Kami percaya bahwa banyak peristiwa yang terjadi di dunia ini digerakkan oleh motif ekonomi. Kegiatan ekonomi telah menghubungkan manusia dari berbagai kebudayaan yang berjauhan, menghidupkan kampung-kampung kecil di gurun pasir, padang rumput, dan tepi laut, membuat mereka bertumbuh menjadi kota besar yang hiruk pikuk oleh perdagangan.
Sutra dari Tiongkok di ujung timur asia dibawa sampai ke Roma di eropa, cengkeh dan pala dari Maluku di ujung timur Asia Tenggara dibawa jauh sampai ke Belanda di eropa. Kegiatan ekonomi telah menentukan rupa sejarah dunia selama berabad-abad. Karena itu tidak berlebihan bila ilmu ekonomi sekarang dipergunakan untuk menilai data dan informasi masa lalu yang tersedia.
Penggunaan perspektif ekonomi akan memperkaya penafsiran atas data dan informasi sejarah dan menawarkan cara pandang baru atas apa yang terjadi pada masa lalu.
Setelah beberapa tahun ini membaca tentang Sriwijaya, Kami mencoba mengumpulkan data sejarah terkait Sriwijaya dan menilainya dari sudut pandang ekonomi pemasaran, bidang keilmuan yang menjadi keahlian kami.
Penilaian ini akan dibatasi pada masa pra-Sriwijaya dan masa awal Sriwijaya agar tidak melebar kemana-mana.
Mari kita mulai.
Pertama, dua Kawasan yang paling banyak dan padat mengandung temuan pra-Sriwijaya di Indonesia ada di sisi selatan Pulau Sumatera dan di sisi sebelah barat Pulau Jawa. Kedua tempat ini mengapit Selat Sunda.
Kedua, pada kedua sisi Selat Malaka, situs pra-Sriwijaya hanya ditemukan di Kedah dan sekitarnya.
Kedah berada di sebelah utara pesisir barat Semenanjung Melayu, pada bagian selatannya tidak ada data mengenai situs pra-Sriwijaya.
Hal ini memberi petunjuk bahwa di Selat Malaka pada masa pra-Sriwijaya perdagangan skala besar berlangsung hanya sampai Kedah saja dan tidak sampai ke tempat lain yang berada lebih jauh ke selatan.
Ketiga, poin pertama dan kedua menunjukkan bahwa pada masa pra-Sriwijaya, perdagangan di Selat Sunda jauh lebih ramai daripada di Selat Malaka.
Keempat, Semua pelabuhan kuno yang diduga berada di Semenanjung Melayu terletak di sisi sebelah timur, yakni di pesisir Teluk Thailand. Hal ini memberi petunjuk bahwa perdagangan kuno di Teluk Thailand berlangsung lebih ramai daripada perdagangan di Selat Malaka.
Kelima, dua tempat dengan perdagangan ramai yang letaknya berdekatan memberi petunjuk tersembunyi tentang adanya hubungan langsung antara kedua tempat tersebut.
Perdagangan antara sisi barat dan sisi timur Semenanjung Melayu mungkin dilakukan lewat darat melintasi tanah semenanjung atau lewat laut tapi dengan rute dari Kedah menuju sisi barat Sumatera, memasuki Selat Sunda, melewati Selat Bangka baru menuju Teluk Thailand.
Teluk Thailand dan Selat Sunda dihubungkan oleh Laut Natuna. Angin musim barat dan angin musim timur membawa kapal hilir mudik di antara dua tempat ini nyaris tanpa halangan.
Kelima, artefak pra-sriwijaya banyak ditemukan di pesisir timur Sumatera bagian Selatan, yaitu di Air Sugihan dan Karang Agung. Dua tempat ini mengapit muara Sungai Musi, dengan Karang Agung di sisi utara dan Air Sugihan di sisi selatan.
Dua tempat ini memberi petunjuk bahwa perdagangan di muara Sungai Musi berlangsung ramai.
