Bagian I
Pada abad ketigabelas, seorang pejabat bea cukai pada kekaisaran Tiongkok mencatat bahwa Datu Sriwijaya mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Sayangnya catatan itu tidak diikuti dengan penjelasan mengenai bagaimana cara sang Datu mengelola sagu untuk dia makan.
Sagu adalah tanaman yang hanya tumbuh di Asia Tenggara. Dia menyebar luas dari pulau Nias di barat sampai ke pulau Papua di timur, sehingga tidak mengherankan bila penduduk yang hidup di antara kedua pulau itu menjadikan sagu sebagai makanan pokok mereka.
Cara mendapatkan tepung sagu dari batangnya cenderung sama dari barat sampai ke timur Asia Tenggara, begitupun cara mengolahnya agar dapat dimakan, tidak jauh berbeda antar satu pulau dengan pulau lainnya.
Pada bagian lain dari catatannya, pejabat bea cukai kekaisaran Tiongkok Bernama Chau Ju Kua ini menulis bahwa di beberapa pulau di sebelah timur Sriwijaya, penduduknya mencampurkan sagu dengan air untuk membuat bola-bola kecil seukuran kacang. Setelah dikeringkan, bola-bola sagu ini disimpan sama seperti mereka menyimpan beras. Adonan sagu dan air ini kadangkala dicampur dengan daging dan ikan.
Kalimat pendek dalam catatan dari abad ketigabelas ini sangat berharga karena dia bisa menjadi petunjuk bagi keberadaan beberapa makanan yang sangat populer di Palembang hari ini.
Adonan sagu dengan air dan ikan yang dibentuk bola-bola kecil ini mungkin adalah bentuk awal dari tekwan, makanan khas Palembang yang merupakan salah satu varian dari pempek.
Tekwan dibuat dari adonan sagu, ikan, dan air yang lalu dibentuk menjadi potongan kecil seukuran satu ruas jari dengan cara mencubit bongkahan adonan besar dengan tiga jari, yakni jempol, telunjuk, dan jari tengah. Hasil cubitan ini (getilan) lalu dikeringkan sehingga bisa disimpan untuk waktu lama. Ketika akan disajikan, biji tekwan yang kering ini direndam semalaman lalu direbus sebentar sebelum disajikan dengan kuah bening yang gurih.
Praktek membuat dan menyajikan tekwan dengan cara seperti ini masih dilakukan di Palembang sampai saat tulisan ini dibuat.
Dengan demikian, tekwan memiliki peluang yang sangat besar sudah ada di dunia ini setidaknya sejak abad ketigabelas, antara tahun 1201 sampai 1275, ketika si pejabat bea cukai menulis bukunya yang berisi gambaran mengenai kehidupan orang-orang di laut selatan.
Bagian II
Mengolah adonan sagu dan ikan menjadi potongan kecil mungkin bukan satu-satunya cara yang dikenal pada masa itu. Terbuka kemungkinan adonan sagu dan ikan diolah dalam bentuk lain yang lebih besar.
Dalam satu kesempatan kami melihat bahwa sagu yang masih basah disimpan dalam wadah yang terbuat dari daun. Bentuknya seperti pipa dengan diameter sekitar 30 sentimeter dengan tinggi hampir seperti orang dewasa. Jika hendak dicampur dengan ikan, maka ukuran sebesar itu akan mempergunakan sangat banyak ikan dan akan butuh waktu lama untuk dikeringkan. Karena itu agar bisa kering sebelum membusuk, sagu yang dicampur ikan lebih baik disimpan dalam ukuran silinder yang lebih kecil.
Adonan sagu dan ikan dibentuk menjadi silinder yang lebih kecil ini, lalu dipotong tipis-tipis dan dikeringkan. Ketika akan dinikmati lembaran sagu-ikan yang kering ini bisa disiapkan dengan dua cara, pertama dengan cara dipanaskan di atas bara api; kedua dengan cara direndam dalam air selama satu malam, lalu direbus sebentar sebelum dimakan.
Untuk cara yang pertama, adonan sagu-ikan ini akan menghasilkan makanan yang saat ini kita kenal dengan nama kemplang panggang.
