Beberapa hari yang lalu ada teman yang bertanya “jika memang Sriwijaya ada di Palembang kenapa tidak ada bukti-buktinya yang bisa dilihat?” tukisan ini dibuat untuk mencoba menjawab pertanyaan itu.
Banyak orang Palembang yang mengaku bahwa Kadatuan Sriwijaya berdiri di kota mereka, namun klaim itu bisa dipertanyakan karena tidak adanya bangunan dari masa Sriwijaya yang bisa dilihat di Palembang hari ini. Hilangnya bukti fisik Kadatuan Sriwijaya itu ada penyebabnya dan celakanya penyebab itu masih berlangsung sampai hari ini.
Palembang tidak pernah berpindah tempat sejak pertama berdiri 14 abad yang lalu, letaknya selalu di tempat yang sama selama berabad-abad. Ini berbeda dengan kawasan percandian Muara Jambi. Muara Jambi pernah ramai ditinggali oleh orang. Mereka membangun berbagai candi disana. Namun dalam satu masa, tanpa diketahui alasanya pastinya, para penghuni pergi meninggalkan Muaro Jambi, membuat berbagai candi ini terbengkalai tidak terpakai dan akhirnya kembali dikuasai oleh alam. Namun itu menjadi berkah yang tersembunyi bagi masyarakat jambi di masa kini
Berkah tersembunyi itu akhirnya terungkap di masa sekarang. Setelah berabad-abad tertimbun tanah dibawah lebatnya tetumbuhan, reruntuhan percandian di Muaro Jambi akhirnya ditemukan dan direhabilitasi. Percandian Muaro Jambi bisa selamat karena ditinggalkan penghuninya sehingga tida ada warga yang iseng ingin merusak. Hal yang berbeda terjadi di Palembang.
Meskipun menyandang predikat sebagai kota tertua di Indonesia yang terus menerus dihuni sejak awal berdiri tetapi Palembang tidak tampak seperti kota tua. Palembang tidak memiliki bangunan dari masa Sriwijaya yang bisa dilihat, tidak ada pula dari masa paska Sriwijaya, hanya ada beberapa bangunan dari masa Kesultanan Palembang yang kondisinya juga tidak terlalu baik.
Kenapa itu terjadi?
Karena Palembang tidak pernah ditinggal pergi penduduknya.
Palembang selalu dihuni orang dan pada suatu titik di masa lalu setelah Sriwijaya bubar, ada orang-orang yang menghancurkan bangunan dari masa Sriwijaya untuk mendirikan bangunan baru yang sesuai dengan masa mereka hidup. Mereka mungkin berfikir bahwa Sriwijaya sudah lama tidak ada dan bangunannya tidak cocok lagi untuk masa mereka. Selera dan lebutuhan telah berubah maka bangunan harus disesuaikan, maka jadilah bangunan-bangunan dari era Sriwijaya dirubuhkan diganti dengan bangunan-bangunan baru yang dianggap lebih coocok dengan jamannya.
Sayangnya, pola seperti ini bukan hanya sekali terjadi dalam sejarah, melainkan terus berulang berkali-kali. Satu generasi datang lalu merusak bangunan dari generasi sebelumnya sehingga tidak bisa dilihat oleh generasi selanjutnya.
Tahun 1000 masehi Sriwijaya mencapai keagungannya di Palembang, berkelang 1000 tahun kemudian di tahun 2000 masehi tidak ada orang Palembang yang bisa melihat sisa kejayaan Sriwijaya. Hal yang sama akan terjadi pada Kesultanan Palembang. Kesultanan berjaya di tahun 1700 masehi, tetapi 1000 tahun dari sekarang, warga Palembang di tahun 2700 masehi tidak akan bisa melihat sisa kejayaan kesultanan karena apa yang tersisa telah jadi tangsi dan rumah sakit militer.
Cara berfikir yang mengorbankan keuntungan besar dalam jangka panjang demi keuntungan kecil dalam jangka pendek inilah yang merusak Palembang. Demi hidup mereka di masa sekarang orang-orang ini bersedia mengorbankan identitas yang bisa dibanggakan dan dimanfaatkan oleh anak cucu mereka di masa depan.
Pembangunan yang merusak ini harus dihentikan agar orang di masa depan tidak mengalami masalah seperti yang kita hadapi saat ini, yaitu ketiadaan bukti untuk klaim kegemilangan leluhur di masa lalu. Bukti ini bukan sekadar untuk gagah-gagahan tetapi untuk membangun karakter agar tidak minder.
Ketika anak muda gagal mengenali masa lalunya, akan muncul generasi yang minder pada dirinya sendiri. Mereka akan tumbuh sebagai peniru yang latah membebek kepada budaya lain.
Melestarikan bangunan tua adalah bagian dari usaha untuk membangun karakter suatu bangsa. Manfaatnya menjalar kemana-mana dan tidak bisa diukur dengan angka.
Jadi, Sriwijaya di Palembang itu bener atau gak?
Berdiri dan berjaya di Palembang, lalu pindah ke Jambi sampai akhir hayatnya.
Tetap menjadi misteri, ketika susunan ‘bata’ kedatuan tak terlihat mata..