Awal mula pindang mungkin tidak seperti yang dibayangkan dan diperkirakan oleh sejumlah orang.
Kata ‘pindang’ sudah ada dalam bahasa Melayu sejak lama, menurut linguist dari Universitas Hawai’i kata ‘pindang’ lalu masuk ke dalam bahasa suku-suku di Filipina utara.
Masuknya budaya Melayu ke Filipina mungkin terkait dengan aktifitas perdagangan yang dilakukan oleh kadatuan Sriwijaya. Pelaut-pelaut dari Kerajaan maritim terbesar di Asia itu mengarungi lautan ke arah timur sampai ke Cina dan Filipina dan ketika berlayar jauh ke arah barat mereka berlabuh sampai ke Madagaskar. Kebudayaan Melayu lalu menyebar luas kemana saja orang-orang Sriwijaya berlabuh. Pada masa ini, pusat kekuasan sriwijaya berada di Palembang.
Salah satu budaya yang menyebar ini adalah kata kuliner ‘pindang’. Jejaknya bisa ditemukan di Filipina, tepatnya di Pulau Luzon. Ilokos dan Pampanga adalah dua tempat di Luzon yang mengenal tradisi kuliner Pindang.
Disana pindang adalah makanan yang dibuat dari daging sapi atau babi yang dikeringkan. Sebelum dikeringkan, lembaran tipis daging sapi atau babi dimarinasi mempergunakan gula aren, garam, dan lada hitam. Ketika akan dimakan, daging kering ini dimasak dalam air panas selama beberapa waktu sampai kembali lunak dan siap untuk disantap.
Cara lain mempersiapkan pindang ala Filipina adalah tanpa melakukan proses pengeringan. Lembaran daging dimarinasi selama beberapa hari lalu langsung dipersiapkan untuk dimakan dengan cara disemur atau digoreng.
Dua cara menghidangkan pindang ala Filipina ini tentu saja berbeda dengan cara orang Palembang menyajikan Pindang. Pindang di Palembang adalah makanan berkuah sedangkan di Filipina Pindang adalah makanan yang disajikan basah tapi tanpa kuah. Perbedaan ini mungkin terjadi karena pengaruh letak geografis dalam jalur perdagangan rempah dunia.
Pindang kemungkinan besar pada mulanya adalah kata yang dipergunakan untuk menyebut daging marinasi yang dikeringkan, atau sekarang yang dikenal sebagai ‘dendeng’. Namun di kemudian hari, berkembang menempuh dua jalan yang berbeda, pindang basah dan pindang berkuah.
Sebagai makanan yang bisa bertahan lama karena tidak mengandung air, pindang ideal dijadikan bekal untuk perjalanan jauh, misalnya pelayaran dagang antar Samudra. Karena dijadikan bekal, maka pindang dibawa kemana-mana dan akhirnya menyebar sampai ke Filipina. Orang Filipina menerima pindang dalam bentuk aslinya dan mempertahankannya sebaik mungkin sampai masa modern ini.
Nasib berbeda menimpa pindang di tanah asalnya, Palembang.
Palembang terletak di persimpangan dari jalur dagang rempah internasional, membuat rempah dari berbagai jenis tersedia dalam jumlah melimpah sehingga bisa dipergunakan dengan leluasa tanpa kuatir kehabisan atau merasa boros dalam mempergunakan bahan. Berlimpahnya rempah membuat isi dapur orang Palembang lebih beragam dan membuat mereka lebih berani memadu-padankan macam-macam rempah dalam masakan mereka lalu mengembangkan makanan yang sudah ada atau bahkan menghasilkan makanan baru.
Pindang pun tak luput dari perkembangan ini.
Dalam salah satu prosesnya, daging pindang yang kering diberi air agar kembali lunak, dugaan kami pada tahap ini air diberikan dalam jumlah lebih banyak dari biasanya untuk menghasilkan makanan berkuah. Orang Palembang melakukan ini mungkin terinspirasi oleh tetangga mereka, perantau Cina, yang gemar menghidangkan makanan berkuah.
Agar tidak kehilangan rasa karena diberi lebih banyak air, pindang lalu dibubuhi berbagai macam rempah, termasuk yang baru dikenal dalam budaya Melayu, seperti cung kediro dan cabai. Percobaan padu-padan ini yang menghasilkan makanan pindang berkuah yang seperti kita kenal sekarang.
Meski berubah, tetapi pindang berkuah tetap mempertahankan dua hal yang menjadi ciri khasnya, yaitu rasa masam-manis dan warna cokelat gelap.
Selanjutnya, sejak kapan pindang sebagai makanan telah ada di dunia ini?
Mengeringkan bahan makanan agar bertahan lama sudah dikenal sejak masa lampau, tetapi kita tidak akan pernah tahu kapan persisnya itu dimulai karena tidak adanya data dari masa itu yang kita ketahui di masa kini.
Tetapi beberapa petunjuk tidak langsung bisa membantu kita mereka-reka apa yang terjadi dan kapan hal itu terjadi.
Stephen Trussel memberikan catatan bahwa kata ‘pindang’ dalam bahasa Filipina diserap dari bahasa Melayu. orang Melayu Palembang berinteraksi pertama kali dengan orang Filipina pada abad ke-9 masehi, yang dibuktikan dengan adanya prasasti berbahasa Melayu dari abad ke-10 yang ditemukan di Luzon. Interaksi selanjutnya ada sekitar abad ke-17, ketika pelaut dari Palembang terdampar di Pulau Sulu dan akhirnya mendirikan Kota Palimbang, yang namanya diambil dari nama kota asal mereka di Sumatera.
Kendala dengan interaksi kedua adalah Pulau Sulu berada jauh dari Pulau Luzon, bukan hanya berbeda pulau, tetapi berada di dua sisi yang berbeda di kepulauan Filipina. Sedangkan pada interaksi pertama, Lokasi penemuan prasasti berbahasa Melayu berada di pulau yang sama dengan tempat Dimana pindang ala Filipina berada. Dengan demikian, tampaknya kata ‘pindang’ masuk di Filipina sekitar abad ke-9, di sisi utara negara kepulauan itu.
Jika pindang, sebagai daging marinasi kering, telah beredar sampai jauh di abad ke-9 maka setidaknya makanan ini telah ada di masa yang sama, antara tahun 801 sampai 900 masehi. Sedangkan pindang sebagai makanan berkuah mungkin mulai ada sejak abad ke-14, ketika makin banyak orang Cina yang tinggal di Palembang dan makin berkembang di abad ke-16 saat makin banyak orang eropa yang datang ke Asia Tenggara.
Pindang telah menempuh perjalanan yang menarikdan mengalami beberapa perubahan, tetapi, pindang yang dihidangkan basah tidak sepenuhnya hilang di Palembang, dia mungki masih ada hanya saja berubah nama, hal ini akan kami bahas di tulisan berikut ini.
Tulisan ini adalah usaha kami untuk menelusuri Sejarah makanan yang sangat populer di Palembang. Sejarah pindang belum ditetapkan dan masih akan berubah seiring ditemukannya data baru di masa yang akan datang, dan temuan baru itu bisa didapatkan oleh siapa saja, termasuk anda yang membaca tulisan ringan ini.
1 thought on “Pindang, antara Sriwijaya, Filipina, dan Palembang”