Salah satu hal menarik yang paling awal kami ingat dari berbagai cerita tentang Palembang adalah kisah tentang Sultan Palembang yang melarang orang Cina untuk tinggal di darat. Akibatnya, orang Cina terpaksa tinggal di dalam rakit di atas Sungai Musi. Tapi, peta dan gambar lama memberikan pandangan yang berbeda.
Orang Cina bukanlah orang asing bagi Palembang. Kehadiran orang Cina di Palembang bahkan lebih tua dari usia Palembang sendiri.
Palembang dianggap resmi berdiri pada tahun 683 masehi, sedangkan orang Cina sudah ke Palembang pada tahun 671 masehi. Pendeta I-Tsing telah datang ke Palembang 12 tahun sebelum prasasti Kedukan Bukit dibuat oleh Dapunta Hyang Srijayanaga. Bukan sekedar mampir, I-Tsing sempat tinggal beberapa tahun untuk belajar agama Buddha dan menerjemahkan kitab-kitab.
Untuk beribadah, belajar agama, dan menyalin kitab agama Buddha, I-Tsing harus melakukannya di sebuah bangunan keagamaan yang sudah pasti berdiri di atas tanah, bukan air.
Saat Majapahit menyerang Palembang sekitar tahun 1397 mereka melihat sebuah komunitas besar orang Cina telah menetap di Palembang dan pasukan Majapahit memilih untuk tidak mengganggu mereka. Setelah penguasa Palembang jatuh dan Majapahit pulang, masyarakat Cina ini mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Tokoh ini yang nanti akan bertemu dengan Laksamana Cheng Ho dan membantunya melawan perompak di Sungai Musi. Kekaisaran Cina lalu mengangkat pemimpin lokal ini menjadi Pemimpin resmi komunitas Cina di Palembang.
Pada tahun 1659 giliran Belanda yang menyerang Palembang. Pada saat itu keraton Palembang berada tepat di lokasi PT Pusri berdiri saat ini. Belanda membuat lukisan untuk menggambarkan serangan mereka kepada Palembang. Dalam lukisan itu terdapat keterangan mengenai keberadaan sebuah kampung Cina di daratan Palembang tepatnya di seberang keraton Kuto Gawang. Lokasi ini sekarang kira-kira berada di Stadion Patra Jaya, Plaju.
Belanda kembali menyerang Palembang pada tahun 1821. Dalam serangan yang terjadi di masa Kesultanan Palembang ini, Belanda membuat peta yang menggambarkan situasi di kota yang mereka serang untuk kelima kalinya ini. Dalam peta tersebut tercantum keterangan mengenai sebuah perkampungan Cina dan sebuah tempat ibadah Cina. Keduanya berada di daratan pada sisi sebelah selatan Sungai Musi, di lokasi yang sekarang kira-kira menjadi 5 ulu, 9 dan 10 Ulu.
Dari informasi yang dibagikan di atas didapat gambaran bahwa di masa lalu komunitas Cina telah memiliki perkampungan mereka sendiri di Palembang dan perkampungan itu berdiri di darat, bukan di atas air.
Sajian informasi ini berbeda sekali dengan kabar yang luas tersebar yang mengatakan bahwa orang Cina di Palembang hanya boleh tinggal di atas air.
Lalu, darimana kisah tentang larangan bagi warga Cina di Palembang untuk tinggal di darat?
Sependek ingatan kami, sumber paling awal untuk cerita ini datang dari pejabat Belanda Bernama Sevenhoven yang ditugaskan ke Palembang. Sevenhoven menulis sebuah buku yang didalamnya berisi cerita bahwa Sultan Palembang melarang orang Cina tinggal di daratan.
Jika benar adanya kisah itu berasal dari orang Belanda, maka terbuka kemungkinan bahwa cerita itu dibuat-buat dengan tujuan untuk menjelek-jelekkan Sultan Palembang.
Sebagai bangsa yang baru saja menang perang atas tokoh yang luas pengaruhnya di bagian selatan sumatera. Belanda memiliki kebutuhan untuk melegitimasi kemenangannya itu di mata masyarakat Palembang. Belanda hendak mencitrakan diri mereka sebagai pembebas rakyat Palembang dari cengkeraman pemimpin jahat yang bernama Sultan Palembang. Karena itu mereka membuat kisah-kisah buruk tentang Sultan dengan harapan warga Palembang akan bersimpati kepada Belanda, walaupun kisah itu bertentangan dengan informasi yang mereka berikan sendiri.
Semoga kampanye jahat yang dilakukan oleh orang Belanda atas Kesultanan Palembang bisa perlahan-lahan dihapuskan. Masyarakat Palembang di masa modern pun tidak perlu melestarikan rencana jahat yang telah berusia 200 tahun ini. Mengadu domba adalah kerja penjajah dan kita tidak perlu terus menerus menjadi domba.