Saya sedang berdiri di Digue, memperhatikan teman-teman yang sedang berbelanja oleh-oleh khas Madagaskar.
Itu adalah hari dengan sinar matahari yang melimpah, menyilaukan mata, tetapi angin berhembus dengan sejuk. Sang surya berada hampir tepat di atas kepala, saya harus sedikit memicingkan mata agar dapat melihat di kedai mana saja teman-teman saya berada di seberang jalan sana. Pada sisi jalan dimana saya berdiri tidak ada kedai souvenir, tanahnya rata dengan jalan dan di pinggirnya ada dinding tanah setinggi sekitar 30 sentimeter. Saya berdiri di bagian yang tinggi ini.

Setelah memastikan keberadaan semua teman di antara warna warni semarak berbagai souvenir khas Madagaskar, saya lalu membalikkan badan ke arah berlawanan, dan memperhatikan baik-baik sungai yang sudah saya lihat sejak awal kedatangan tadi. Dari tempat saya berdiri, tanah menurun sekitar 7 meter dengan kemiringan yang cukup curam, tetapi masih aman. Sedikit di bawah dari tempat saya berdiri ada jalan setapak yang memanjang antara jalan dan sungai dari barat laut ke tenggara, lalu dari situ tanah menurun dengan curam sampai ke tepi sungai. Pada daerah di seberang sungai terhampar sawah yang amat luas, jauh di belakangnya ada puluhan bukit batu yang mencuat bevitu saja dari dalam tanah, bukit-bukit ini menjadi pembatasnya.
Ketika memperhatikan persawahan ini, saya mendadak tercekat, di antara sawah yang luas itu, berdiri belasan struktur yang tersusun dari batu bata merah, tampilannya terlihat seperti percandian bata Bumiayu di Sumatera Selatan, tetapi yang saya lihat ini ada di ibukota Madagaskar, terpisah jarak sejauh enam ribu kilometer.

Bikkhu I-Tsing melaporkan bahwa di ibukota Sriwijaya terdapat banyak bangunan dari batu bata, hal yang sama dilaporkan pula oleh Ma-Huan di abad ke -15, 7 abad setelah I-Tsing. Struktur bata seperti ini masih bisa dilihat di Palembang, seperti yang ada di kompleks pemakaman Ki Gede Ing Suro dan pemakaman Panembahan. Bisa juga dilihat pada percandian Bumiayu, delapanpuluh empat kilometer di barat Palembang.
Meski percandian Ki Gede Ing Suro dan Panembahan tidak berasal dari masa Srwiijaya seperti percandian Bumiayu, tetapi itu menunjukkan adanya keberlanjutan gaya arsitektur di Palembang dari masa Sriwijaya ke masa kemudian yang lebih muda. Kerajaan bisa berganti, tetapi gaya bangunan tetap sama.
Selama ini, di luar Palembang, struktur batu bata seperti yang digambarkan oleh I-Tsing dan Ma-Huan bisa dilihat di Batu Jaya, Provinsi Jawa Barat, dan di Muara Jambi, provinsi Jambi. Apakah saya baru saja melihat percandian Sriwijaya di Madagaskar?

