Pindang pada awalnya adalah makanan tanpa kuah yang dibuat dari daging sapi atau babi yang dimarinasi lalu dikeringkan. Proses marinasinya melibatkan garam, gula merah, dan lada. Agar dapat dinikmati, maka pindang yang kering dan keras dimasukkan ke dalam kuali dan diberi air dan dipanaskan, air terus menerus ditambahkan agar daging pindang tidak gosong dan Ketika dirasakan mulai lunak dan layak disantap maka daging diangkat dari kuali dan airnya dibuang.
Cara memasak pindang seperti ini Lestari di lingkungan budaya suku Ilokano dan Pampanga di kepulauan Luzon, Filipina. Sedangkan di Palembang pindang sudah berkembang menjadi makanan berkuah, seperti yang kami tulis disini.
Tetapi sepertinya pindang yang diproses dengan cara kuno tidak hilang dalam budaya makan di Palembang.
Mengolah daging dengan diberi air sedikit demi sedikit di kuali panas sampai dagingnya masak dan siap disantap masih dilakukan sampai hari ini di Palembang, hanya saja daging yang dipergunakan tidak lagi dimarinasi dan dikeringkan dahulu. Lalu bumbu yang dipergunakan dalam proses memasak pun menjadi lebih banyak. Makanan yang dipersiapkan dengan cara seperti ini dikenal sebagai Malbi.
Malbi mempertahankan tiga hal dari pindang, pertama adalah warnanya; kedua adalah cara memasaknya; dan ketiga adalah bahan utamanya, daging.
Dugaan kami, Malbi adalah nama modern untuk Pindang, makanan dari daging yang direbus dan dihidangkan basah tanpa kuah.
Dalam budaya makan Palembang, makanan kuno bernama pindang sepertinya berkembang dengan menempuh dua jalan yang berbeda, yaitu jalan inovasi dan jalan asli.
Dalam skenario jalan inovasi, pindang mengalami berbagai penyesuaian oleh manusia yang memasaknya. Penyesuaian terjadi biasanya karena ada perubahan pada selera karena yang dipicu munculnya hal baru, misalnya makanan dari budaya lain yang masuk ke Palembang atau oleh rempah baru yang tersedia di pasar Palembang yang ramai.
Makanan berkuah yang dibawa oleh orang Cina mungkin mengilhami pemasak pindang untuk tidak membuang air rebusan dan malah menambah jumlahnya. Lalu berbagai jenis rempah baru seperti cabai dan tomat ceri yang dibawa orang Eropa dari Amerika Tengah mulai dipakai di dapur-dapur Masyarakat Palembang, dimasukkan ke berbagai jenis masakkan.
Hasil dari skenario inovasi ini adalah pindang berkuah seperti yang dikenal luas sekarang ini.
Dalam skenario jalan asli, pindang selalu dipersiapkan seperti di masa lalu, potongan daging direbus dalam air hangat secara perlahan-lahan sampai masak. Namun tetap saja ada perubahan yang terjadi, pertama, daging yang dipergunakan tidak lagi dimarinasi dan dikeringkan; kedua, ada rempah-rempah baru yang ditambahkan.
Hasil dari skenario kedua ini adalah makanan yang hari ini kita kenal sebagai malbi.
Bagaimana pindang yang berusaha tetap asli ini bisa berubah nama menjadi malbi?
Pada suatu masa dalam Sejarah Palembang, sepertinya pindang berkuah menjadi lebih popular daripada pindang yang kering, sehingga generasi yang datang belakangan lebih mengenal pindang sebagai makanan berkuah daripada makanan basah tanpa kuah. Pindang tanpa kuah mungkin hanya tersedia di kalangan terbatas, hanya di dapur-dapur orang asli Palembang sehingga hanya dilihat oleh kalangan tertentu. Perantau Arab, Cina, dan lain-lain mungkin hanya melihatnya sesekali ketika bertamu tanpa tahu namanya.
Situasi berubah Ketika makanan kalengan mulai ditemukan di eropa barat. Potongan daging segar diberi garam dan dimasukkan dalam kaleng lalu dipanaskan sampai masak dalam airnya dari dagingnya sendiri. Makanan kaleng menjadi sangat populer karena bisa bertahan lama dan dibawa kemana-mana di sepanjang jalur perdagangan internasional.
Makanan kaleng lalu tersedia luas di sepanjang jalur perdagangan. Mulai dari eropa barat tempat makanan kalengan dimulai, merambat perlahan ke afrika utara, semenanjung arab, anak benua india, sampai ke semenanjung melayu dan Singapura, mungkin pula dibawa masuk ke Palembang oleh para pedagang arab yang aktif di sepanjang jalur dagang, dari semenanjung arab sampai ke Singapura.
Orang arab di Palembang melihat bahwa daging kalengan ini bentuk dan warnanya sama seperti makanan yang mereka lihat ada di meja makan orang Palembang.
Makanan kalengan dalam bahasa arab disebut mu’alaba dan kata ini dipergunakan oleh orang arab yang ada di sepanjang jalur dagang, dari semenanjung Arab sampai ke Singapura. Kata ini pun masuk ke Palembang bersama masuknya makanan kalengan dan mu’alaba menjadi kata yang dipakai untuk menyebut makanan kalengan.
Orang Arab di Palembang mungkin melihat adanya kesamaan tampilan dan proses memasak antara pindang basah tanpa kuah dan mu’alaba ini, sehingga mereka kemudian mempergunakan kata mu’alaba untuk menyebut makanan yang mereka tidak tahu namanya tapi pernah mereka lihat di rumah orang Palembang. Penggunaan kata mu’alaba ini lalu populer dan diikuti oleh orang Palembang untuk menyebut daging kalengan atau makanan yang mirip, misalnya pindang basah tanpa kuah.
Ketika diserap ke dalam bahasa Melayu Palembang, mu’alaba berubah menjadi malbi, suatu hal yang bisa dimaklumi karena kelompok yang menyerap bukanlah penutur asli bahasa Arab sehingga sangat rentan terjadi pergeseran bunyi, seperti bismillah yang berubah menjadi sembelih.
Orang Palembang memiliki kebutuhan atas kata baru yang akan mereka pergunakan untuk membedakan antara pindang berkuah dan pindang basah tanpa kuah. Pindang berkuah yang lebih populer dan familiar dengan generasi baru tetap disebut sebagai pindang sedangkan pindang model lama yang basah tanpa kuah kini disebut sebagai malbi.
Pembedaan ini perlu agar tidak terjadi salah paham saat berkomunikasi.
Jika reka ulang ini mendekati kebenaran, maka malbi adalah makanan yang sudah lama ada, mungkin seawal abad ke-10 masehi, saat pindang sebagai makanan basah tanpa kuah masuk ke kepulauan Filipina. Hal ini membuat Malbi menjadi salah satu makanan tertua dalam budaya makan orang Palembang.
Tulisan adalah perintis dalam jalan menuju terbukanya sejarah makanan di Palembang. Semoga ke depannya makin banyak tulisan sejenis yang bermunculan. Semoga bermanfaat.
Makanan kesukaan saya. Terima kasih ulasannya, Bang Rob
terimakasih ko, semoga makin jaya!