Sabokingking adalah nama sebuah wilayah di bagian barat kota Palembang. Sabokingking terletak di dalam kawasan yang dikenal sebagai ‘Palembang Lamo’.
Dalam kawasan Palembang lamo ini terdapat lokasi bekas Kuto Gawang, dimana keraton pertama Kesultanan Palembang Darussalam berada pada tahun 1600-an. Dalam wilayah yang sama juga terdapat kompleks pemakaman Ki Gede Ing Suro dan kompleks pemakaman Kawah Tengkurep. Diyakini bahwa Sabokingking sudah lama ada, setidaknya sebelum Islam masuk ke Palembang.
Kompleks pemakaman ini sendiri cukup menarik. Lokasi dimana semua makam diletakkan berada di sebuah tanah yang ditinggikan dan dikelilingi oleh kolam berisi air. Penataan seperti itu membuat tanah pemakaman terlihat seperti sebuah pulau yang muncul di tengah laut. Tata letak ini mengingatkan pada Pulau Cempaka di daerah Karang Anyar dan Angkor wat di Kamboja. Membuat kami penasaran apakah ketiganya dibuat pada masa yang sama atau berdekatan. Jawaban atas rasa ingin tahu itu akan kami serahkan kepada para Arkeolog dan Anthropolog yang berkantor di Palembang. Tetapi dalil atas kekunoaan Sabokingking muncul dari tempat lain, yaitu dari namanya.
Menurut tuturan yang berkembang, kata ‘Sabokingking’ berasal dari bahasa Sansekerta, sebuah bahasa yang pernah menjadi bahasa yang umum dipakai dalam prasasti-prasasti tua pra-Islam di kepulauan Asia Tenggara.
Kami tidak tahu dari mana argumen bahwa ‘sabokingking’ ini adalah sebuah kata Sansekerta berasal. Apakah karena pernah ditemukannya asana di tempat itu sehingga namanya dikaitkan pada masa yang sangat tua melebihi masa Islam atau memang ada kisah turun temurun dari masa pra-Islam yang mengandung informasi tersebut.
Jika memerhatikan peta lama produksi Belanda, nama Sabokingking paling awal muncul pada tahun 1877. Saat itu kata ‘Sabokingking’ dipergunakan untuk menyebut nama sebuah perkampungan kecil di tepi selatan Sungai Buah. Di sebelah barat daya perkampungan ini terdapat sebuah tempat yang ditandai sebagai pemakaman Islam, tepat dimana kompleks pemakaman Sabokingking kini berada. Kemungkinan, kata ‘Sabokingking’ adalah nama sebuah kampung atau talang yang berada di dekat makam para tokoh kerajaan Palembang.
Asal kata Sabokingking sendiri sangat menarik, sebagian karena saat ini di Palembang tidak ada lagi jejak kata itu baik secara utuh atau sebagian yang tersisa dalam bahasa percakapan sehari-hari. Tidak pula ditemukan tempat lain di Palembang yang memiliki nama serupa atau bernuansa kata ‘Sabokingking’. Sepertinya, kata itu harus dicari sumbernya di luar Palembang, terutama ke tempat-tempat yang pernah memiliki pengaruh atas Palembang.
Kami mencoba mencari di beberapa laman bahasa sansekerta tetapi tidak berhasil menemukan kata ‘Sabokingking’ dalam bahasa itu, baik secara utuh maupun bagian-bagiannya.
Karena kerajaan dan kesultanan Palembang didirikan oleh orang Jawa yang hijrah ke kota di tepi Sungai Musi itu, maka mencari arti kata ‘Sabokingking’ ke dalam bahasa Jawa layak sekali dipertimbangkan. Kami tidak berhasil menemukan kata ‘sabo’ dalam bahasa Jawa, kami hanya menemukan kata ‘Saba’. Dalam bahasa Jawa, kata ‘Saba’ berarti ‘berkunjung’ atau ‘sering datang ke’. Sementara kata ‘Kingkin’ memiliki arti ‘jadi kerinduan orang tua’ atau ‘susah’ atau ‘sedih’. Jika digabungkan, maka kata ‘sabakingking’ memiliki arti kurang lebih “tempat yang sering dikunjungi [untuk menunjukkan] rasa sedih,”.
