Sun Tzu konon pernah berkata bahwa jika kamu tidak bisa memenangkannya, jangan pergi ke perang itu. Dengan kata lain, pergilah hanya ke medan perang yang bisa kamu menangi.
Kalimat yang kurang lebih sama muncul pula dari salah satu jenderal hebat di barisan Nazi Jerman, Erwin Rommel. “Jangan pergi ke perang yang jika kamu menang tidak mendapatkan apa-apa” ujarnya. Kalimat itu kira-kira sama dengan ungkapan “kalah jadi abu, menang jadi arang”, yang kalah benar-benar habis, yang menang juga babak belur, tidak dapat apa-apa. Kedua belah pihak sama-sama rugi, hanya beda skalanya saja. Perang yang sangat sia-sia.
Contoh peristiwa yang relevan bagi kalimat bijak Sun Tzu adalah serangan Yuan Cina atas Jepang pada paruh kedua abad ketigabelas. Kekaisaran CIna dinasti Yuan didirikan oleh suku Mongol yang berhasil menundukkan Cina. Mongol adalah tentara hebat. Dibesarkan di dataran maha luas Asia Tengah, mereka sangat mahir dalam berkuda dan bertempur di atas kuda. Kemampuan itu sangat berguna ketika mereka melancar serangan ke kekaisaran Cina, menyapu bersih kekuatan darat militer Cina yang besar dan kuat. Tetapi kehebatan berkuda tidak berguna di lautan. Asia Tengah memiliki banyak sungai, tetapi tidak ada yang sebanding dengan lautan, pasukan Mongol tidak memiliki kemampuan perkapalan yang memadai, begitu pula dengan skill bertempur di atas kapal.
Karena itu saat Yuan Cina menyerang Kepulauan Jepang, mereka tidak mendapatkan apa-apa selain musibah. Kapal-kapal yang dibuat dan pasukan yang menaikinya tidak memiliki pengalaman dan kemampuan yang memadai untuk bertempur di laut. Dua kali percobaan invasi hanya membuat Yuan Cina merasakan pedihnya kegagalan.
Contoh dari dunia modern datang dari pengalaman militer Amerika Serikat di Vietnam dan Afghanistan. Segala macam persenjataan dengan teknologi canggih yang Amerika Serikat lemparkan ke Vietnam dan Afghanistan tidak berbuah hasil baik dan pada akhirnya negara yang mengaku sebagai negara terkuat di dunia itu pun harus menarik mundur militer mereka.
Pasukan Vietnam terlalu paham dengan seluk beluk hutan rimba tropis yang panas dan lembab. Begitu pula dengan mujahidin Afghanistan yang sangat memahami gunung, lembah, gua, dan sungai di wilayahnya. Penguasaan atas medan perang membuat mereka berdua menjadi superior di hadapan pasukan Amerika Serikat.
Tentara yang dilatih baik dan didukung oleh peralatan berteknologi canggih seharga miliaran rupiah ternyata tidak berguna di hadapan orang-orang sederhana dengan senjata seadanya yang sangat menguasai medan pertempuran.
Dari contoh di atas kita bisa belajar dua hal, pertama: jika kita tidak punya kemampuan perang di laut, di hutan tropis, atau di pegunungan maka kita tidak perlu pergi berperang kesana; kedua: bahkan bila kita paham teknologi dan mampu mempergunakannya, itu juga tidak akan banyak membantu kita. Singkatnya, kita tidak perlu pergi ke perang yang medannya tidak kita kuasai.
Begitu pula dengan Palembang. Dunia pariwisata adalah medan perang antar berbagai tawaran paket liburan yang diajukan oleh bermacam-macam kota. Ada kota-kota yang berperang paket wisata pantai, ada kota-kota lain yang berperang paket wisata kebun teh, dan ada pula yang berperang di paket wisata hiburan buatan. macam-macam yang ditawarkan, tetapi keputusan ada di tangan wisatawan. Wisatawan adalah pemilik keputusan akhir dan mereka tidak bisa diatur, karena itu kota-kota harus bijak menentukan dimana mereka akan bertempur.
