Perihal nisan-nisan Masjid Lama, apakah nisan-nisan ini berasal dari pemakaman umum atau dari pemakaman keluarga? Atau adakah kemungkinan lain?
Belum lama ini Palembang mendapatkan kembali beberapa keping masa lalu mereka yang sempat hilang dilindas pembangunan. Kepingan masa lalu itu ditemukan di daerah yang sekarang dikenal sebagai Jalan Mesjid Lama, sekitar 100 meter ke arah timur Bundaran Air Mancur.
Kamis malam 14 Januari 2022 lalu enam buah nisan ditemukan di dalam galian yang dikerjakan oleh sebuah BUMN. Sebagian nisan itu sempat dikubur kembali oleh yang menemukan dan sisanya ‘tidak sengaja’ dibuang ke daerah Tanjung Barangan. Untungnya penemuan itu sempat viral dan akhirnya diketahui masyarakat luas dan pada akhirnya keenam nisan itu bisa digali kembali dan dikumpulkan.
Masalah nisan dari pusat kota Palembang yang ‘terbuang’ ke Tanjung Barangan ini mengingatkan kami pada prasasti masa Sriwijaya yang ditemukan kembali di daerah Talang Tuwo. Apakah prasasti buatan tahun 684 masehi itu benar-benar didirikan di sana atau didirkan di tempat lain lalu ‘terbuang’ ke Talang Tuwo, daerah yang sekarang masuk ke kawasan Tanjung Barangan. Kedua-duanya adalah sama-sama batu bertulis, apakah nasibnya juga sama? Wallahualam, sekarang kita kembali ke masalah nisan.
Setelah berhasil dikumpulkan oleh Kantor Arkeologi Sumatera Selatan, keenam nisan itu memberikan informasi kepada kita melalui teks yang tertera padanya.
Berikut ini informasi yang tertera pada masing-masing nisan.
Nisan pertama berbunyi ‘Maka telah berpulang ke rahmatullah dengan baik Niaji (Nadibah) anak perempuan Abdul Aziz dari Palembang.’
Nisan kedua berbunyi ‘Maka telah berpulang ke rahmatullah raja yang baik Almarhum Haji Abdurrahman Raja Ismail.’
Nisan ketiga berbunyi ‘Maka telah berpulang ke rahmatullah dengan baik Niaji Rosyidah anak perempuan Haji Abdurrahman Raja Ismail dari Palembang.’
Nisan keempat berbunyi ‘Dan adapun wafatnya pada hari Senin, 8 Robiul Akhir Tahun 1322 H.’
Nisan kelima berbunyi ‘Telah berpulang ke rahmatullah perempuan bernama Nur’aini anak Perempuan Haji Abdurrahman pada Tanggal 2 Bulan Robi’ul Awal.’
Nisan keenam berbunyi ‘Dan adapun wafatnya pada 25 Dzulkaidah Tahun 1310 Hijriah..’
Pada keenam nisan tersebut terdapat dua nisan yang memberikan angka tahun yakni nisan keempat dengan angka tahun masehi di 21 Juni 1904 dan nisan keenam dengan angka tahun masehi di 9 Juni 1893. Dengan demikian kita akan membatasi pembicaraan tentang nisan ini pada era waktu 1890-an sampai masa kemerdekaan. Masa kemerdekaan dipilih sebagai batas waktu karena setelah itu pembangunan terjadi tidak terkendali di Palembang.
Menurut dugaan para peneliti, keenam nisan ini berasal dari satu keluarga yang sama.
Pada sekitar tahun 1821, tahun dimana Belanda menduduki Palembang, lokasi penemuan enam nisan itu adalah lahan kosong. Namun pada masa yang lebih awal, mungkin 100 tahun sebelumnya, di daerah itu pernah berdiri keraton yang Bernama Kuto Beringin Janggut.
Mungkin terdapat cukup banyak bangunan di dalam kuto itu dan mungkin pula terdapat makam yang disediakan khusus bagi keluarga Kesultanan. Tetapi ketika Kuto Kecik dibangun sepertinya Kuto Beringin Janggut ditinggalkan. Puncaknya pada saat Kuto Besak selesai, pemukiman keluarga kesultanan sepertinya bergeser ke arah barat Sungai Tengkuruk. Sehingga ketika Belanda menduduki Palembang, mereka tidak melihat adanya perkampungan besar di sisi timur Sungai Tengkuruk. Hanya terdapat sebuah pasar yang berada di tepi muara Sungai Tengkuruk. Pasar ini oleh Belanda dikembangkan menjadi pasar utama di Palembang, yang sekarang kita kenal sebagai Pasar 16 Ilir.
Peta Palembang pada tahun 1877 memberi informasi bahwa daerah Masjid Lama mulai dihuni. Sejumlah bangunan telah berdiri dan diberi tanda sebagai kantor dan rumah tinggal. Sayangnya penulis tidak memiliki peta atau foto dari masa yang mendekati tahun 1893 dan 1904. Informasi selanjutnya yang paling dekat datang dari foto udara Palembang yang diambil sekitar tahun 1920-an.