Keenam, dari Karang Agung sampai ke Kedah, tidak ada situs yang usianya lebih tua dan lebih padat dari kedua tempat tersebut. Itu menunjukkan bahwa pada masa pra-Sriwijaya, perdagangan belum berkembang pesat di daerah tersebut.
Kedah di utara dan Karang Agung di selatan menjadi batas dari sebuah wilayah imajiner yang pada masa pra-Sriwijaya perdagangan belum banyak berkembang di dalam wilayah tersebut. Dalam wilayah itu terdapat Selat Malaka, kepulauan Riau, dan Jambi.
Ketujuh, dari Air Sugihan sampai ke Selat Sunda, ditemukan beberapa prasasti masa Sriwijaya dan satu entitas politik pra-Sriwijaya. Entitas politik itu adalah Po-Hwang yang adalah Tulang Bawang.
Hal ini memberi petunjuk bahwa pada masa pra-Sriwjaya, wilayah pesisir timur Sumatera bagian selatan, dari Selat Sunda sampai Air Sugihan, telah ramai oleh perdagangan. Perdagangan yang ramai membuat kampung nelayan yang sederhana tumbuh menjadi Pelabuhan dagang yang besar dan kaya sehingga bisa mengirimkan utusan yang membawa hadiah kepada Kaisar Tiongkok.
Kedelapan, Air Sugihan dan Karang Agung yang mengapit muara Sungai Musi adalah dua situs pra-Sriwijaya yang terhitung padat, menunjukkan adanya perdagangan yang ramai.
Letaknya yang berdampingan di sungai yang sama memberi petunjuk bahwa sungai ini memiliki sesuatu yang istimewa sehingga mampu menunjang perkembangan ekonomi dua daerah yang ada di dekatnya.
Kesembilan, Sungai Musi adalah sungai dengan daerah aliran yang paling luas di seluruh Pulau Sumatera dan Jawa. Dengan 7 anak sungai utama dan ratusan anak sungai yang lebih kecil. Secara bersama-sama, seluruh anak sungai ini membentuk jalur transportasi yang menjangkau daerah yang sangat luas, sehingga memudahkan setiap usaha untuk membawa hasil hutan dari seluruh daerah yang luas itu ke pusat pengumpulan.
Daerah seluas itu akan menyediakan komoditas dagang dalam variasi yang luas dan dalam jumlah yang lebih banyak.
Siapapun yang menguasai Sungai Musi maka akan mengendalikan sumber daya alam yang luarbiasa besar dan bisa menjadi kaya raya karenanya.
Air Sugihan dan situs Karang Agung berada di muara sungai ini, dengan yang pertama berada di sisi Selatan dan yang kedua berada di sisi sebelah utaranya. Keduanya mendapatkan keuntungan ekonomi yang luar biasa dari Sungai Musi sehingga bisa berkembang lebih cepat dan lebih besar daripada tempat lain di pesisir timur Sumatera bagian Selatan, bahkan di seluruh Sumatera dan Jawa.
Kesepuluh, prasasti pendirian Kadatuan Sriwijaya, prasasti persumpahan setia, dan prasasti pendirian taman kadatuan ditemukan di Palembang, itu memberi indikasi bahwa Kadatuan Sriwijaya didirikan di Palembang.
Kesebelas, prasasti kedukan bukit menyebutkan lima tempat, 1. Tempat tinggal datu; 2. Tempat pemujaan yang si Datu capai memakai sampan; 3. Minanga, tempat Datu dan pasukannya berkumpul; 4. Mukha __p__, tempat yang diserbu dan ditundukkan oleh Datu, dan; 5. Tempat Datu mendirikan permukiman baru bernama Sriwijaya.
