan kata penghormatan ‘tuan’ yang dipadukan dengan ciri khas yang melekat pada dirinya, yaitu saudagar pemilik wangkang, dengan begitu muncullah kata ‘Tuang Wangkang’ yang merujuk kepada si saudagar Cina pemilik wangkang.
Pada masa selanjutnya, kata ‘Tuan Wangkang’ mungkin sekali mengalami perubahan bunyi atau penyesuaian kata. Kapal ‘wangkang’ sudah lama tidak ada sehingga menjadi hal yang asing dan tidak bisa dipahami oleh pembicaranya. Mereka membutuhkan kata baru yang dapat mereka pahami tetapi secara bunyi masih menyerupai ‘wangkang’. Kata ‘kentang’ mungkin adalah kandidat terkuat yang muncul dari dalam perpustakan memori mereka untuk menggantikan kata ‘wangkang’. Maka terjadilah, ‘Tuan Wangkang’ berubah menjadi ‘Tuan Kentang’ seperti yang kita kenal saat ini.
Itulah dua dugaan asal nama ‘Tuan Kentang’ yang kami ajukan.
Berdasarkan informasi yang tersedia di peta-peta masa pendudukan Belanda, sisi timur Muara Ogan menjadi tempat hunian para pedagang Cina setidaknya sejak paruh terakhir abad ke-18. Disana mereka mendirikan rumah, gudang, dan toko. Disana juga mereka melakukan jual-beli, menaikkan dan menurunkan barang dagangan, menjahit kain layar dan memperbaiki kapal wangkang mereka, dan memakamkan anggota keluarga dan teman, termasuk Kapitan yang memimpin mereka.
Jejak sebagai perkampungan Cina itu lalu memudar seiring dengan dibangunnya pusat perdagangan baru di Palembang. tetapi jejaknya masih tersisa sampai hari ini dalam bentuk nama tempat, yakni ‘Tuan Kentang’.
Tentu saja ini hanyalah sebuah dugaan. Dugaan yang kami bangun berdasarkan sedikit informasi yang bisa kami kumpulkan. Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga tempat itu bisa disebut dengan nama ‘Tuan Kentang’ memerlukan lebih banyak lagi data dan kajian.