Fa Xian adalah seorang guru agama Buddha asal Cina yang melakukan perjalanan ke India. Dia hidup diperkirakan antara tahun 337 sampai 422 masehi. Sekitar tahun 414 dia pulang ke Cina dari Sri Lanka. Dalam perjalanan pulangnya itu, Fa Xian sempat singgah di sebuah tempat bernama ‘Yawadwipa’.
Menurut catatannya sendiri, Fa Xian berangkat dari Sri Lanka menumpang kapal dagang yang berlayar ke arah timur. Setelah 90 hari pelayaran yang melalui wilayah penuh bajak laut dan perairan yang bergejolak, dia tiba di tempat yang bernama ‘Yawadwipa’. Disana dia menetap selama 5 bulan sebelum menumpang kapal lain dan berlayar ke arah timur laut, menuju kampung halamannya.
Pelayaran laut pada masa sebelum Sriwijaya berdiri sangat ditentukan oleh angin. Kemana angin berhembus, maka kesanalah kapal-kapal pergi. Berlayar melawan angin adalah tindakan yang sia-sia dan merugikan. Pentingnya hembusan angin membuatnya diabadikan dalam sistem penentuan arah dalam sejumlah bangsa di Asia Tenggara.
Crawfurd pada tahun 1820 mencatat bahwa warga Bali menyebut arah timur dengan kata ‘kangin’ yang memiliki arti ‘akar’ atau ‘sumber’. Kata ini memberi petunjuk bahwa penduduk pulau dewata memerhatikan bahwa hembusan angin berawal dari arah timur dan terjadi secara teratur sehingga bisa dijadikan pedoman arah saat mereka berada dimana pun di pulau Bali.
Crawfurd juga mencatat hal yang sama pada penutur bahasa Jawa. Arah timur disebut dengan kata ‘Wetan’ yang berarti ‘sumber’ atau ‘akar’. Lagi-lagi penggunaan kata ini memberikan petunjuk bahwa orang Jawa memerhatikan bahwa angin bersumber dari satu arah yang pasti sehingga bisa dijadikan patakon arah. Arah dari mana angin bersumber lalu disebut ‘wetan’ yang setara dengan arah timur.
Hal yang berbeda terjadi di Sunda. Sumber awal angin berhembus di daerah budaya Sunda berbeda dengan di wilayah budaya Bali dan Jawa. Crawfurd mencatat bahwa dalam budaya Sunda, asal mula angin berada di selatan. Arah selatan disebut dengan kata ‘Parnangin’ yang memiliki arti ‘akar’. Kemungkinan warga Sunda memerhatikan bahwa angin penting yang mendorong kapal layar mereka berangkat berdagang berhembus dari arah selatan.
Berdasarkan informasi yang disediakan oleh Crawfurd, terlihat bahwa angin yang penting bagi masyarakat di Bali dan Jawa muncul dari arah timur lalu berhembus melalui wilayah mereka sampai di wilayah Sunda. Disana angina ini berganti arah dan bertiup kearah utara-barat laut. Pola ini sesuai dengan data modern. Teknologi di masa sekarang memberikan kita data bahwa dari Juni sampai September angin berhembus dari sebelah selatan Papua melewati pulau-pulau di Nusa Tenggara, Bali, sampai ke barat Pulau Jawa. Disana angin yang sama berganti arah dan berhembus ke utara-barat laut, melewati pesisir timur Sumatera sekitar Sembilang sebelum kembali berganti arah, kali ini ke timur laut.
Wilayah budaya Sunda sendiri memiliki sejarah yang panjang. Situs Buni diduga telah dihuni sejak sebelum masehi sampai tahun 400-an masehi. Tembikar yang ditemukan disini berasal dari abad kedua sampai keempat masehi. Sedikit ke arah timur laut Buni, terdapat kompleks percandian Batu jaya yang dibangun sekitar abad kelima sampai keenam masehi, jauh lebih tua daripada candi-candi yang ada di daerah budaya Jawa yang berada di timur Sunda. Wilayah ini juga menghasilkan sejumlah prasasti dari masa yang sama, memberi petunjuk bahwa Wilayah Sunda adalah tempat yang aktif dan ramai sejak masa sebelum Sriwijaya.