Menurut penilaian kami, kelima tempat ini bisa ditemukan di daerah yang memiliki situs berusia lebih tua daripada Sriwijaya dan letaknya berada di dekat Lokasi penemuan prasasti Kedukan Bukit. Tempat-tempat itu tersedia hanya di sisi Selatan Pulau Sumatera, antara Palembang sampai Selat Sunda.
Keduabelas, bikkhu I-Tsing tiba di Sriboja sekitar 11 tahun sebelum prasasti pendirian Sriwijaya dibuat. Disana dia bertemu dengan Datu Sribhoja yang mengantarkan I-Tsing ke Melayu memakai kapalnya sendiri.
Ini menunjukkan bahwa Sribhoja dan Sriwijaya adalah dua tempat yang berbeda. Sribhoja mungkin adalah tempat tinggal Datu (Lokasi nomor 1 dalam poin kesebelas) dan Sriwijaya adalah permukiman yang baru didirikan (Lokasi nomor 5 dalam poin kesebelas). Kedua tempat ini seharusnya berada di sepanjang Sungai Musi, antara muara Sungai Ogan sampai muara Sungai Komering, sebuah wilayah yang paling tepat secara ekonomi untuk mengendalikan keluar masuknya komoditas dagang di seluruh aliran Sungai Musi.
Ketigabelas, hampir semua prasasti terkait Kadatuan Sriwijaya ditemukan antara Palembang dan Selat Sunda. Hal ini memberi petunjuk bahwa operasi politik dan militer yang dilakukan Kadatuan Sriwijaya mengarah ke Selat Sunda, mungkin dengan tujuan untuk mengendalikan lalu lintas perdagangan disana.
Keempatbelas, dalam prasasti Kota Kapur disebutkan bahwa Kadatuan Sriwijaya mengirimkan pasukan untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak tunduk. Dari catatan kekaisaran Tiongkok, beberapa utusan datang dari Pulau Jawa, tepatnya dari daerah pesisir muara Selat Sunda sampai ke pesisir utara Jawa. Semua Pelabuhan ini berhenti mengirimkan utusan ke Kekaisaran Tiongkok setelah kemunculan Kadatuan Sriwijaya.
Ini memberi petunjuk bahwa operasi militer itu benar adanya dan ditujukan ke pesisir utara dari belahan barat Pulau Jawa.
Poin keempatbelas ini memperkuat dugaan pada poin ketigabelas bahwa Kadatuan Sriwijaya hendak mengendalikan perdagangan di Selat Sunda.
Kelimabelas, Melayu ada lebih awal daripada Sriwijaya dan telah mengirim utusan ke Kekaisaran Tiongkok.
Tidak semua pelabuhan bisa melakukan itu, Melayu pastilah sudah menjadi pelabuhan besar dan ramai sehingga penguasanya memiliki cukup kekayaan untuk mengirim utusan yang membawa hadiah kepada Kaisar Tiongkok. Berdasarkan itu maka hal tersebut lebih mungkin terjadi bila letak Melayu berada di antara Karang Agung dan Selat Sunda, tempat yang sudah ramai oleh perdagangan pada masa pra-Sriwijaya.
Keenambelas, Melayu berhenti mengirimkan utusan ke Kekaisaran Tiongkok pada masa waktu yang bertepatan dengan kemunculan Sriwijaya. Bikkhu I-Tsing lalu memberi berita bahwa Melayu telah diserap menjadi Sriwijaya.
Ini memberi petunjuk bahwa letak Melayu berada di antara Karang Agung dan Selat Sunda, arah dimana operasi politik dan militer Sriwijaya dilaksanakan.
Poin keenambelas ini memperkuat dugaan pada poin ketigabelas dan keempatbelas bahwa Sriwijaya hendak menguasai perdagangan pada kedua sisi Selat Sunda.
Ketujuhbelas, ibukota Sriwijaya bernama Palembang, yang namanya didapat dari sebutan bagi tempat orang menambang emas. Sungai Musi dimana Palembang berada memiliki beberapa anak sungai di hulu yang berada dekat dengan lokasi tambang emas, seperti di Rejang dan Lebong Tandai. Itu memberi petunjuk bahwa Kadatuan Sriwijaya memiliki kendali atas sejumlah tambang emas dan memperdagangkan hasilnya.
