Muara Tatang dan Palembang adalah dua nama tempat yang disebut dalam sejarah Melayu. Keduanya diyakini berada berdekatan dan saling terkait. Ada sejumlah dugaan mengenai dimana Sungai Tatang ini berada. Dalam tulisan ringan kali ini kami akan memaparkan secara singkat salah satu dari dugaan tersebut.
Beberapa waktu yang lalu kami bersilaturahi ke rumah salah satu penggiat sejarah senior di Palembang, nama beliau adalah Raden Muhammad Ichsan. Perbincangan berjalan menyenangkan. Beberapa kegiatan kami rencanakan, sayangnya PPKM keburu datang dan membuat pelaksanaan rencana-rencana itu tertunda. Namun yang paling menarik adalah dugaan yang beliau sampaikan bahwa Muara Tatang adalah Sungai Musi yang kita kenal saat ini.
Ketika mendengar itu, kami seketika teringat sebuah kata yang pernah kami lihat dalam salah satu buku yang pernah kami baca. Kata itu akan kami bagikan disini, tetapi sebelumnya marilah kita lihat terlebih dahulu sumber yang menyebut kata ‘Muara Tatang’ dan ‘Palembang’.
Pertama, terdapat beberapa kalimat di bagian awal buku berjudul Sulalat As-Salatin karya Tun Sri Lanang. Buku yang kerap dianggap sebagai sumber sejarah utama bagi puak Melayu ini sampai ke penulis dalam versi yang ditulis oleh A Samad Ahmad, seorang warga-negara Malaysia. Kutipan dari Sulalatus Salatin ini berupa “Alkisah maka tersebutlah perkataan sebuah negeri di tanah Andalas, Palembang namanya…adapun negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Muara Tatang nama sungainya, di hulunya itu ada sebuah sungai, Melayu namanya, adalah dalam sungai itu ada satu bukit bernama Bukit Si Guntang…”.
Versi lain Sulalatus Salatin yang sampai kepada penulis datang dalam versi yang dikumpulkan oleh John Leyden. Dari versi yang kerap disebut sebagai ‘Malay Annals’ ini kita mendapatkan kutipan berikut “Terdapat sebuah negeri di tanah Andalas yang bernama Paralembang, yang ada di Kota Palembang sekarang inilah…nama sungainya adalah Muartatang, yang kepadanya bermuara sungai lain yang bernama Sungai Melayu, yang dekat sumber airnya terdapat gunung yang bernama Gunung Sagantang Maha Miru.”
Meski terdapat perbedaan dalam penulisan nama tempat, tetapi kedua versi Sulalatus Salatin itu memiliki kesamaan mengenai penggambaran situasi terkait Palembang. Keduanya sama-sama menyebut adanya kota bernama Palembang di Pulau Sumatera, yang kota tersebut memiliki sungai yang bernama Sungai Muar(a) Tatang. Sungai Muar(a) Tatang ini memiliki anak sungai yang bernama Sungai Melayu yang dipangkal sungai ini terdapat bukit suci bangsa Melayu, yakni Bukit Siguntang.
Palembang memiliki puluhan sungai, ratusan bahkan di masa lalu, tetapi hanya Sungai Musi yang paling besar dan bisa membawa orang asing dari lautan terbuka langsung datang ke Kota Palembang, karena sungai ini mengalir tepat di hadapannya dan dia sendiri berdiri persis di tepi sungai itu. Dengan penggambaran seperti itu semestinya tidak akan mengherankan bila muncul pendapat bahwa Sungai Muar(a) Tatang yang dimaksud oleh Sulalatus Salatin adalah Sungai Musi.
Pertanyaan yang lalu muncul adalah, apakah pendapat ini memiliki dasar dukungan? Apapun bentuknya.
Penulis dengan keterbatasan ilmunya mencoba mengajukan satu hal yang mungkin bisa mendukung pendapat bahwa Sungai Muar(a) Tatang adalah Sungai Musi.
Ketika RM Ichsan menyampaikan dugaannya, penulis seketika teringat pada satu kata yang pernah dilihat pada sebuah buku. Buku itu adalah buku yang ditulis oleh Jyun Takakusu dengan judul ‘Perkenalan kepada Kitab Catatan Atas Agama Buddha Karangan I-Tsing’.
Dalam buku tersebut terdapat sebuah kutipan menarik yang menggambarkan Kota Palembang yang diambil dari catatan Cina abad kelimabelas yang berbunyi “Dari mana pun datangnya kapal-kapal ini, mereka harus memasuki selat Banka (P’eng-chia) di Sungai Air Tawar (Tan-chiang, nama yang diberikan orang Cina kepada sungai Palembang)…dimana setelahnya para pedagang pergi ke hulu sungai menggunakan perahu yang lebih kecil dan tiba di ibukota.”
Kutipan itu secara jelas menyebut bahwa sungai yang membawa pedagang Cina masuk ke Palembang dari Selat Bangka adalah Sungai Tan-chiang. Jika merujuk kepada kata ‘Chiu-chiang’ yang dibaca ‘ku-kang’ maka kata ‘Tan-chiang’ disini kurang lebih akan dibaca ‘Tan-kang’.
Sekitar 200 tahun kemudian, Sulalatus Salatin ditulis oleh Tun Sri Lanang dan menyebut sungai yang mengalir dari Selat Bangka sampai ke hadapan Palembang sebagai Sungai Muar(a) Tatang.
Kedekatan bunyi antara ‘Tan-kang’ dan ‘Tatang’ adalah suatu hal yang sangat menarik dan mampu memicu imajinasi bahwa keduanya mungkin berhubungan. Dalam caranya sendiri yang unik, mungkin kata ‘Tan-chiang’ berubah menjadi kata ‘Tatang’, terutama mempertimbangkan adanya beragam bahasa dan dialek dari para pedagang yang hilir-mudik berdagang ke Palembang selama 200 tahun tersebut.
Jika persamaan antara keduanya bisa diterima maka kita akan mendapatkan gambaran yang menarik mengenai Palembang di masa 1600-an. Palembang berdiri di tepi sungai Muara Tatang, sebuah sungai besar yang memiliki ratusan anak sungai dan salah satunya bernama Sungai Melayu.
Sungai Melayu ini hulunya, dimana airnya berasal, berada di dekat sebuah bukit yang bernama Bukit Siguntang. Gambaran situasi ini sangat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Sulalatus Salatatin kepada kita, terutama dalam versi yang dikumpulkan oleh John Leyden.
Pada akhirnya, tulisan singkat nan ringan ini hanyalah berisi dugaan, mencoba meniru para raksasa sejarah di masa lalu yang juga menduga-duga dimana letak Panpan, Ilanggasogam, dan Poli.