Ketika pasar dibangun, wilayah 16 ilir dan sekitarnya semakin ramai, toko-toko dan rumah-rumah dibangun di dekat pasar. Dalam sebuah foto yang diambil sekitar tahun 1920-an ini, daerah Masjid Lama telah dipenuhi oleh perumahan yang rapat. Hanya terdapat sedikit jeda berupa pepohonan antara atap-atap rumah.
Foto daerah Masjid Lama selanjutnya dari era 1940-an yang memberikan gambaran yang tidak terlalu jauh berbeda, susunan rumahnya masjid dapat dikenali sama dengan suasana pada tahun 1920-an.
Pada kedua foto itu terdapat pola yang dapat dikenali. Terdapat sebaris bangunan batu dari pangkal Masjid Lama, lalu ada pepohonan, diikuti oleh dua rumah kayu, lalu ada pepohanan lagi, kembali diikuti oleh tiga atau empat rumah kayu, lalu bertemu kerimbunan pohon lainnya. Pada yang ketiga ini, kerimbunannya lebih banyak sehingga memberi indikasi bahwa terdapat lebih banyak pohon daripada dua kerimbunan sebelumnya. Dan karena terdapat lebih banyak pohon maka tanah yang ada di bawahnya juga pasti lebih luas, agar cukup memuat pohon yang lebih banyak.
Menurut dugaan kami, pada kerimbunan pohon yang ketiga inilah terdapat peluang untuk adanya sebuah pemakaman. Dan jika benar terdapat sebuah makam disitu, kemungkinan itu adalah makam keluarga, menilik kepada ukurannya yang cukup lega untuk meletakkan beberapa makam tetapi terlalu kecil untuk menjadi sebuah pemakaman umum. Demikian pula pada peta tahun 1917 tidak ada tanda pemakaman yang diletakkan oleh pembuat peta di daerah Masjid Lama.
Dalam masa selanjutnya, satu garis pertokoaan yang berada tepat di tepi Jalan Tengkuruk akan dirubuhkan untuk membangun tapak bagi kaki sebelah Ilir Jembatan Ampera. Lalu rumah-rumah di sepanjang Jalan Masjid Lama berubah menjadi pertokoan. Kemungkinan tepat di kerimbunan ketiga yang terdapat pemakaman keluarga inilah dibangun jalan yang menghubungkan Jalan Masjid Lama dengan Jalan Pasar Baru. Pada jalan inilah nisan-nisan ditemukan Kamis 10 hari yang lalu.
Selain sebuah pemakaman keluarga, terdapat pula kemungkinan lain, yang akan dijabarkan pada paragraf berikut.
Kawasan sekitar Masjid Agung dikenal sebagai kawasan yang kental atmosfer keilmuannya. Sejak dahulu para guru agama tinggal di sekitar Masjid Agung Palembang, karena itu dikenal adanya sebuah daerah Bernama ‘guru-guru’ di dekat Masjid Agung, diduga itu adalah lokasi bermukimnya para guru agama di Palembang. Guru-guru ini tentu saja menyimpan banyak buku dan mungkin pula menulis buku, maka tidak heran sampai hari ini di sekitar Masjid Agung Palembang terdapat sejumlah perpustakaan, banyak toko buku baru dan bekas, dan banyak sekali usaha percetakan.
Tradisi tulis menulis yang kental di sekitar Masjid Agung Palembang mungkin pula melahirkan jenis usaha baru, yakni Penulis batu nisan. Batu nisannya mungkin didatangkan dari luar Palembang tetapi penulisan yang diterakan diatasnya dilakukan oleh seorang juru tulis yang bermukim di sekitar Masjid Agung.
Jika hal ini bisa diterima, maka kemungkinan keenam nisan itu berasal dari sebuah usaha pembuatan batu nisan yang berada Jalan Masjid Lama, di seberang Masjid Agung. pada kerimbunan ketiga di Jalan Masjid Lama terdapat lahan yang cukup luas dan teduh untuk seorang juru tulis melakukan pekerjaannya menerakan aksara-aksara ke atas batu nisan yang dipesan pelanggannya. Nisan-nisan itu mungkin ditinggalkan saat pemilik usaha pindah atau menutup usahanya.
Tulisan ini dibuat semata-mata di atas kesukaan penulis atas peta dan foto lama, sehingga terbuka kemungkinan untuk terjadi kekeliruan. Semoga tulisan ini dapat memperkaya narasi atas kejadian penemuan nisan-nisa kuno yang baru ditemukan ini.
Pada saat tulisan ini dibuat, Tim dari Kantor Arkeologi Sumatera Selatan baru saja meneliti lokasi pembuangan bahan galian dari pekerjaan proyek BUMN di Pasar 16 Ilir. Penelitian ini menemukan beberapa pecahan keramik, pecahan porselen, pecahan bata, dan sebuah botol tua.