Jika kata Sabokingking berasal dari bahasa Jawa, maka daerah Sabokingking mulai dibuka setelah imigran dari Jawa masuk dan berkuasa di Palembang.
Informasi lain datang dari seorang teman di Banten. Terima kasih untuk pak Dadan Sujana yang telah memberi kabar tentang tokoh bernama Sabakingking. Dalam legenda yang diceritakan secara turun menurun di Banten, terdapat tokoh bernama Sabakingking. Sabakingking adalah seorang pangeran, anak dari tokoh penyebar agama Islam Syarif Hidayatullah dari pernikahannya dengan Ratu Kawunganten. Setelah masuk Islam, Pangeran Sabakingking berganti nama menjadi Maulana Hasanudin dan menjadi tokoh penyebar agama Islam di daerah Banten.
Bagaimana nama seorang pangeran dari Banten bisa menjadi nama tempat di ibukota Sumatera Selatan masih perlu dicari tahu, tetapi itu bukan satu-satunya kasus di Palembang.
Sewaktu tinggal di Plaju pada akhir dekade 1980-an, kami mendapatkan cerita bahwa pada masa lalu Palembang pernah diserang oleh Banten. Dalam serangan itu, salah satu tokoh Banten tewas dan dimakamkan di tepi Sungai Musi. Para pengikutnya yang setia, menolak kembali ke Banten dan memilih tetap di Palembang untuk menjaga makam si tokoh. Seiring berjalannya waktu, para pengikut yang menjaga makam itu akhirnya berubah menjadi monyet. Nama tokoh itu adalah Bagus Kuning dan sampai sekarang tempat yang diyakini menjadi makamnya dijaga oleh kawanan monyet. Daerah tempat makam itu berada kini dikenal sebagai daerah Bagus Kuning.
Cerita setempat ini mendapat dukungan dari legenda di Banten sendiri. Menurut babad Banten, Kesultanan itu pernah menyerang Palembang di bawah pimpinan Sultan Maulana Muhammad. Bersama sang sultan, ikut serta panglima bernama Tubagus Kuning. Keduanya tewas dalam penyerbuan itu. Jenazah Sultan Maulana Muhammad dibawa kembali ke Banten sedangkan jenazah Panglima Bagus Kuning tidak dijelaskan keberadaannya, apakah dibawa pulang ke Banten atau dimakamkan di Palembang.
Kembali ke ‘Sabakingking’, kata ini bisa ditelusuri dalam bahasa Sunda. Kata ‘saba’ berarti ‘pergi ke tempat yang jauh’ dan kata ‘kingkin’ berarti ‘sedih’ atau ‘prihatin’ sehingga makna kata ‘sabakingking’ bisa dirangkai ulang menjadi kurang lebih “pergi ke tempat yang jauh [untuk atau karena] sedih”.
Kemiripan antara nama tempat ‘sabokingking’ dan ‘Bagus Kuning’ dengan nama tokoh ‘Sabakingking’ dan ‘Tubagus Kuning’ terlalu jelas untuk diabaikan, walaupun kita belum bisa menerangkan secara pasti hubungan apa yang ada antara keduanya.
Kalaupun kelak hubungan antara nama tempat di Palembang dengan nama tokoh di Banten itu bisa dijelaskan, itu akan memancing timbulnya pertanyaan lain, yaitu kenapa nama tokoh dari Banten bisa menjadi nama tempat di kota yang mereka serang. Apakah benar Banten menyerang Palembang ataukah Banten sebenarnya sedang membantu Palembang dalam perang melawan pihak lain dan atas kebaikannya itu maka nama tokoh mereka diabadikan di Palembang. Jawaban atas semua pertanyaan itu akan kami serahkan kepada para Antropolog dan Sejarawan Palembang.