Jika iya, itu akan seru sekali.
Penelitian genetik menunjukkan bahwa terdapat DNA orang Kalimantan dan orang Nusa Tenggara di Madagaskar. Sedangkan penelitian linguistik menunjukkan adanya kosa kata dari bahasa Melayu, bahasanya orang Sriwijaya, dalam bahasa Malagasy. Dua hal itu memberi petunjuk mengenai adanya pergerakan orang-orang nusantara yang dimotori oleh Sriwijaya memasuki Madagaskar dari Asia Tenggara dan itu terjadi sekitar seribu dua ratus tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 800 masehi. Pada masa itu, Sriwijaya adalah kerajaan utama di nusantara, dan pelaut-pelautnya mampu melakukan pelayaran jarak jauh menyeberangi samudera menggunakan kapal seperti kapal yang tergambar dalam relief Candi Borobudur, sebuah candi yang dibangun pada masa yang sama dengan masa Sriwijaya.
Kemampuan berlayar jarak jauh itu salah satunya yang membawa mereka tiba ke sebuah pulau yang jaraknya enam ribu lima ratus dua puluh dua kilometer dari Palembang, ibukota Sriwijaya, melintasi Samudera Hindia yang luas dan nyaris kosong dari pulau.
Hebat sekali bukan?
Saya ingin sekali secepatnya memeriksa semua struktur bata itu dan segera mencari jalan menuju kesana.
Sungai Ikopa ini lebarnya hampir seratus meter. Sungainya mengalir cukup deras tetapi tidak dalam. Ada banyak pulau kecil di tengahnya. Sebuah perahu bergerak pelan di tengah sungai, dekat salah satu pulau ini. Tidak ada jembatan yang tersedia sejauh mata memandang, dan perahu itu, bergerak ke sisi sungai yang berbeda. Saya tidak menemukan cara untuk segera menyebrang selain menggunakan perahu yang sedang bergerak menjauh itu.
Saya harus menemukan cara lain untuk memeriksa apa yang saya lihat.
Telepon genggam saya keluarkan dari saku untuk dipinjam kameranya. Opsi pembesaran gambar dimaksimalkan agar bisa melihat sebaik mungkin ke struktur terdekat, yang letaknya kira-kira 600 meter dari tempat saya berdiri. Dan kejutan lain muncul, ternyata itu benar struktur bata, tetapi bukan seperti yang saya kira di awal.
semakin diperhatikan semakin jelas, bahwa apa yang awalnya dikira candi, ternyata adalah susunan batu bata yang sepertinya sedang dijemur. Untuk memastikan, saya bertanya kepada pemandu yang mendampingi kami, “apakah itu batu bata yang dijemur?”, dia menjawab sesuai harapan, bahwa apa yang saya lihat memang batu bata yang sedang dijemur. Dia lalu menambahkan bahwa di Madagaskar, sawah hanya ditanami sekali dalam setahun, empat bulan kemudian ketika sudah dipanen, lahan sawah dibiarkan begitu saja sampai masa tanam tahun berikutnya tiba. Selama sawah tidak ditanami padi itulah warga mengambil tanah sawah untuk diolah menjadi batu bata. Setelah jadi, batu bata disusun di antara petak sawah untuk dijemur sembari menunggu pembelinya datang mengambil.
Budaya menanam padi dibawa masuk ke Madagaskar oleh orang-orang Melayu dari kepulauan Asia Tenggara sekitar seribu tahun yang lalu.
Waktu seperti membeku di Madagaskar, banyak hal masih dilakukan dengan cara yang sama seperti di masa lalu. Saya membayangkan seribu tahun yang lalu para pendatang dari Sumatera dan Kalimantan memulai persawahan di Madagaskar seperti mereka dahulu bersawah di tanah asal. Bayangan itu lalu membentuk gambaran bagaimana orang di Sumatera dan Kalimantan bersawah di masa Sriwijaya, mungkin seperti apa yang saya lihat hari ini di Antananarivo.
Ketika kembali ke penginapan di sore itu, saya bertekad untuk mampir ke tempat pembuatan batu bata, di mana saja di Antananarivo, setidaknya sekali dalam perjalanan ini.
Esok harinya kami sedang dalam perjalanan pulang dari Rovan Ambohimanga, sebuah bukit berbenteng yang menjadi kediaman raja terbesar dalam sejarah Madagaskar, Andrianampoinimerina. Rovan Ambohimanga adalah benteng yang cantik dan menarik, tapi itu akan menjadi pusat dalam cerita selanjutnya.
Jalan menuju benteng menanjak secara landai selama hampir setengah jam dan ketika mendekati puncaknya saya melihat sebuah tempat pembuatan bata yang cukup luas dan berada di tepi jalan yang saya dan teman-teman lalui. Dalam perjalanan pulang, kami sempatkan untuk mampir ke ‘pabrik’ batu bata itu. Namun yang satu ini sedikit berbeda.
Pabrik ini tidak hanya memproduksi bata tetapi juga genteng, dan dalam pembuatannya, seluruh genteng dan sebagian bata memakai bahan tanah liat bewarna kelabu tua. Mereka mencetak genteng dan bata mereka dengan alat mekanik bertenaga manusia, dan bukannya menjemur bata dan genting di bawah sinar matahari sampai kering, mereka membakarnya di dalam tungku besar yang bisa memuat ribuan bata dalam sekali bakar.

Dan perbedaan yang paling mencolok adalah, pabrik batu bata ini tidak berada di dekat sawah. Mereka berada di sebuah bukit dan tidak ada sawah sejauh mata memandang. Tapi itu sudah cukup. Bisa bertemu dan bicara langsung dengan perajin batu bata Madagaskar adalah pengalaman baru yang menarik.
Ketika meninggalkan pabrik batu bata itu, saya kembali teringat tentang panen padi di Sriwijaya yang bisa mencukupi kebutuhan untuk tiga tahun. Membayangkan betapa banyak hasilnya dan betapa senang hidup si petani, sebuah bukti sesungguhnya dari ketahanan pangan yang diimpi-impikan masyarakat modern hari ini.
Bayangan itu semakin kuat ketika kami kembali ke jalan raya utama yang datar, yang di kanan dan kirinya terbantang sawah yang luas sekali, dengan bukit batu jauh disana yang menjadi ujungnya, mungkin seperti inilah pemandangan Palembang di masa Sriwijaya.

Di antara perbukitan dan sungai di Talang Tuwo, terhampar persawahan yang luas, dilengkapi dengan kolam-kolam dan saluran air, rumbiya tumbuh di tepian kolam, bambu dan berbagai pohon buah-buahan memenuhi lahan di sekitarnya.
Dan dari atas bukit, Sri Jayanasa menatap ke persawahan, irigasi dan taman di bawahnya dengan senang dan bangga, senyuman menghiasi wajahnya. Dia menoleh kepada juru tulis yang sedang menatah sebuah prasasti “masukkan sawah, kolam, dan bendungan dalam pengumuman itu” titahnya.
Taman Sriksetra, Talang Tuwo, 684.