Pempek ubi kayu adalah penganan yang sangat populer di Palembang, bahkan di Indonesia. Pempek ubi kayu berasal dari kota Palembang dan seperti tersirat pada namanya, penganan ini dibuat dari ubi kayu.
Pempek ubi kayu mencampurkan ikan dengan tepung ubi kayu untuk menghasilkan adonan yang dapat diolah menjadi berbagai bentuk yang beberapa diantaranya bisa diberi isian berupa telur, potongan tahu atau udang kecil yang dikeringkan. Adonan yang telah dibentuk ini bisa dipanggang, direbus, dan juga digoreng sebelum disajikan.
Tepung ubi kayu ini didapat dari umbi tanaman ubi kayu. Setelah dikupas, umbi ini lalu dihaluskan menggunakan parutan atau alat khusus sehingga menjadi bubuk kasar yang kemudian dicampur dengan air. Setelah diaduk, air ini disaring untuk memisahkan pati dari ampasnya. Air yang mengandung pati ubi kayu lalu didiamkan selama beberapa jam sampai semua pati mengendap. Setelah itu air dibuang dan endapan pati ubi kayu dijemur sampai kering untuk mendapatkan tepung ubi kayu yang siap dipakai dalam masakan.
Tepung yang didapat dari endapan ini dalam bahasa suku Tupi di Amerika Selatan disebut dengan nama ‘tipi’oka‘, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘tapioca’ dan masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘tapioka’. Sehingga tepung ubi kayu juga dikenal dengan nama tepung tapioka.
Penyerapan kata ‘tapioka’ dari sebuah kata dalam bahasa suku asli di Amerika Selatan terjadi karena ubi kayu adalah tanaman asli yang hanya terdapat di benua tersebut dan tidak ditemukan di tempat lain di bumi. Penduduk asli Amerika Selatan telah lama mengenal dan mengolah ubi kayu, jauh sebelum penjajah Eropa datang kesana. Setelah bangsa Portugis tiba di Amerika Selatan, mereka mengadopsi ubi kayu sebagai makanan dan membawanya menyebar ke Afrika dan India.
Bangsa Spanyol membawa ubi kayu masuk ke Filipina dan dari sana ubi kayu menyebar luas ke bagian lain Asia Tenggara. Pada akhir abad kesembilanbelas, sekitar tahun 1880-an, perkebunan ubi kayu mulai berdiri di beberapa tempat di Pulau Jawa. Jumlahnya semakin banyak ketika memasuki abad keduapuluh, yakni tahun 1920-an. Mungkin di masa inilah tepung ubi kayu mulai dipergunakan secara luas dalam membuat makanan, termasuk dalam proses pembuatan pempek. Dengan demikian, penggunaan tepung ubi kayu dalam pembuatan pempek adalah sesuatu yang baru dan terjadi kurang lebih dalam 120 tahun terakhir ini.
Hal yang menarik adalah, jika ubi kayu bukanlah tanaman asli Asia Tenggara dan baru masuk kawasan ini di abad ke-16, lalu dibuat dari apakah pempek yang diyakini sudah ada sejak masa Sriwijaya di abad ke-7 masehi?.
Jika memang sudah setua itu, maka bahan yang paling mungkin untuk menjadi kandidat pembuat pempek adalah tepung sagu.
Sagu didapatkan dari pohon sagu atau yang juga dikenal dengan nama rumbia. Pohon dengan nama latin Metroxylon sagu ini ditebang dan diambil bagian dalam batangnya, Bagian dalam ini lalu dihancurkan dan dimasukkan ke dalam air dan didiamkan sampai patinya mengendap. Pati ini kemudian dikeringkan untuk mendapatkan sagu dalam bentuk bubuk atau tepung.
Pada masa lalu, sagu adalah bahan makanan utama di nusantara. Khusus untuk Palembang, menurut catatan Chu Fan Chi dari Cina, Raja Palembang hanya mau memakan sagu, jika tidak maka akan terjadi musibah di negeri Palembang. Chu Fan Chi ditulis pada permulaan abad ketigabelas di masa akhir Kadatuan Sriwijaya, kurang lebih 800 tahun yang lalu, atau sekitar 300 tahun sebelum ubi kayu diyakini masuk ke Asia Tenggara.