Untuk Palembang, medan pertempuran yang bisa mereka menangkan adalah di wisata kuliner dan sejarah. Palembang memiliki kekayaan kuliner yang luar biasa dan unik. Kuliner Palembang mencolok di kawasan Asia Tenggara. Palembang juga adalah kota tua yang berusia 1300 tahun. Umur yang panjang mendatangkan banyak kisah yang tidak akan habis-habis untuk diceritakan.
Semua orang di nusantara tahu bahwa pempek adalah makanan dari Palembang. Pindang, mie celor, martabak HAR, dan Malbi adalah empat contoh kuliner lain yang khas dan melekat kepada Palembang. Palembang adalah satu-satunya tempat di Asia Tenggara dimana turis bisa menemukan pempek, pindang, mie celor, martabak HAR, dan Malbi disajikan bersama-sama di satu kota yang sama dalam hari yang sama dengan pilihan tempat yang melimpah. Dan semua makanan ini adalah makanan asli Kota Palembang sendiri.
Hanya Palembanglah kota tertua di Indonesia yang terus menerus dihuni sejak pertama kali berdiri sampai saat ini. Ada beberapa kota lain yang lebih tua tetapi mereka semua sudah tidak dihuni lagi dan bahkan tidak diketahui dimana lokasi aslinya. Palembang, hebatnya, tidak pernah ditinggalkan penghuninya sejak pertama kali berdiri. Berbagai lapis kebudayan dari berbagai masa membentuk Palembang, membuatnya kaya pengalaman dan memberinya karakter yang tidak dimiliki oleh kota lain.
Jika orang Palembang tidak bisa bangga dengan dua kelebihannya ini maka kami tidak tahu mau berkata apa lagi.
Palembang tidak perlu berperang di medan wisata pantai. Lampung memiliki banyak pantai, dengan beragam jenis pasir, dengan air laut bewarna biru, dan semua pantai ini bisa dijangkau dengan mudah dan cepat dari Palembang. Perjalanan darat yang nyaman melalui jalan tol selama 4 jam yang membawa turis langsung ke pantai alami di Lampung tidak akan bisa dikalahkan oleh perjalanan singkat multi moda menuju pantai buatan atau pantai di sungai di dalam kota, apalagi oleh perjalanan multi moda yang kurang nyaman selama 8 jam menuju pantai yang jauh dari mana-mana.
Pantai buatan bukanlah solusi untuk memenangkan perang wisata pantai. Beberapa tempat yang disebut pantai oleh orang Palembang telah muncul di beberapa kelokan Sungai Ogan dan Sungai Musi selama 4 tahun terakhir, tetapi ‘pantai-pantai’ ini tidak mendapatkan kepopuleran yang mereka butuhkan. Penduduk sumsel tetap lebih memilih pergi ke Lampung ketika mereka ingin berlibur ke pantai. Ini adalah pilihan yang sangat wajar dan tidak membutuhkan teknologi yang tinggi untuk menjelaskannya. Pantai identik dengan butiran pasir lembut dan air yang biru, bukan lumpur kering dan air cokelat.
Membuat pantai di Sungai Musi hanya akan mengulangi kegagalan lama yang seharusnya bisa dihindari.
Wisata pantai bukanlah perang yang bisa dimenangkan oleh Palembang. Sumber daya yang mereka miliki lebih baik dialihkan ke medan yang lebih mungkin untuk mereka menangkan, dan itu ada di wisata kuliner dan wisata sejarah. Karena disitulah Palembang memiliki kekuatan yang tidak bisa ditandingi oleh kota-kota lain di Indonesia.
Pada akhirnya, menjadi diri sendiri selalu lebih baik. Seperti kalimat bijak yang terus menerus beredar di media sosial, ‘be yourself’, jadilah diri sendiri, karena jatah untuk menjadi orang lain sudah ada yang ambil.