Puntikayu
Punti Kayu adalah hutan pinus yang berada di Kota Palembang. Sejak 1985 Punti Kayu diresmikan sebagai hutan wisata. Namun nama Puntikayu sendiri sudah lama ada dan tidak berkaitan dengan hutan dan pohon pinus.
Nama ‘Punti Kayu’ pertama kali muncul dalam peta buatan Belanda keluaran tahun 1916. Dalam peta itu nama ‘Punti Kayu’ ditulis sebagai ‘S. Poentikajoe’. Huruf ‘S’ pada nama itu mewakili kata ‘Sungai’ sehingga ‘S Poentikajoe’ berarti ‘Sungai Poentikajoe’.
Betul, Poentikajoe pada awalnya adalah nama sebuah sungai. Sungai Poentikajoe memiliki hulu di kaki perbukitan yang berada di sebelah utaranya dan mengalir ke arah tenggara lalu bermuara ke Sungai Bayas.
Pada tepi sebelah selatan Sungai Poentikajoe ini berdiri Kantor Urusan Pekerjaan Umum Pemerintahan Belanda, sedangkan di sisi sebelah utaranya terdapat hutan dan perbukitan.
Nama Sungai Poentikajoe lalu dipakai oleh orang-orang di masa itu untuk menyebut kawasan luas yang ada di sisi utara sungai kecil itu. Jika dibandingkan dengan peta modern maka kawasan Poentikajoe di masa lalu membentang dari sekitar Jalan Irigasi di ujung Pakjo sampai ke daerah Sukarame.
Nama ‘Poentikajoe’ sendiri memiliki arti. Kata ‘Punti’ memiliki arti ‘Pisang’ dan kata ‘kayu’ memiliki arti ‘pohon’ atau ‘batang’, sehingga ‘Poentikajoe’ secara bebas bisa diartikan sebagai ‘Pisangpohon’ atau ‘Pisangbatang’ atau semata-mata ‘Pisangkayu’. Kami berpendapat bahwa ‘Poentikajoe’ adalah nama sejenis pisang-pisangan yang tumbuh di Palembang dan sekitarnya. Namun jenis pisang ini sekarang mungkin telah punah.
Sebagai pembanding, sekitar tahun 1980-an masih mudah untuk mencari dan memakan Pisang Batu namun sekarang jenis pisang ini semakin jarang ditemukan.
Pada masa sekarang, pisang-pisangan dari jenis yang disebut Pisang Kayu dapat ditemukan di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Menurut warga NTB, Pisang Kayu adalah jenis pisang asli pulau mereka.
Kata ‘Punti’ sendiri adalah kata yang memiliki sebaran luas di dunia penutur bahasa Melayu, tersebar dari Sumatera sampai ke Sulawesi. Variasinya yang berupa ‘Ponti’ masih bisa ditemukan dalam bahasa Suku Komering yang tinggal di sebelah selatan Kota Palembang.
Seiring perkembangan jaman, Sungai Poentikajoe (ke depannya akan ditulis sebagai ‘Punti Kayu’) menjadi korban dari ganasnya pembangunan yang tak terkendali. Sebagian ruas sungai ini telah hilang dan sisanya menjadi parit yang terhimpit perkantoran dan perumahan.
Apa yang masih tersisa dari sungai itu adalah namanya, yang masih dikenal sampai saat ini oleh penduduk Palembang, walau sudah bergeser jauh. Bermula dari nama sungai, sekarang Punti Kayu menjadi nama kawasan hutan yang berada di perbukitan di sebelah utaranya. berawal sebagai nama jenis pisang sekarang orang membayangkan rimbunnya pepohonan pinus. Dalam rimbunnya pepohonan itu dahulu terdapat Sungai Rawangsalak yang bermuara ke rawa-rawa luas yang terletak di antara Jalan Kolonel Sulaiman Amin dan Jalan Letnan Murod.
Nasib Punti Kayu masih terhitung baik jika dibandingkan puluhan sungai lain di Palembang yang raib, baik fisiknya maupun namanya. Hanya satu yang tidak raib, yaitu airnya.
Rawa dan sungai adalah tempat air berkumpul dan mengalir. Air tidak akan perduli jika rawa dan sungai menghilang, dia akan tetap datang, berkumpul, dan mengalir. Ketika rawa dan sungai berubah menjadi rumah, kantor, dan jalan maka di rumah, kantor, dan jalan itulah kini air berkumpul dan mengalir.
Konon di masa lalu Palembang memiliki 200-an anak sungai dan kawasan rawa-rawa yang luas, tetapi sekarang sungai itu tersisa kurang dari separuhnya, itupun dalam kondisi yang menyedihkan. sedangkan rawa-rawa telah berubah menjadi berbagai kawasan permukiman. Tidak lagi menjadi rumah bagi air, rawa-rawa sekarang menjadi rumah bagi manusia, seperti di rawa sari, tanjung rawa, rawa jaya, dan rawa bendung.
Semoga rawa-rawa dan sungai-sungai yang tersisa di Palembang bisa segera dipulihkan, bukan untuk mengenang masa lalu tapi untuk mengurangi penderitaan manusia Palembang masa kini yang punya masalah dengan air.