Gedung eks Museum Tekstil adalah salah satu bangunan tua yang sedang mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini di Kota Palembang. Gedung ini terletak di sebuah simpang lima yang ramai di pusat kota, dalam sebuah lingkungan yang asri 1,4 km di sebelah barat Jembatan Ampera.
Pertanyaan menarik yang sering terlontar mengenai Gedung ini adalah mengenai kapan tepatnya bangunan putih yang anggun ini dibangun. Dalam tulisan pendek ini kami akan mencoba menjawabnya.
Sesungguhnya, kami belum punya angka tahun pasti mengenai kapan Gedung eks Museum Tekstil dibangun. Informasi pasti mengenai itu mungkin bisa dicari di tumpukan arsip yang ada dalam koleksi dinas Arsip Nasional RI atau bahkan di museum-museum di Belanda. Namun kita bisa menelusuri waktu keberadaan bangunan ini melalui sumber tidak langsung, seperti peta dan foto lama dari era pendudukan Belanda.
Bangunan eks Museum Tekstil berada di ujung barat Jalan Merdeka dan masuk ke dalam kawasan yang dahulu dikenal sebagai ‘Talang Semut’. Tetapi kini kawasan itu lebih dikenal sebagai ‘Kambang Iwak’. Bangunan ini menghadap ke arah selatan dan diapit oleh dua buah jalan, yakni Jalan Dokter Wahidin dan Jalan Diponegoro.
Pada tahun 1922, semua jalan yang disebut di atas belum ada, begitu pula dengan bangunan yang sedang kita selidiki ini. Pada potongan peta lama dari tahun itu, pembangunan di Palembang masih dipusatkan di sekitar Kuto Besak, terutama di sisi sebelah timurnya. Pada sebelah timur ini terdapat sebuah pasar yang ramai dan menjadi jantung perekonomian Palembang, yaitu pasar 16. Kawasan yang sekarang menjadi Kambang Iwak belum mewujud dan masih berupa rawa-rawa yang menjadi hulu dari Sungai Soak Bato. Antara kawasan ini dengan Talang Semut yang ada di selatannya terdapat segaris jalan yang sekarang kita kenal sebagai Jalan Ario Kesumo Abdurrochim dan Jalan Kartini.
Dengan situasi seperti itu, sudah jelas bahwa Gedung eks Museum Tekstil belum dibangun pada tahun 1922. Karena lokasinya berdiri saat itu masih berupa rawa-rawa.
Palembang sendiri baru diakui menjadi sebagai sebuah kota oleh pemerintah Belanda pada tahun 1906 yang seharusnya dipimpin oleh seorang Walikota. Uniknya, Palembang tidak memiliki walikota sampai tahun 1919, ketika Walikota pertama Palembang dilantik, yakni orang Belanda yang Bernama L.G Larive.
Setelah memiliki Walikota, pembangunan Palembang mulai gencar dilakukan, salah satunya dengan mengembangkan kawasan Talang Semut.
Talang Semut dikembangkan sebagai permukiman bagi warga Eropa yang bertugas atau menetap di Palembang. Seorang Insinyur Belanda dijadikan penasehat Pemerintah Kota Palembang dalam urusan pembangunan ini, dia adalah Thomas Karsten. Karsten merancang Talang Semut menjadi semacam kota taman yang nyaman bagi penghuninya.
Beberapa jalan baru dibangun dan rumah-rumah batu bewarna putih bermunculan. Kolam dan taman menjadi fasilitas umum yang disediakan di Talang Semut. Perkembangan yang masif ini tampak pada peta Palembang tahun 1930. Salah satu bangunan yang muncul adalah rumah dinas Walikota Palembang. Rumah dinas walikota Palembang didirikan tepat di titik pertemuan antara dua jalan baru, yakni jalan Willems dan Jalan Wilhelmina. Kedua jalan itu sekarang Bernama Jalan Supeno dan Jalan Diponegoro.
Rumah dinas Walikota Palembang inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Gedung eks Museum Tekstil.
Dengan demikian, Gedung eks Museum Tekstil dibangun antara tahun 1922 sampai 1930, yaitu dari peta Kota Palembang tahun 1922 terbit sampai peta Kota Palembang tahun 1930 terbit.
Jika dugaan di atas benar adanya maka Gedung eks Museum Tekstil usianya sekarang telah mendekati 100 tahun, usia yang termasuk tua. Semoga bangunan ini dapat dilestarikan sesuai kaidah warisan budaya yang berlaku dan bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat Palembang.
Tentu saja data yang lebih akurat harus dicari di dalam arsip-arsip Belanda. Tulisan ini hanya sekedar usaha kecil untuk mengisi kekosongan narasi atas gedung eks Museum Tekstil. Semoga tulisan pendek ini dapat membantu memperkaya narasi terkait Gedung eks Museum Tekstil dan juga narasi kesejarahan Palembang secara kesuluruhan.
Semoga gedung ini yang sekarang kosong bisa menjadi ruang kreatif bagi komunitas terutama seni di kota Palembang.