Pada sebuah sore di sebuah kedai martabak di bilangan Jalan Sudirman, Palembang, terjadi sebuah diskusi kecil antara penulis dengan Irene Camelyn Sinaga tentang bagaimana mengembangkan pariwisata di Palembang. Percakapan sekitar tahun 2016 yang kami kira isinya masih releven sampai hari ini.
Dalam perbincangan yang santai itu kami sampaikan bahwa tidak perlu membangun gedung modern dan besar di Palembang karena orang Jakarta tidak akan mencari itu. Jakarta sudah penuh dengan gedung modern yang besar sekali dan orang Jakarta tidak berharap mellihat hal itu lagi saat mereka pergi berlibur ke Palembang. Mereka butuh pengalaman yang berbeda.
Untuk alasan merasakan experience yang berbeda itulah mengapa orang Jakarta lebih suka pergi ke Bali daripada ke Palembang. Saat tiba di Bali mereka bisa merasakan suasana yang jauh berbeda dengan apa yang biasa mereka dapatkan di Jakarta dan itu membuat mereka terkesan. Kesan kuat itu yang membuat mereka akhirnya secara rutin Kembali berlibur ke Bali.
Bali tidak punya gedung modern yang besar seperti Jakarta, tidak ada pula lift yang dipasang di destinasi wisata, tidak juga mengecat rumah-rumah mereka dengan warna warni, tetapi tetap saja turis terus berdatangan ke Bali. Kesuksesan yang diraih oleh Bali resepnya hanya satu, Bali cukup menjadi dirinya sendiri, tidak latah untuk menjadi yang lain.
Bali tahu bahwa kekuatan dirinya ada pada budaya dan alam, maka mereka memaksimalkan sumber daya mereka pada dua hal itu.
Budaya dijaga dengan baik. Meski mereka sangat bergantung pada industri pariwisata tetapi orang Bali tidak mengubah budaya/tradisi mereka hanya demi memuaskan turis. Hal yang terjadi adalah sebaliknya, semua turis yang datang ke Bali harus patuh kepada adat istiadat setempat. Contoh sederhana dari hal ini adalah ketika akan masuk kawasan pure, turis yang sedang dalam masa menstruasi dilarang masuk dan mereka yang diizinkan masuk diwajibkan memakai kain.
Investasi masuk ke Bali secara massif tetapi pembangunan dilakukan dalam cara yang menyesuaikan dengan lingkungan. Berbagai resort mewah di Ubud dibangun tanpa menghilangkan sawah dan pepohonan dewasa. Hutan dan sawah tidak dianggap sebagai hal yang jelek dan harus disingkirkan tetapi malah dijadikan bagian utama dari resort. Sesuatu yang membuat turis menyebut Bali sebagai surga dunia dimana mereka bisa hidup dengan cara modern di lingkungan yang asri penuh pepohonan dan sawah.
Kehidupan modern yang menyatu selaras dengan alam menghadirkan pengalaman berbeda yang sangat berkesan bagi orang yang merasakan.
Hal yang kurang lebih sama berlaku pula di Yogyakarta. Yogyakarta tidak latah meniru trend untuk menarik turis, mereka hanya menjadi diri sendiri dan orang-orang datang sendiri kesana.
Tentu saja Palembang bukanlah Yogyakarta atau Bali, tetapi Palembang bisa meniru sikap bangga menajdi diri sendiri yang dihayati dan diterapkan oleh Yogyakarta dan Bali, dan Palembang punya potensi untuk percaya diri seperti itu.
Tidak ada kota di Indonesia yang dapat mengalahkan Palembang dalam hal umur. Palembang adalah kota tertua yang terus menerus dihuni sejak awal berdiri sampai saat ini. Panjangnya usia itu membuat Palembang memiliki sejarah yang sangat kaya yang dapat diolah menjadi berbagai narasi untuk dikisahkan kepada turis.
Palembang punya kekayaan kuliner khas yang hanya dapat ditemui di kota ini saja. Hanya di Palembang turis bisa mendapatkan pilihan kuliner tradisonal yang begitu luas. Ada puluhan jenis pempek dan Pindang, ditambah lagi dengan mie celor, martabak HAR, malbi, berbagai jenis sambal dari buah-buahan, dan beragam jenis acar. Luasnya pilihan kuliner ini hanya dapat turis temui di Palembang saja, tidak di kota lain.
Untuk mencicipi kekayaan kuliner Palembang, tidak cukup hanya satu kali akhir pekan saja, turis harus datang berulangkali ke Palembang sampai dia bisa mencicipi semua jenis kuliner khas yang ada. Hal yang sama berlaku pada sejarah Palembang, yang tidak akan cukup diceritakan hanya dalam satu kali pertemuan saja, turis harus datang beberapa kali sampai dia bisa mengunjungi semua lokasi heritage dan mendengarkan semua ceritanya. Kunjungan yang berulang adalah idaman bagi setiap insan pariwisata, dan wisata sejarah-kuliner Palembang menyediakan hal itu.
Kuliner dan sejarah Palembang memiliki potensi yang sangat besar untuk diolah menjadi sebuah industri. Jika dikelola dengan benar, keduanya bisa menjadi pundi-pundi bagi PAD Palembang. Industri kuliner dan sejarah ini juga tidak membutuhkan investasi yang besar, tidak perlu membangun gedung besar nan modern atau lift seharga 27 miliar. Pemerintah hanya perlu membantu usaha-usaha untuk melestarikan tradisi kuliner dan bangunan heritage, sisanya akan dikerjakan oleh para pelaku wisata.
Menjelang akhir, untuk pertanyaan mengapa orang Jakarta yang menjadi tolak ukur berwisata di dalam tulisan ini, maka jawabannya adalah karena uang berputar kencang di Jakarta, sehingga banyak orang di ibukota yang secara finansial mampu untuk bepergian kemana saja di Indonesia. Kemampuan finansial itu didukung pula dengan banyaknya pilihan transportasi yang berangkat langsung dari Jakarta. Dalam rentang waktu 3 jam warga ibukota bisa tiba di Bandung via kereta atau mendarat di Bali dengan pesawat, pilihannya tergantung pada jenis experience apa yang hendak mereka cari saat libur akhir pekan.
Palembang hanya 1 jam perjalanan udara dari Jakarta, tetapi mengapa warga Jakarta lebih memilih Bali yang perlu 3 jam terbang? Teman-teman silakan jawab sendiri.
Orang yang latah meniru orang lain adalah orang yang malu pada apa yang ada di dirinya sehingga berusaha keras ingin menjadi orang lain agar dapat dihargai. Palembang tidak perlu jadi orang minder seperti itu, dengan apa yang dia punya, Palembang bisa menjadi dirinya sendiri yang unik dan penuh karakter. Orang yang unik dan berkarakter akan menjadi pusat perhatian dengan sendirinya, tanpa perlu polesan berlebihan dan aksesoris mahal.
idem