Bulan Maret 2021 lalu tim kecil yang menjelajahi Pulau Kembaro mendapati sebuah struktur beton di bagian pesisir utara ujung timur pulau tersebut. Struktur ini oleh warga setempat disebut dengan nama ‘dapur’. Alasannya karena berdasarkan cerita yang diterima dari para orang terdahulu struktur itu adalah sisa sebuah dapur dari bangunan atau kompleks bangunan yang dipergunakan untuk menyekap tahanan terkait peristiwa G30S/PKI.
Tim kecil yang terdiri dari Arkeolog dan Anthropolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan dan Koordinator komunitas edukasi sejarah Sahabat Cagar Budaya mencoba mengumpulkan data dan foto struktur tersebut. Struktur beton berlumut yang dikelilingi oleh pepohonan dewasa dan tanaman merambat ini terdiri dari beberapa bilah beton yang ditegakkan di atas tanah dengan bilah lain ditumpukkan di atasnya menjadi semacam atap. Beberapa bilah beton lain tampak tergeletak di atas tanah di pinggir sungai, dengan sebagian badannya terendam air.
Dugaan awal dilontarkan bahwa struktur beton itu adalah sisa dari kubu pertahanan Jepang di Palembang.
Satu bulan kemudian kelompok yang lebih besar datang kembali ke lokasi yang sama. Saat ini dugaan kedua muncul dari anggota kelompok lainnya bahwa struktur beton itu mungkin adalah sisa dari apa yang direncanakan sebagai tiang tapak jembatan Ampera.
Setelah beberapa bulan tanpa perkembangan baru, pada akhir tahun 2021 ini kami mendapatkan informasi tentang Pulau Kembaro di masa Perang Dunia Kedua. Informasi ini akan mendukung dugaan pertama bahwa struktur beton yang disebut ‘dapur’ oleh warga setempat sebenarnya adalah sisa kubu pertahanan Jepang.
Palembang adalah kota tertua di Indonesia yang terus menerus dihuni sejak awal berdiri sampai saat ini. Selama 1300 tahun lebih Palembang selalu menjadi kota penting yang diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan besar di kawasan maupun di dunia.
Pada tahun 1940-an, Palembang adalah kota yang sangat penting karena di dekatnya berdiri dua buah kompleks pengolahan minyak yang terbesar di kawasan Asia Tenggara, yakni Plaju dan Sungai Gerong. Pada masa itu, 75 persen kebutuhan bahan bakar pesawat terbang di Asia Tenggara dipenuhi oleh dua kilang minyak itu saja. Hal itu membuat Plaju dan Sungai Gerong menjadi rebutan dari dua pihak yang sedang bertikai di Perang Dunia Kedua, Jepang dan Sekutu.
Pada tahun 1942 Jepang berhasil merebut dan menduduki Plaju, Sungai Gerong, dan Palembang. Sejak saat itu mereka memagari ketiga kota itu secara kuat. Jepang menempatkan Angkatan Udara mereka di tiga pangkalan udara di sekitar Palembang untuk menjaga wilayah udara. Sedangkan di darat mereka meletakkan 270 buah kubu persenjataan anti serangan udara di berbagai tempat di dalam Kota Palembang. Jumlah kubu yang Jepang persiapkan di Palembang ini jauh lebih banyak daripada jumlah kubu pertahanan yang mereka siapkan untuk melindungi Singapura. Itu bukti yang cukup untuk menunjukkan betapa pentingnya Plaju dan Sungai Gerong bagi pasukan Jepang.
Dalam usaha merebut kembali Palembang dan dua kilang minyak di dekatnya, pasukan sekutu menjalankan beberapa operasi pengeboman, terutama ke Plaju dan Sungai Gerong dengan tujuan untuk melemahkan kekuatan Jepang di Asia Tenggara. Laporan atas pengeboman itulah yang menyediakan bukti yang dibutuhkan mengenai adanya kubu pertahanan Jepang di Pulau Kembaro.
Dalam salah satu foto laporan setelah serangan dilakukan, tampak sebuah rupa bumi yang familiar bagi kami karena menunjukkan pesisir utara ujung timur Pulau Kembaro.
Foto ini menunjukkan wilayah tersebut dalam keadaan terbuka dan hutan lebat hanya tersisa di separuh sebelah selatan ujung timur Kembaro. Daerah yang terbuka itu menunjukkan sesuatu yang tampak seperti sebuah jaringan jalan yang menghubungkan beberapa bangunan atau struktur dalam kawasan tersebut. Kawasan terbuka ini oleh pihak sekutu ditandai sebagai lokasi pertahanan pasukan Jepang. Tulisan ‘Jap Fighter’ tertera pada foto dengan sebuah garis yang mengarah ke kawasan berwarna terang dalam foto hitam-putih tersebut.
Lokasi pertahanan Jepang dalam foto tersebut persis berada di lokasi dimana struktur beton yang disebut ‘dapur’ berada dan dua kali dikunjungi oleh teman-teman dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan dan Komunitas Sahabat Cagar Budaya.
Dari foto tersebut kita bisa membayangkan situasi di Pulau Kembaro pada tahun 1945, tahun dimana foto tersebut diambil.
Sebagian besar pulau kemungkinan kosong dengan bentang rupa bumi berupa sawah lebak dan hutan dataran rendah. Hutan ini hanya berada di ujung sebelah barat dan ujung sebelah timur pulau. Pada bagian timur ini, di sisi sebelah utaranya yang berhadapan dengan daratan Palembang, tampak hutan telah dibuka untuk mendirikan beberapa bangunan yang terkait dengan pertahanan Jepang. Lahan terbuka ini memiliki ukuran kurang lebih 400 meter kali 110 meter. Dengan ukuran seperti itu kita dapat membayang kemungkinan adanya beberapa bangunan dan sejumlah kubu persenjataan anti pesawat udara.
Satu struktur beton kecil yang tersisa dan ditemukan itu ternyata hanyalah satu bagian kecil dari sebuah kawasan pertahanan yang jauh lebih besar. Pertahanan ini diperlukan untuk menjaga dua kilang minyak terbesar di Asia Tenggara yang berada di sebelah selatan pulau di Sungai Musi tersebut.
Penjagaan yang sangat ketat itu cukup berhasil. Walau beberapa kali dijatuhi bom oleh sekutu, Jepang tetap mampu mempertahankan Plaju dan Sungai Gerong. Kedua kilang terbesar di Asia Tenggara itu baru bisa diambil alih oleh Sekutu setelah Jepang dijatuhi bom atom dan akhirnya menyerah kalah dalam Perang Dunia kedua.
Semoga ujung timur Pulau Kembaro dapat ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya karena daerah tersebut memiliki sejarah panjang sebagai kubu pertahanan, bukan hanya di masa Jepang tetapi sejak masa Kerajaan Palembang. Saat ini ujung timur Pulau Kembaro belum tersentuh pembangunan sehingga masih dapat dirancang sebagai kawasan cagar budaya dengan misi edukasi dan wisata yang berwawasan warisan budaya.