Sedangkan untuk cara yang kedua maka kita akan mendapatkan makanan yang sekarang dikenal sebagai pempek. Sedangkan tahapan ketika adonan sagu-ikan berbentuk silinder adalah cikal bakal lenjer, yang sekarang dikenal sebagai salah satu jenis pempek.
Petunjuk mengenai keberadaan makanan yang dikeringkan lalu dibasahi lagi agar dapat dimakan bisa ditemukan pada makanan khas Kalimantan Barat.
Putussibau memiliki makanan bernama kerupuk basah. Kerupuk basah memiliki bahan yang sama seperti pempek, bentuknya pun sama persis dengan salah satu varian pempek, yakni lenjer.
Pempek lenjer dan kerupuk basah sama-sama dihidangkan dengan cara dipotong dengan posisi yang sama seperti memotong bolu gulung. Beda antara keduanya ada pada saus pendamping, pempek lenjer disajikan dengan saus gula merah pedas yang disebut cuko sedangkan kerupuk basah disajikan dengan saus kacang pedas.
Nama ‘kerupuk basah’ memberi petunjuk bahwa makanan ini pada awalnya adalah makanan yang disajikan dalam keadaan kering, sehingga ketika disajikan dengan cara lain maka pada ujung namanya diimbuhkan kata ‘basah’ untuk memberikan tanda pembeda.
Menurut kami, kerupuk basah Putussibau adalah saudara kandung pempek Palembang.
Berdasarkan tahap pembuatannya ini maka kita bisa menerka urutan kelahiran beberapa jenis pempek.
Ketika adonan sagu-ikan dibuat menjadi bentuk silinder yang panjang maka muncullah pempek lenjer dan kerupuk (Putussibau). Pada tahap selanjutnya adonan silindris ini dipotong-potong dan dikeringkan. Ketika potongan kering ini dipanggang maka muncullah kemplang panggang, tetapi bila potongan kering ini kembali dibuat basah dengan cara direndam dan direbus maka dia akan menjadi kerupuk basah Putussibau, yaitu kerupuk kering yang dibasahkan kembali.
Sejak kapan pempek lenjer, kerupuk basah, dan kemplang panggang ada merupakan hal yang sulit dibuktikan karena minimnya sumber dari masa kuno. Kita hanya bisa membuat terkaan berdasarkan kata yang menjadi nama makanan ini, yaitu kerupuk.
Kata ‘kerupuk’ sudah ada setidaknya sejak tahun 1910-an ketika buku masak mulai muncul di Hindia Belanda. Dalam buku masak ini kata ‘kerupuk’ dipergunakan untuk menyebut makanan dari Palembang yang saat ini dikenal sebagai kemplang panggang. Karena pempek lenjer, kerupuk basah, dan kemplang panggang lahir dari proses yang sama hanya berbeda urutan maka akan cukup aman bila kita menduga bahwa ketiga makanan ini sudah ada sejak awal abad ke-20, kira-kira seratus tahun yang lalu.
Penutup
Tekwan menjadi kandidat kuat sebagai pempek pertama yang mewujud ke dunia. Setelah itu, orang-orang yang mengolah sagu dan ikan mungkin akan melakukan inovasi dalam cara penyajian adonan sagu dan ikan, menghasilkan berbagai makanan jenis baru yang merupakan saudara kandung tekwan. Ketika menambahkan telur ayam langsung pada adonan sagu-ikan dan membakarnya maka mereka akan mendapatkan lenggang, ketika mereka membalut tahu dengan adonan sagu-ikan dan merebusnya mereka mendapatkan pempek tahu dan model, dan selanjutnya ratusan inovasi lain yang mungkin bertujuan untuk memperkaya pilihan makan agar tidak membosankan.
Tulisan ini bukan keputusan akhir atas sejarah awal pempek melainkan hanya salah satu usaha untuk memperkaya narasi pada bagian yang penting ini. Sehingga ke depannya sejarah pempek masih bisa berubah seiring dengan ditemukannya sumber tertulis lain yang bisa dijadikan acuan. Sejarah awal makanan-makanan di Sumatera Selatan adalah lahan yang masih terbuka luas untuk dijelajahi oleh siapa saja yang berminat.