Sekali waktu membaca buku yang dalam salah satu bagiannya menjelaskan kenapa Pulau Sumatera mendapatkan namanya. Buku itu menjelaskan karena pada masa itu ketika orang Eropa pertama kali masuk ke Asia Tenggara, kota perdagangan yang paling populer di pulau besar ini adalah Samudra, ibukota Kerajaan Samudra-Pasai, thus mereka menggunakan nama Samudra untuk menyebut keseluruhan pulau. Semudah itu.
Rupanya praktek seperti itu bukan hanya terjadi sekali, tapi berkali-kali.
Ketika orang eropa datang ke pulau besar lain di timur Pulau Samudra (Sumatera sekarang), mereka melihat Brunai adalah pelabuhan yang paling dikenal karena paling ramai, lalu mereka menggunakan nama itu sebagai nama keseluruhan pulau, hanya saja dalam versi penyebutan mereka, Brunai berubah menjadi Borneo.
Bukan hanya orang Eropa, orang Cina pun melakukan hal yang sama. Mereka menerangkan bahwa arah timur dari Palembang adalah Shepo, nama yang mereka ambil mungkin dari nama pelabuhan paling besar saat itu di pantai utara Jawa bagian tengah, Shepo, sehingga berlayar selama lima hari ke arah timur dari Palembang akan membawa pedagang Cina tiba di Shepo, mungkin di Pelabuhan Shepo sendiri atau pelabuhan lain yang ada di sekitar Shepo.
Sebaliknya, orang dari Jawa yang hendak pergi ke pulau besar di arah barat akan menyebut pergi ke Melayu, yang memberi petunjuk adanya tempat terkenal bernama Melayu pada sisi pulau yang pertama mereka temui, yakni pesisir timur dari bagian selatan Pulau Sumatera. Pada masa selanjutnya, penggunaan nama Melayu untuk menyebut pulau ini digantikan oleh nama Palembang, seperti yang dicatat oleh Crawfurd.
Hal menarik lain terkait penamaan tempat adalah bahwa orang Arab menyebut Pulau Sumatera sebagai Jawa Permulaan, memberi petunjuk bahwa Jawa adalah nama suatu tempat di pulau Sumatera kuno yang populer di kalangan orang Arab sehingga dipergunakan sebagai nama pulau dan tempat lain di sekitarnya.
Kata Jawa lalu masuk ke dalam bahasa arab sebagai Jawi dan di kemudian hari dipergunakan untuk menunjukkan nama wilayah kepulauan Asia Tenggara secara keseluruhan, Sumatera, Jawa, dan sekitarnya. Orang-orang yang datang dari daerah ini lalu disebut sebagai orang Jawi, misalnya ulama terkenal Syekh Yusuf al-Jawi al-maqassari yang berarti seorang Syekh bernama Yusuf yang berasal dari Jawa (nama kawasan) di Makasar (nama tempat di dalam kawasan Jawa). Contoh lain adalah ulama Abdul Somad al-Jawi al-Palimbani yang berarti seorang ulama bernama Abdul Somad dari Palembang di kawasan Jawa.
Bahkan aksara yang umum dipakai di Kawasan ini pun disebut sebagai huruf Jawi, yang menunjukkan bahwa aksara yang dimaksud dipergunakan di dalam kawasan bernama Jawi.
Tapi keputusan memilih nama ini bukan hanya karena satu tempat lebih populer dari yang lain, tetapi juga ditentukan oleh arah kedatangan si pemberi nama.
Ketika orang Eropa pertama kali berjumpa Pulau Sumatera, mereka tiba di ujung utara pulau itu dan disana pasti sudah ada beberapa pelabuhan dalam berbagai ukuran, tetapi yang paling dikenal adalah Samudra, sehingga mereka memakai nama Samudra. Jika pedagang Eropa ini tiba pertama kali di sisi barat pulau mungkin mereka akan memakai nama Andalas sebagai nama pulau Sumatera.
Hal yang sama terjadi dengan Borneo. Orang Eropa dari Pelabuhan di Cina berlayar ke Selatan dan tiba di sisi utara pulau dan menemukan bahwa Brunai adalah pelabuhan paling populer sehingga menyebut pulau itu sebagai Borneo. Sebaliknya, orang-orang Jawa yang pergi berlayar ke pulau yang sama berlabuh di Banjarmasin, Pelabuhan yang paling besar dari sisi kedatangan orang jawa, sehingga menggunakan Banjarmasin sebagai nama keseluruhan pulau.
Orang Jawa pulau yang memberi nama Melayu kepada pulau besar di sebalah barat pulau mereka.
Ketika dibawa angin berlayar ke barat, orang Jawa tiba di tempat yang sekarang masuk wilayah Tulung Selapan, disana mereka melihat Melayu adalah pelabuhan yang paling dikenal sehingga mempergunakan nama itu untuk menyebut keseluruhan pulau. Pada masa kemudian, ketika orang Jawa hendak mengantarkan arca ke Sumatera maka mereka menyebutnya ekpedisi pengantaran itu sebagai kepergian ke Melayu, Pamalayu.
Selengkapnya tentang lokasi Melayu bisa dibaca disini.
Praktek penamaan seperti ini terjadi karena adanya kebutuhan kata penunjuk arah dan untuk memperjelas perbedaan antara tempat-tempat, dengan tujuan akhir untuk memudahkan komunikasi. Sebagian dari nama-nama ini lestari dipakai sampai sekarang karena tercantum di dalam peta yang dibuat di masa lalu.
Palembang pun mengalami kejadian yang serupa.
Lorok adalah nama sebuah kampung berukuran kecil, yang dalam peta masa kini terletak antara pemakaman Puncak Sekuning dan kantor TVRI Sumsel. Kini Namanya dipergunakan untuk menyebut nama wilayah yang lebih luas, dari pusat perbelanjaan Palembang Icon sampai ke kantor Disdukcapil.
Nama Lorok dipergunakan karena saat akan membangun jalan ke arah barat laut dari Palembang, Belanda bertemu dengan talang yang bernama Lorok, sehingga semua wilayah di sekitar dan belakang Talang Lorok (dilihatnya dari arah Palembang) disebut sebagai Lorok. Hal ini dilestarikan oleh administrasi negara Indonesia dengan menjadikan Lorok sebagai nama kecamatan di dalam Kota Palembang.
Selengkapnya tentang Talang Lorok ada disini.
Begitulah bagaimana di masa lalu tempat-tempat di kepulauan Asia Tenggara mendapatkan Namanya.
Tentu saja ini bukan satu-satunya, ada jalan lain dalam kebiasaan memberikan nama, misalnya suatu tempat diberi nama berdasarkan kemiripannya dengan tempat yang lebih awal dikenal oleh si pemberi nama. Contoh untuk cara ini misalnya ketika orang-orang Eropa melihat bahwa kepulauan Asia Tenggara dihuni oleh orang yang perawakannya dan agamanya mirip dengan yang mereka temui lebih dahulu di India, sehingga mereka memberi nama kepulauan ini sebagai Kepulauan India.
Nama Kepulauan India ini lalu diabadikan menjadi nama negara, Indonesia, sebuah kata yang dibentuk dari kata indo (India) dan kata nesos (kepulauan).
Apakah hari ini orang-orang Indonesia masih mirip dengan orang India? Rekan pembaca cukup menjawab di dalam hati. Sampai jumpa di tulisan bertema toponimi berikutnya.