Kedelapanbelas, satu-satunya prasasti Sriwijaya di Sumatera yang berada di utara Palembang adalah prasasti di Karang Berahi, 135 kilometer di barat Jambi, dekat sisi sebelah timur pegunungan Bukit Barisan.
Kesembilanbelas, Sampai hari ini, terdapat pertambangan emas di daerah Karang Berahi. Patut diduga sejak masa pra-Sriwijaya tempat ini telah dikenal sebagai penghasil emas. Emas yang dihasilkan mungkin sudah mencapai jumlah yang besar sehingga mampu menarik perhatian Sriwijaya.
Sriwijaya akhirnya datang dan mengendalikan pertambangan emas di Karang Berahi, mereka mendirikan prasasti disana sebagai tanda kehadiran kekuasaan Sriwijaya.
Keduapuluh, temuan kuno di Jambi yang seusia dengan Sriwijaya berjumlah sedikit, sedangkan yang lebih muda terdapat lebih banyak.
Itu memberi petunjuk bahwa pada masa Sriwijaya baru berdiri, perdagangan di Jambi belum begitu ramai. Perdagangan baru menjadi ramai di abad-abad setelahnya.
Ini mungkin menjadi alasan kenapa Sriwijaya tidak mendirikan prasasti di Jambi dan lebih memilih melakukannya di Karang Berahi, karena secara ekonomi, tambang emas di Karang Berahi lebih menguntungkan daripada pelabuhan sepi di Jambi.
Keduapuluhsatu, berdasarkan poin kelimabelas, keenambelas, dan keduapuluh, meletakkan Melayu di Jambi adalah hal yang tidak sesuai, mengingat Jambi masih berupa pelabuhan yang sepi sedangkan Melayu sudah mampu mengirimkan pedagang dan utusan sampai jauh ke negeri Tiongkok.
Keduapuluhdua, pada abad kesembilan Kekaisaran Tiongkok menerima utusan dari Zhanbei. Diduga ini adalah nama kuno dari Jambi.
Jambi memberikan temuan kuno yang padat mulai pada abad kesembilan, hal ini memberi petunjuk bahwa pada abad kesembilan, perdagangan berkembang pesat di Jambi, membuat penguasanya mampu membangun banyak candi dan mengirim utusan dagang sampai ke negeri Tiongkok.
Keduapuluhtiga, poin kelimabelas, keenambelas, dan keduapuluh berkesesuaian dan saling menguatkan bahwa Melayu dan Jambi adalah dua entitas ekonomi yang berbeda usia dan berbeda lokasi.
Berdasarkan poin-poin di atas, kita bisa membangun semacam gambaran besar mengenai bagaimana kegiatan ekonomi bekerja di masa pra-Sriwijaya dan masa awal Sriwijaya.
Pedagang yang datang dari india bagian utara akan memilih jalur darat, melalui tempat-tempat yang sekarang bernama Bangladesh, Myanmar, Laos dan berakhir di sekitar Hanoi, Vietnam Utara. Sebagian dari pedagang ini mungkin berbelok ke selatan mengikuti aliran Sungai Mekong sampai bertemu dengan Funan di Vietnam Selatan.
Hanoi terletak di Teluk Tonkin dan berhadapan langsung dengan Pulau Hainan. Teluk ini juga ramai dengan perdagangan.
Funan adalah pusat perdagangan yang ramai. Dia berdiri di deklta Sungai Mekon dan berada di pertengahan jalan dalam rute dagang Tiongkok-Teluk Thailand dan Tiongkok-Selat Sunda.