Pohon sagu tumbuh dengan baik di lahan basah pasang surut. Lahan ini banyak terdapat di Palembang jaman dahulu yang memiliki ratusan sungai yang mengairi lahan rawa dan lebak yang luas. Sampai tahun 1990-an masih ditemukan pohon sagu di sekitar Bukit Siguntang. Pohon yang sama juga masih dapat ditemukan di kompleks pemakaman Sabokingking pada tahun 2020 yang lalu.
Lahan tanaman sagu mungkin mulai berkurang seiring dengan dimulainya perkebunan padi, lada, kapas, dan kelapa sawit di sekitar Palembang, yang membuat sagu semakin sulit di dapat. Usaha pengolahan sagu terakhir terdapat di daerah 7 ulu yang sisa-sisanya dicatat oleh Belanda pada tahun 1821. Jejak lain mengenai pernah adanya usaha pengolahan sagu dalam skala besar di Palembang adalah adanya Guguk Pesaguan di daerah 16 Ulu.
Sepertinya di masa lalu terdapat kelompok masyarakat yang mengkhususkan diri mereka dalam usaha mengolah sagu sehingga mereka dikenal sebagai kelompok pengolah sagu yang dalam bahasa Palembang disebut ‘pesaguan’. Mereka akhirnya dikenal secara turun menurun sebagai Guguk Pesaguan dan kini termasuk dalam wilayah Kelurahan 16 Ulu, Palembang.
Sagu diyakini dipergunakan secara luas dalam budaya memasak orang Palembang di masa lalu. Sagu adalah satu-satunya bahan dan semua penganan dibuat memakai sagu, Hal terjadi dalam waktu yang sangat lama sehingga kata ‘sagu’ menjadi sangat kuat dalam bahasa Palembang dan menjadi kata umum yang dipergunakan untuk menyebut semua benda yang berbentuk tepung. Hal ini berlaku pula pada tepung tapioka yang oleh warga palembang disebut sebagai sagu.
Budayawan senior Palembang RM Ali Hanafiah dalam satu kesempatan pernah menyinggung mengenai keberadaan kata majemuk ‘sagu rumbio’ dalam percakapan orang Palembang. ‘Sagu rumbio’ merujuk kepada tepung yang diperoleh langsung dari pohon rumbia, yang adalah nama lain dari pohon sagu. Pembentukan kata ‘sagu rumbio’ ini mungkin adalah usaha orang Palembang untuk memberi perbedaan antara sagu asli yang didapat dari pohon sagu dari jenis sagu baru yang didapat dari ubi kayu, yakni tepung tapioka.
Saat ini kita mengenal sagu rumbio dan sagu baru, yang satu hidup di masa lalu dan yang satunya lagi hidup di masa kini tetapi dalam bayang-bayang yang lalu.
Perubahan pembuatan pempek dari berbahan sagu menjadi berbahan ubi kayu mungkin terjadi secara alami sebagai bagian dari usaha untuk mendapatkan mutu penganan yang lebih baik dan menarik. Tepung tapioka a.k.a ubi kayu menghasilkan pempek dengan tekstur yang lebih lembut dan halus dengan warna yang lebih cerah. Mutu ini tidak didapat dari Sagu, bahan yang sebelumnya dipergunakan sebagai bahan pembuat pempek.
Perkembangan untuk menjadi lebih baik adalah satu hal yang harus didukung, tetapi jangan sampai perkembangan membuat manusia tercerabut dari sejarah masa lalunya, karena sejarah memiliki peran penting dalam membentuk identitas suatu masyarakat. Pempek pernah dibuat dari sagu, tetapi sekarang sagu tinggalah nama untuk menyebut tepung tapioka, pendatang baru yang membuat pempek menjadi lebih enak untuk dinikmati. Karena itu, mari bersulang dengan cuko dan mulailah nikmati pempeknya!
Keren… saya tahunya, ubi kayu itu buat isi pempek pistel…hehehe…
Terima kasih untuk tambahan pengetahuannya.
Tabik!!
terima kasih mas, salam sehat selalu.