Jika kata ‘Sabokingking’ berasal dari bahasa Sunda maka asal mula daerah Sabokingking bisa dirunut kembali ke masa pengaruh Banten atas Palembang.
Kini kita beralih ke pilihan lain yang tersedia untuk menjelaskan asal kata ‘Sabokingking’. Palembang diyakini sebagai ibukota Sriwijaya, sebuah kerajaan kuno di kepulauan Asia Tenggara yang bangga memeprgunakan bahasa Melayu dalam prasasti-prasasti mereka. Jika klaim yang menyatakan bahwa Sabokingking telah ada sejak masa Sriwijaya benar, maka seharusnya kata ‘sabokingking’ akan bisa ditelusuri jejaknya dalam rumpun bahasa Melayu.
Dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia, terdapat kata ‘Saba’ yang memiliki arti ‘sawah yang dialiri air’ atau ‘sejenis pisang ambon’. Untuk arti yang pertama, kata ‘saba’ kemungkinan adalah kata yang kelak berubah bentuk menjadi kata ‘subak’ yang kini dipakai di Bali dan merujuk kepada sistem pengairan di sawah.
Sedangkan untuk kata ‘kingking’ ditemukan di beberapa suku di Filipina dan Kalimantan dan memiliki arti ‘melompat’ atau ‘melompat dengan satu kaki’. Kata ‘kingking’ dengan arti ‘melompat dengan satu kaki’ ini mengingatkan kami kepada permainan tradisional anak-anak Palembang yang bernama cak-ingkling. Permainan ini dilakukan dalam cara melompat dengan mempergunakan satu kaki dari kotak pertama ke kotak selanjutnya.
Kata ‘cak-ingkling’ mungkin adalah bentuk yag rusak dari kata ‘ca-kingking’ dengan huruf ‘k’ pertama pindah dari huruf pertama suku kata kedua menjadi huruf terakhir suku kata pertama, lalu masuk tambahan huruf ‘l’ pada suku kata ketiga.
Jika perekaan ini dapat diterima, maka dalam bahasa rumpun Melayu-Polinesia, kata ‘sabakingking’ kurang lebih berarti ‘sawah yang dialiri air [tempat orang] melompat dengan satu kaki’. Ini mungkin merujuk kepada sawah lebak yang berada di tepi Sungai Buah dimana untuk sampai kesana seseorang mesti melompat-lompat dari tanggul tanah satu ke tanggul tanah selanjutnya, atau dari tanah keras satu ke tanah keras berikutnya.
Jika kata ‘Sabokingking’ berasal dari bahasa Melayu, maka daerah Sabokingking telah dibuka dan dihuni sejak sebelum kedatangan orang Jawa ke Palembang. Karena belum banyak mendapatkan pengaruh dari bahasa Jawa, maka penduduk setempat yang membuka lahan baru memberi nama daerah itu memakai bahasa setempat, yakni bahasa Melayu. Ketika akhirnya imigran dari Jawa datang, nama ‘Sabokingking’ sudah ada dan diteruskan pemakaiannya.
Inilah tiga kemungkinan asal nama Sabokingking yang mampu kami telusuri dalam waktu singkat. Tiga pilihan ini datang dari tiga budaya yang berbeda, yakni Melayu, Jawa, dan Sunda. Manakah dari ketiga pilihan itu yang paling mendekati kebenaran, diperlukan penelitian yang mendalam yang dilakukan oleh para ahli bahasa yang ada di Palembang.
Satu hal yang kami yakini bahwa dibalik setiap nama ada sejarah dan identitas budaya. Melestarikan nama tempat, seburuk apapun itu, adalah cara yang paling sederhana untuk menjaga sejarah dan identitas masyarakat di tempat tersebut.
sebagai bonus, menurut KBBI terdapat kata ‘kingking’ dalam bahasa Indonesia. Kata ‘kingking’ memiliki arti ‘jeruk yang buahnya kecil-kecil, rasanya masam sekali; jeruk dari jenis Triphasia aurantiola’. Pada masa sekarang, tummbuhan ini disebut dengan nama jeruk kingkit atau limau kiah.