Bali dengan sukses menunjukkan kepada kita bahwa desa adat dan desa administrasi bisa berjalan beriringan dalam kehidupan nyata bernegara dan kita di Sumatera Selatan bisa belajar dari mereka.
Saya sedang berada di sekitar Sanur pada suatu pagi sebelum pandemi untuk jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan. Saat itu saya mendengar obrolan antara warga lokal dengan turis nusantara tentang berbagai hal, salah satunya tentang keamanan. Dalam perbincangan itu muncul satu kalimat menarik yang terlontar dari warga Sanur yang mengatakan bahwa di Bali Pecalang lebih ditakuti daripada Polisi.
Kalimat itu lalu diikuti dengan cerita tentang pelaku kejahatan yang terpergok oleh warga dan lalu kabur menyelamatkan diri ke kantor polisi agar tidak ditangkap oleh pecalang. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita ini, namun kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa ada sosok selain polisi yang sangat ditakuti di Bali.
Pecalang yang disegani ini rupanya adalah petugas keamanan di desa adat. Pecalang diangkat oleh pemimpin desa adat dan memiliki tugas untuk menjaga ketertiban desa adat terutama pada saat acara adat sedang dilaksanakan. Setelah diangkat, Pecalang dilatih oleh polisi terkait dengan teknis menjaga ketertiban lingkungan.
Pecalang yang dihormati ini bisa hadir di tengah masyarakat Bali karena lestarinya desa adat. Desa adat yang disebut Pakraman ini diakui oleh pemerintah Provinsi Bali dan keberadaannya diatur melalui peraturan daerah.
Dalam perda itu, Desa Pakraman didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Desa Pakraman ini ukurannya berbeda dengan desa administratif. Ada satu Desa Pakraman yang seukuran dengan satu desa administratif dan ada pula satu Desa Pakraman yang setara dengan beberapa desa administratif. Sebaliknya, ada juga satu desa administratif yang terdiri dari beberapa Desa Pakraman. Perbedaan ukuran ini mungkin terjadi karena Desa Pakraman dibentuk oleh batas budaya sedangkan batas desa administratif dibentuk berdasarkan kepraktisan geografis.
Ketika sudah dibentuk, Desa Pakraman memiliki tugas untuk membuat hukum adat; mengatur ketertiban desa; mengelola harta kekayaan desa; bersama pemerintah melaksanakan pembangunan di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; dan membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali.
Desa Pakraman pun memiliki wewenang yang meliputi bolehnya menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya sesuai dengan hukum adat dan kebiasaan setempat; turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; dan melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa Pakraman.
Menilik isi perda tersebut maka dapat disimpukan bahwa Desa adat diakui oleh pemerintah Bali. Desa Adat ini memiliki wilayah yang berbeda dengan wilayah desa administrasi. Dalam wilayah itu, pengurus desa adat dapat melaksanakan tugasnya untuk menjaga ketertiban dan menyelesaikan masalah berdasarkan hukum adat.
Pekerjaan desa adat Pakraman tidak bertabrakan dengan pekerjaan desa administrasi. Desa administrasi melayani warga yang hendak membuat Kartu keluarga, surat pengantar, dan masalah administrasi kenegaraan lainnya, sedangkan desa adat Pakraman melayani warga dalam urusan pelaksanaan upacara adat, perselisihan adat, dan hal lain terkait adat istiadat setempat.
Lestarinya desa adat mungkin adalah sebab terbesar kenapa sampai hari ini budaya di Bali bukan hanya lestari tetapi tetap mengakar kuat. Bali bukan hanya menjadi contoh yang baik sekali untuk kasus pariwisata berbasis budaya tetapi Bali juga bisa menjadi contoh yang baik sekali mengenai melestarikan sistem pemerintahan adat dalam cara yang selaras dengan sistem pemerintahan modern.
Dari Bali kita bisa belajar bahwa menjalankan sistem pemerintahan adat bukanlah ancaman bagi kedaulatan Negara Indonesia. Kekayaan budaya nusantara mestinya djaga dan dilestarikan, bukan malah dicurigai sebagai hal yang akan merusak tatanan bernegara.
Semoga usaha untuk memulihkan kembali lembaga marga dapat berjalan dengan lancar sehingga nilai luhur budaya Melayu Sumatera Selatan dapat kembali berkibar.
Terimakasih mas robby, tulisannya bagus, ringan tapi bernas 👍👍