Melayu adalah nama tempat yang penting dalam sejarah Asia Tenggara sehingga menarik untuk ditelusuri dimana awal mula keberadaannya.
Tahun 644 nama Melayu dicatat oleh Kekaisaran Cina sebagai salah satu pelabuhan yang mengirim hadiah pada kaisar. 27 tahun kemudian I-tsing datang ke Palembang (saat itu dikenal sebagai Foshi oleh orang Cina) lalu mampir ke Melayu. hal menunjukkan dua tempat ini berkembang dalam masa yang sama, bahkan pada satu titik, Palembang membuat Melayu menjadi bagiannya, seperti kesaksian I-Tsing sendiri.
Tidak banyak kerajaan-pelabuhan di kepulauan Asia Tenggara pada masa itu yang mampu mengirim utusan ke Kekaisaran Cina. Pelayaran akan melalui laut terbuka luas dan berlangsung 15 sampai 30 hari.
Dari daftar pengirim hadiah yang diterima oleh Kekaisaran Cina sejak abad ke-1 sampai ke-7 masehi, nama-nama kuno yang berhasil diidentifikasi berasal dari Kepulauan Asia Tenggara berada di sekitar selat Sunda, baik di pesisir timur Sumatera bagian Selatan, maupun di sisi utara pulau jawa bagian barat dan tengah. Sehingga Melayu pun baiknya dicari di sekitar tempat itu.
Wilayah yang disebut di atas berada di pesisir laut, posisi yang memudahkan bagi perdagangan kuno yang sangat bergantung pada tiupan angin yang berubah setiap musim berganti. Dengan berada di pesisir, ketika angin yang ditunggu-tunggu tiba, seketika itu juga kapal dagang bisa langsung berangkat menuju Cina atau India.
Dari Jawa, kapal layar akan dibawa angin menuju ke pesisir timur Sumatera bagian Selatan, masuk ke Selat Bangka, melewati bukit Menumbing lalu masuk ke laut Natuna dan berlayar menuju Cina. Jika hendak ke India, maka kapal dari Jawa akan masuk ke Selat Sunda lalu menyusuri pesisir barat Pulau Sumatera ke arah utara lalu menyebrangi lautan menuju India.
Posisi yang strategis itu membuat kedua sisi Selat Sunda menjadi tempat yang ramai sejak masa kuno, dibuktikan dengan banyaknya situs dari awal masehi di kedua sisi selat sunda, ada Batu Jaya dan Kerajaan Tarumanegara di sisi timurnya dan ada Karang Agung, Air Sugihan, dan Tulang Bawang di sisi baratnya. Dugaan kami, Melayu tidak berada jauh dari kedua tempat ini, masih di dekat Selat Sunda dan sebelum Selat Bangka.
Cha Ju Kua adalah petugas Pelabuhan di Kekaisaran Cina yang pada abad ke-13 menulis buku tentang perdagangan yang didalamnya terdapat kata Molonu. Dia menggambarkan Molonu sebagai sekelompok orang yang hidup di tepi laut dengan pekerjaan menyerang kapal dagang. Letaknya dekat dengan Kerajaan Fo (Foshi menurut Hirth dan Rockhill) dan menjual budak hasil jarahan mereka ke Jawa (Shopo).
Dengan deskripsi ini, Molonu berada di suatu tempat di tepi laut antara Palembang dan Jawa.
Pada awal abad ke-16, Tome Pires menulis Suma Oriental yang isinya menyebutkan tempat bernama Tana Melayu yang terletak antara Palembang dan Sekampung. Tepatnya di hadapan Pulau Maspari, di tempat yang sekarang termasuk dalam Kecamatan Tulung Selapan, Provinsi Sumatera Selatan.
Kurang lebih di era yang sama, Pararaton selesai ditulis. Dalam salah satu bagiannya Pararaton menyebut tentang orang Jawa yang berangkat ke Melayu, dalam sebuah ekspedisi menuju Dharmasraya di Bumi Melayu.
Pada masa lalu, lazim terjadi orang mempergunakan nama tempat tertentu untuk menyebut pulau secara keseluruhan. Nama yang dipakai adalah nama tempat yang dijumpai pertama kali saat tiba di pulau tersebut. Dalam hal ini, angin akan membawa pelaut dari Jawa tiba di pesisir timur Pulau Sumatera bagian Selatan, antara Tulang Bawang sampai ke Tulung Selapan dan berjumpa Melayu disana. Melayu lalu dipergunakan untuk menyebut nama pulau, karenanya muncul kata Bumi Melayu dimana di dalamnya ada Dharmasraya.
Contoh lain untuk kebiasaan penamaan ini ada dalam tulisan berikut ini.
Dugaan posisi Melayu berada di tepi laut ini kami lengkapi dengan dugaan asal nama Melayu.
Kami mengajukan kata Moloyo sebagai kata asal dari Melayu. Moloyo dalam rumpun bahasa Austronesia diartikan sebagai ‘melayar’ atau ‘melaut’ atau ‘orang-orang yang berlayar melintasi laut’. Kata ini masih dipergunakan oleh orang Nias sampai hari ini.
Moloyo dan Melayar adalah dua kata dari rumpun Austronesia untuk merujuk kepada kegiatan berlayar atau melaut, di masa kuno, kami duga ada lebih banyak lagi variasi dari kata tersebut yang tersebar dan dipergunakan di Kepulauan Asia Tenggara, dimana puak-puak Austronesia menetap. Variasi penyebutan dan bunyi itu mungkin termasuk Malayar, yang menjadi Malaiur dalam Prasasti Tanjore, Molonu dalam Chufanchi, dan Melayu dalam lidah orang Jawa.
Orang yang suka pergi ke laut akan tinggal di tepi laut, sehingga adalah hal yang alami bila usaha mencari lokasi Melayu difokuskan ke tempat-tempat yang berada di tepi laut.
Akhirnya, kami mengajukan pendapat bahwa Melayu terletak di pesisir timur Sumatera bagian selatan, di suatu tempat di Kecamatan Tulung Selapan, yang berada tepat di hadapan Pulau Maspari.
Terimakasih.
1 thought on “Melayu di Pesisir Timur Sumatera”