Situs dari masa awal masehi juga di temukan di seberang wilayah budaya Sunda, tepatnya di pesisir timur Sumatera bagian selatan. Situs di Air Sugihan dan Karang Agung menghasilkan banyak temuan dan diantaranya berasal dari abad kedua masehi. Termasuk batang kayu yang diduga sisa dari sebuah struktur kuno, mungkin rumah atau gudang atau dermaga. Jauh masuk ke dalam Sungai Musi, ditemukan barang-barang dari abad ketujuh masehi disertai beberapa prasasti berbahasa Melayu dari masa yang sama di sekitar Bukit Siguntang.
Hal yang sama tidak ditemukan di bagian utara pesisir timur Sumatera, sebaliknya, temuan dari masa yang sama tuanya malah ditemukan di sebelah barat Sumatera bagian utara, di situs Jago-jago, dekat Barus.
Menyeberang ke semenanjung, temuan tertua disana berasal dari abad kedua atau ketiga masehi yakni tambang besi di Lembah Bujang. Sedikit ke arah selatannya terdapat pula prasasti dalam bahasa sansekerta yang berasal dari abad kelima masehi. Kedua lokasi ini berada jauh di utara dari mulut selat Malaka, dimana temuannya sejarahnya datang dari masa yang lebih muda. Bergerak ke utara, terdapat peradaban kuno di lembah Sungai Mekong, Vietnam. Peradaban ini dimulai setidaknya sejak abad keempat sebelum masehi dan sebuah kerajaan kuno Funan berdiri disana pada abad pertama masehi.
Pulau Kalimantan adalah kasus yang unik. Sisi sebelah baratnya berada dekat dengan wilayah budaya Sunda dan Sumatera Selatan tetapi tidak memiliki temuan yang sama tuanya. Temuan tertua Kalimantan malah berada di sisi terjauhnya, yakni di pesisir timur. Kutai memiliki prasasti dari abad kelima masehi yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Bergeser ke selatan dari Kutai, di seberang laut jawa, terdapat temuan dari abad keenam masehi di pesisir utara pulau Bali.
Melihat sebaran situs tua seperti itu, maka muncul sebuah pola yang cukup jelas. Dibantu oleh petunjuk mengenai arah mata angin di masing-masing budaya dan data modern, pola itu bisa menjadi dasar untuk mereka-ulang jalur perdagangan di Asia Tenggara sebelum Sriwijaya berdiri.
Terdapat dua titik keberangkatan dari anak benua India menuju ke Asia Tenggara. dari pesisir timur sebelah utara, kapal layar menyusuri tepi pantai sampai ke Bangladesh, lalu melewati Myanmar, Thailand, dan akhirnya berhenti di sisi barat Tanah Genting Kra. Disana mereka berganti ke moda angkutan darat untuk menyeberangi Tanah genting Kra dan tiba di sisi timurnya. Disana mereka kembali beralih ke angkutan laut, menumpangi kapal untuk menuju Vietnam dan Cina.
Titik paling jauh yang mungkin ditempuh dalam jalur ini adalah Bujang Valley di Malaysia utara. Disana para pedagang bisa mendapatkan besi untuk dijual ke tempat lain di India atau Asia Tenggara daratan. Tetapi sebagian besar perjalanan berhenti sampai Bujang valley dan tidak berlanjut lebih jauh ke arah selatan sampai masuk ke Selat Malaka. Mungkin karena Selat antara Sumatera dan Semenanjung itu dipenuhi oleh perompak yang berbahaya bagi kapal dagang. Selain itu, tidak terdapat muara sungai besar di kedua sisi selat. Muara sungai besar menyediakan berbagai hasil hutan dari daerah pedalaman yang berharga untuk diperdagangkan.
Kapal yang berada di selatan anak benua India atau di Sri Lanka akan berangkat ke arah timur, melintasi samudera Hindia menuju ke arah utara Pulau Sumatera. Tiba disana, kapal bergerak ke arah selatan, menyusuri pantai barat Sumatera, melalui Jago-jago terus sampai masuk ke selat Sunda. Setelah melalui selat yang memisahkan Sumatera dan Jawa itu, kapal bisa berlabuh ke pantai utara Sunda dan dari sana meneruskan perjalanan ke timur sampai ke utara Bali. Pilihan lain setelah keluar dari Selat Sunda adalah berlabuh di pesisir timur pulau Sumatera bagian selatan, di Tulang Bawang, atau lebih ke utara memasuki Selat Bangka dan berlabuh di Air Sugihan atau di Karang Agung. Disana, sembari menunggu angin menuju ke Cina, para pedagang bisa masuk ke hulu Sungai Musi untuk mendapatkan hasil hutan dari pedalaman sebagai barang dagangan.
