Puncak Candi Borobudur adalah titik tertinggi di kawasan tersebut, dari sini kita bisa menikmati pemandangan di sekitar candi. Bila dilakukan di pagi hari, pengunjung bisa mendapatkan pemandangan spektakuler naiknya matahari. Dengan pemandangan sebagus itu, pemerintah setempat dan pengelola tidak tergoda untuk mendirikan kafe dan Menara pandang di puncak Borobudur. Mereka malah menaikkan harga tiket masuk untuk menyaring pengunjung, agar hanya yang ingin benar-benar mengagumi Borobudur yang naik.
Ini membuat kami memikirkan beberapa hal terkait Jembatan Ampera.
Pertama sekali, Jembatan Ampera ini adalah sebuah aikon kota, simbol sebuah kota, maka perlakukanlah dia selayaknya sebuah aikon kota, yaitu untuk dipandangi dengan takjub, untuk dijadikan latar foto dengan bangga. Idealnya dibuatkan beberapa titik khusus bagi orang-orang untuk mengambil foto Jembatan Ampera, agar foto mereka itu maksimal hasilnya, memancarkan marwah jembatan bersejarah ini.
Kedua, sejak pertama kali berdiri, Jembatan Ampera adalah pusat perhatian di kota Palembang. Penampilannya mencolok diantara bangunan lain di sekitarnya, tinggi dan besar, terlihat dari mana-mana, maka perlakukanlah dia selayaknya pusat perhatian. Orang-orang yang ada di sekitar Jembatan Ampera harus dibuat melihat ke Jembatan Ampera, bukan sebaliknya, orang-orang dibuat berada di atas Jembatan Ampera untuk melihat ke arah sekitarnya.
Apakah ada struktur lain di sekitarnya yang punya daya tarik setara Jembatan Ampera sehingga perlu dilihat dari atas menaranya?
Ketiga, sejak pertama kali berdiri, Jembatan Ampera menjadi penanda kota bagi Palembang, maka perlakukanlah dia selayaknya penanda kota. Orang-orang memotret jembatan Ampera atau berfoto dengan latarnya sebagai tanda bahwa mereka sudah pernah ke Palembang.
Penampilan Jembatan Ampera perlu dipercantik dengan cara yang tidak mengurangi marwahnya sebagai struktur megah bersejarah besar. Jangan sampai struktur megah jadi terlihat seperti bis AKAP yang penuh lampu warna warni.
Keempat, Jembatan Ampera dibangun sebagai fasilitas transportasi, fungsinya adalah membantu perpindahan orang dan barang dari satu sisi sungai ke sisi sungai lainnya, bukan dibangun untuk tujuan sebagai kafe dan menara pandang, maka perlakukanlah dia selayaknya sebuah jembatan, buatlah orang dan barang bisa berpindah dari hulu ke hilir dengan nyaman.
Jika tersedia anggaran ekstra, maka sebaiknya dipergunakan untuk memastikan kenyamanan pengguna Jembatan, bukan untuk membuat kafe dan menara pandang yang tidak ada hubungannya dengan kenyamanan pengguna jembatan yang setiap hari melintas di Ampera.
Kelima, Jembatan Ampera sudah memasuki usia 60 tahun, semua benda buatan manusia ada batas pemakaiannya, maka perlakukanlah dia selayaknya struktur yang menjelang uzur, dengan berhati-hati, dengan menjaga marwahnya sebagai aikon kota, pusat perhatian, penanda kota, dan fasilitas tranportasi.
Itulah cara yang bisa dilakukan untuk menghargai sesuatu yang berharga, dengan cara menjaganya bukan mengobralnya.
Gagasan mengenai pemanfaatan ulang seperti yang terjadi pada pabrik gula Tjolomadu dan Mbloc pernah terdengar menjadi alasan untuk membangun kafe dan menara pandang.
Untuk melakukan pemanfaatan ulang, sebuah struktur harus pernah ditinggalkan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya. Pabrik gula Tjolomadu dan bangunan milik peruri pernah menjadi banguan terbengkalai selama puluhan tahun sebelum dimanfaatkan lagi di masa kini menjadi galeri dan kafe Tjolomadu dan mbloc. Masalahnya adalah, Jembatan Ampera selalu dipergunakan sejak awal berdirinya sampai sekarang, tidak pernah ditinggalkan.
Bila dipaksakan harus ada, maka ada banyak hal yang harus dilakukan untuk menjawab sejumlah pertanyaan.
Jika tujuan mendirikan kafe dan menara pandang di Jembatan Ampera adalah untuk pariwisata maka siapa target wisatawan yang dituju. Karena penentuan segmen ini akan memengaruhi fasilitas yang tersedia, pelayanan yang diberikan, dan harga tiket yang ditawarkan.
Jika tujuannya untuk  meningkatkan PAD Kota Palembang, maka harus diketahui berapa target PAD yang hendak dicapai, karena itu akan menentukan berapa banyak kunjungan per hari yang harus dicapai dan berapa harga tiket yang dipatok.
Ini belum lagi bicara soal pemasaran, mengenai bagaimana pesan dari pengelola kafe dan menara pandang bisa sampai ke segmen yang dituju dan membuat mereka bersedia datang.
Kajian bisnis, jika ada, baiknya dibuka untuk umum, agar bisa dikaji oleh berbagai pihak, baik akademisi maupun praktisi.
Kajian yang lengkap dari berbagai sudut pandang adalah jalan terhormat yang bisa dilakukan untuk menjaga marwah struktur megah seperti Jembatan Ampera, bila memang kafe dan Menara pandang itu harus diadakan.
Ini semua mengenai bagaimana memperlakukan seseorang atau sebuah benda dengan sesuai.
Jika hanya akan merusak alam, adat, dan sejarah, maka pariwisata tidak perlu ada.
Keren, analisis dan kajian serta target memang dibutuhkan . Semoga ini bisa menjadi pertimbangan pihak terkait.