Setelah tulisan tentang asal nama Hutan Wisata Punti Kayu dibagikan kemarin, muncul tanggapan yang mengatakan bahwa dalam bahasa suku Komering kata ‘Puntikayu’ berarti pepaya. Itu benar walau kata itu mengandung unsur pisang di dalamnya.
Tulisan pendek ini adalah usaha kami untuk memahami cara berfikir leluhur suku Komering di masa lalu sehingga mereka mampu membentuk kata ‘puntikayu’ untuk menyebut buah pepaya.
I.H. Burkill yang mencatat ragam hasil bumi di semenanjung Melayu pada dekade 1930-an mencatat bahwa di Bali buah pepaya disebut dengan nama ‘gedang castela’ yang dialih-bahasakan menjadi ‘spanish banana’, alias ‘pisang dari Spanyol’.
Penyebutan pepaya sebagai ‘gedang castela’ alias ‘pisang dari spanyol’ terjadi karena pepaya bukan buah-buahan asli Bali, dan juga bukan asli kepulauan Asia Tenggara. Pepaya adalah buah asing yang mereka tidak punya namanya sehingga harus diberi nama yang sesuai sebagai pembeda dari buah yang sudah ada.
Buah pepaya berasal dari benua Amerika bagian tengah, antara Meksiko atau Guatemala. Dari sana buah pepaya dibawa menyeberangi Samudra Pasifik menuju ke kepulauan Asia Tenggara oleh orang Spanyol. Pada masa sekitar pertengahan abad ke-16, tanah asal para penjelajah dan penjajah Spanyol ini berada dibawah kekuasaan kerajaan Castilla.
Saat buah pepaya memasuki Bali, warga setempat melihat buah asing tak dikenal ini dibawa oleh orang Castilla. Buah itu bentuknya panjang dan memiliki semacam pentil di ujungnya, mirip seperti pisang, hanya saja lebih gemuk. Karena ‘pisang’ dalam bahasa setempat adalah ‘gedang’ maka buah baru ini disebut ‘gedang’ dan untuk membadakannya dari gedang yang sudah ada maka penanda khusus diberikan.
Penanda yang dipilih adalah identitas orang-orang yang membawa gedang baru ini, yaitu orang dari Castela, alias kerajaan Kastila di Spanyol sekarang. Maka terbentuklah nama untuk buah asing yang baru ini, ‘gedang castela’, yaitu ‘buah pisang yang dibawa oleh orang Castela (spanyol)’.
Proses yang hampir mirip mungkin terjadi pula pada masyarakat suku Komering ketika mereka melihat pepaya untuk pertama kali. Mereka tidak memiliki kata untuk menyebut buah ini dan karenanya harus membentuk kata baru untuk menamainya.
Kata ‘Punti/pisang’ dipilih oleh orang Komering karena bentuknya yang paling mendekati dengan bentuk buah asing ini. Buah lokal lain seperti belimbing, durian, mangga, dan rambutan terlalu jauh berbeda. Tetapi bila hanya satu kata ‘punti’ saja maka penyebutan atas buah baru ini bisa tertukar dengan buah punti yang asli. Mereka butuh kata lain sebagai penegas identitas buah ini.
Mungkin awalnya orang Komering mengira bahwa punti yang baru ini juga tumbuh dari pohon yang sama seperti punti-punti lainnya, tetapi ketika mereka melihat sendiri pohonnya ternyata berbeda. Rupa dan warna pohon punti yang baru ini lebih mirip pohon kayu daripada pohon punti/pisang yang hijau. Maka dengan demikian terbentuklah nama untuk buah baru ini yaitu buah ‘puntikayu’, yang berarti ‘buah punti (pisang) yang berasal dari pohon kayu’.
Seiring berlalunya waktu, kata ‘punti’ dan ‘puntikayu’ diwariskan dari generasi ke generasi dan akhirnya dianggap sebagai dua kata yang tidak berhubungan. Ini terjadi karena generasi yang datang terkemudian menerima kedua kata itu dalam bentuk jadi dan menganggap keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Demikianlah usaha kami untuk memahami cara terbentuknya kata ‘puntikayu’ dalam bahasa Komering. Diperlukan usaha yang lebih ilmiah oleh Balai Bahasa, BRIN, atau Jurusan Sejarah di kampus-kampus lokal Palembang untuk meneliti perkara ini. Tulisan pendek ini hanyalah pemantik saja.