Pedagang yang datang dari India tengah dan India selatan akan lebih memilih melintasi Teluk Benggala mengikuti dua rute. Rute pertama dari anak benua India menyusuri pesisir teluk Benggala ke pangkal Semenanjung Melayu dan rute kedua dari anak benua India langsung ke Pantai barat Sumatera.
Pada rute pertama, pedagang dari India tengah atau selatan akan berlabuh di salah satu pelabuhan yang terletak antara Chaiya di Thailand sampai Kedah di Malaysia. Dari sana mereka akan menyeberang ke pesisir timur Semenanjung Melayu dan tiba di salah satu Kerajaan kuno yang ada disana, seperti Tun Sun, Pan Pan, dan Langkasuka. Disini mereka akan berdagang dan melanjutkan perjalanan ke Funan dan Tiongkok.
Pada rute kedua, pedagang dari India tengah dan selatan menyeberangi Teluk Benggala dan mendarat di sisi barat Aceh, dari sana mereka berlayar menyusuri pesisir barat Pulau Sumatera, melewati Bongal dan terus ke selatan sampai masuk ke Selat Sunda.
Sekeluarnya dari Selat Sunda, mereka memiliki dua arah untuk dipilih. Pertama, menuju ke pesisir utara jawa dan kedua ke pesisir timur Pulau Sumatera.
Jika memilih ke pesisir utara Pulau Jawa, mereka mungkin berlayar sampai ke sekitar Semarang. Terdapat teluk yang besar disana yang terlindungi oleh pulau besar di depannya, tempat yang bagus untuk berlabuh. Ketika angin timur datang, mereka bisa segera mengangkat sauh dan berlayar menuju ke pesisir timur Sumatera, berdagang di beberapa pelabuhan disana lalu berlayar menuju Tiongkok dengan memanfaatkan hembusan terakhir angin musim Timur.
Jika memilih ke pesisir timur Sumatera, mereka mungkin berdagang di beberapa pelabuhan dari Ketapang sampai ke Karang Agung. Setelah angin timur tiba, mereka bisa segera mengangkat sauh, mengibarkan layar, dan berangkat menuju Tiongkok.
Perjalanan dari Karang Agung atau Air Sugihan akan melalui sisi timur kepulauan Lingga, melintasi kepulauan Natuna dan mampir di Funan atau langsung ke Guang Zhou.
Pedagang dari Tiongkok akan memanfaatkan angin barat untuk berlayar menuju selatan melewati Natuna, sisi timur Lingga dan akhirnya tiba di bagian utara Selat Bangka dan Pulau Bangka. Dari sini mereka bisa memilih untuk langsung ke Jawa melalui Belitung. Pilihan kedua adalah dengan mampir dahulu di berbagai pelabuhan yang ada di pesisir timur Sumatera bagian selatan. Di pesisir ini mereka bisa mampir ke pelabuhan di Karang Agung, di Sungai Musi dan di Selat Bangka.
Antara Kedah dan Karang Agung terbentang daerah yang minim perdagangan pada masa pra-Sriwijaya. Dalam wilayah tersebut terdapat Selat Malaka, Kepulauan Riau, dan Jambi. Kemungkinan penyebab terjadinya hal tersebut adalah:
- Para pedagang memandang akan lebih cepat dan hemat bila menyeberangi Semenanjung Melayu daripada memutarinya,
- Pelabuhan-pelabuhan yang ada di kedua sisi Selat Malaka mungkin tidak menawarkan keuntungan dagang yang cukup untuk menutupi biaya berlayar melaluinya,
- Adanya bajak laut di Kepulauan Riau dan Lingga, dua tempat dimana terdapat ratusan pulau kecil yang memungkinkan bajak laut muncul secara tiba-tiba di belakang kapal dagang dan segera menghilang setelah melakukan serangan,
Demikianlah hasil pembacaan kami sebagai orang ekonomi atas data dan informasi yang sampai ke kami terkait masa pra-Sriwijaya dan masa awal Sriwijaya.
Semoga bermanfaat.