Musi adalah sungai dengan jaringan anak sungai terbesar di Sumatera. Dengan jangkauan seluas itu kepada daerah pedalaman, tidak mengherankan bila di hilir Musi tersedia berbagai hasil hutan dalam jumlah yang sangat banyak, sesuatu yang sangat menguntungkan untuk perdagangan karena di satu tempat yang sama tersedia berbagai pilihan komoditas yang terdapat dalam jumlah banyak. Itu akan menghemat banyak waktu dan tenaga.
Setelah angin yang sesuai datang, kapal yang menunggu di Karang Agung atau Air Sugihan bisa berangkat mengikuti angin yang berhembus ke timur laut yang akan membawa mereka ke Vietnam atau langsung ke Cina.
Dalam dua rute utama inilah perdagangan antar bangsa berlangsung di Kepulauan Asia Tenggara sebelum Sriwijaya berdiri di abad ketujuh. Tetapi sepertinya Fa Xian tidak selalu mengambil jalur utama dalam pelayarannya yang berlangsung sekitar 250 tahun sebelum Sriwijaya ada.
Menilik dari catatan perjalannnya, Fa Xian berangkat dari Sri Lanka ke arah timur menyeberangi lautan yang ganas sampai bertemu daratan yang bisa dijadikan petunjuk arah. Kapal yang dia tumpangi lalu melewati perairan yang dihuni oleh perompak dan dengan selamat tiba di Yawadwipa. Setelah lima bulan menunggu disana, Fa Xian kembali menumpang kapal lain dan berlayar ke timur laut menuju tanah kelahirannya.
Berdasarkan catatanya sendiri, diduga perjalanan pulang Fa Xian melalui sisi utara Pulau Sumatera dan alih-alih menyusuri sisi barat, kapal Fa Xian memilih memasuki Selat Malaka yang dipenuhi perompak. Setelah lolos dari para perompak, mereka berhenti di suatu tempat antara pesisir timur sumatera selatan atau pesisir utara Sunda. Pilihan jatuh kepada pesisir timur sumatera.
Pada pesisir utara Jawa, angin tidak berhembus ke timur laut. Disana angin bertiup dari timur ke barat dan sebaliknya. Sedangkan di pesisir utara Sunda, angin bertiup ke barat laut, menuju ke pesisir timur Sumatera, melalui Tulang Bawang, Air Sugihan, Kota Kapur, sampai ke Karang Agung, yang berada di seberang selat dari Gunung Manumbing di Bangka.
Dengan Demikian, Yawadwipa dimana Fa Xian berlabuh selama lima bulan dalam perjalanan pulangnya ke Cina berada di pesisir timur Sumatera Selatan, kemungkinan besar berada di sekitar Karang Agung, tempat dimana sebuah sisa perkampungan kuno dari abad kedua masehi telah ditemukan. Dari Karang Agung, angin timur laut bermula dan bisa membawa Fa Xian pulang langsung ke Cina.
Mengenenai kata ‘Yawa’, pada masa lalu kata ini adalah kata yang umum dipergunakan untuk menyebut kawasan yang sekarang dikenal sebagai seluruh Asia Tenggara sebelah barat. Kata ‘Yawa’ serupa perannya dengan kata ‘Jawi’ yang dipergunakan untuk menyebut kawasan Asia Tenggara pada masa setelahnya. Mengenai apakah ada hubungan antara ‘Yawa’ dan ‘Jawi’, kami serahkan kepada para ahli bahasa untuk menjelaskannya.
Dalam dugaan kami, kata ‘Yawadwipa’ adalah nama sebuah tempat yang karena memiliki pengaruh luas atau sangat terkenal sehingga membuatnya menjadi nama untuk seluruh kawasan. Pengaruh itu mungkin karena menghasilkan banyak barang berharga atau karena dihuni oleh orang-orang yang kuat secara militer atau ekonomi sehingga bisa mengendalikan orang lain yang hidup di sekitarnya.
Temuan arkeologis dan data arah angin cukup menjadi argumen untuk meletakkan Yawadwipa di pesisir timur Sumatera. Informasi tambahan yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah mengenai kerajaan Kandali. Pada masa Xiaowu yang berlangsung antara 454 sampai 464 masehi, kaisar ini menerima utusan dari kerajaan Kandali. Groeneveldt meletakkan kerajaan Kandali di suatu tempat di pesisir timur Sumatera. Menilik temuan arkeologis yang tersedia sampai saat ini, maka tempat di pesisir timur yang usianya sesuai dengan kerajaan Kandali berada di Sumatera selatan.