Sepanjang sejarah, putra putri terbaik Palembang sukses berkiprah di tanah rantau. Dan tidak main-main, prestasi mereka di perantauan sungguh luarbiasa, mulai dari jadi pengendali pelabuhan, menjadi raja, bahkan mendirikan kerajaan/kesultanan mereka sendiri. Salah satunya malah menjadi raja sebanyak tiga kali di tiga tempat berbeda.
Putra-putri Palembang ini sangat dihargai di tanah rantau, tetapi cenderung tidak dikenal di tanah asalnya sendiri. Salah satunya bahkan dibuatkan patung di lokasi strategis di sebuah negara amat maju, namun di tanah asalnya sendiri orang-orang lebih suka mendirikan patung ikan.
Siapakah dia?, inilah kisahnya.
Sailendra
Sailendra adalah seorang penguasa di pesisir utara pulau Jawa yang memperkenalkan dirinya dalam bahasa Melayu, bahasa yang dipergunakan dalam berbagai prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang dan sekitarnya. Selain bahasa yang dipergunakan, cara menatah aksaranya pun memiliki sejumlah kesamaan dengan prasasti-prasasti Sriwijaya di Palembang.
Sailendra mendirikan prasasti berbahasa Melayu di daerah Sojomerto, sekitar 35 kilometer di sebelah barat Kota Semarang. Dalam prasasti itu dia memperkenalkan dirinya sebagai Sailendra, anak dari bapak Santanu dan ibu Bhadrawati. Dia memiliki istri bernama Sampula.
Sailendra mendirikan dinasti yang akan berkuasa di pulau Jawa selama hampir dua ratus tahun. Selama berkuasa disana, Sailendra mendirikan candi-candi seperti Mendut dan Sewu. Tetapi yang paling istimewa dari candi-candi ini adalah Borobudur, yang adalah candi beraliran agama Buddha yang terbesar di dunia.
tetapi bagaimana Sailendra bisa tiba di Jawa dan menjadi penguasa disana?
Sebelum Sriwijaya berdiri, sejumlah Kerajaan telah ada di pesisir utara pulau Jawa, keberadaan mereka terekam dalam catatan kekaisaran Tiongkok sebagai Kerajaan-kerajaan di laut selatan yang kerap mengirim utusan dagang ke Tiongkok. Tetapi mereka semua kemudian berhenti mengirim utusan. Pada masa yang sama, Sriwijaya mendirikan prasasti di Kota Kapur yang berisi keberangkatan pasukan Sriwijaya untuk menghukum bhumi Jawa yang tidak mau tunduk. Setelah prasasti ini didirikan, dari suatu wilayah yang sebelumnya terdapat beberapa kerajaan, kini hanya ada Sriwijaya yang mengirim utusan ke Tiongkok.
Tiga hal yang terjadi dalam masa yang sama ini memberi kita petunjuk bahwa kemunculan Sriwijaya telah membuat kerajaan di Jawa menghilang, kemungkinan ditundukkan oleh pasukan Sriwijaya yang keberangkatannya dikabarkan oleh prasasti Kota Kapur. Dan ketika Sriwijaya berhasil menguasai pesisir utara Jawa, maka Datu Dapunta Hyang Sri Jayanasa menempatkan Datu Sailendra untuk mengendalikan daerah yang baru ditaklukan tersebut.
Sebagai penguasa baru di tanah asing, maka Sailendra perlu memperkenalkan diri kepada Masyarakat Jawa melalui prasasti Sojomerto yang berisi namanya dan silsilah keluarganya.

Sang Sapurba
Sang Sapurba adalah yang tertua dari tiga bersaudara raja-raja Melayu yang turun secara Ajaib di Bukit Siguntang, Palembang. Kelak Sang Sapurba akan meninggalkan Palembang untuk menjadi raja orang-orang Minang di Pagarruyung.
Kitab sejarah Melayu berjudul Sulalatus Salatin yang ditulis di Semenanjung Melayu menceritakan tentang tiga bersaudara anak keturunan Aleksander Agung yang muncul secara Ajaib di puncak Bukit Siguntang. Kemunculan mereka bertiga disertai dengan kilatan Cahaya yang menyilaukan mata dan membuat takut warga yang tinggal di kaki bukit.
Tiga bersaudara ini adalah Sang Sapurba yang sulung, Sang Maniaka yang tengah, dan Sang Nila Utama yang bungsu. Mereka bertiga lalu diangkat anak oleh raja Palembang masa itu, Demang lebar Daun. Pesona luarbiasa yang dimiliki ketiga anak ini memukau banyak orang dan cerita mengenai keajaiban mereka tersebar luas kemana-mana sehingga berduyun-duyunlah orang datang ke Palembang untuk melihat tiga bersaudara ini.
Salah satu yang pertama datang adalah utusan dari orang Minang. Terpukau oleh ketiga anak ini, mereka meminta kepada Demang Lebar Daun untuk mengizinkan salah satu anak tersebut dibawa ke Minang untuk diangkat menjadi raja disana. Demang Lebar Daun mengabulkan permintaan itu dan memberikan anak yang sulung kepada orang Minang.
Setibanya di Pagarruyung, Sang Sapurba menunjukkan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah pelik yang menimpa warga Minang. Itu membuat orang Minang semakin yakin akan tuah Sang Sapurba dan berbulat hati mengangkatnya menjadi raja mereka.
Sang Maniaka
Sang Maniaka adalah anak tengah dari tiga bersaudara raja-raja Melayu yang turun secara Ajaib di puncak Bukit Siguntang dan lalu diasuh oleh raja Palembang, Demang Lebar Daun.
Dalam asuhan Demang Lebar Daun ini datanglah utusan dari orang-orang Tanjungpura. Mereka menjelaskan bahwa dalam Masyarakat mereka belum memiliki raja sehingga meminta kemurahan hati Demang Lebar Daun untuk memberikan salah satu dari tiga anak ajaib itu kepada mereka agar bisa diangkat menjadi raja di Tanjung Pura.
Permintaan itu disetujui oleh Demang Lebar Daun dengan memberikan Sang Maniaka kepada mereka. Setibanya di Tanjung Pura, Sang Maniaka lalu ditabalkan menjadi raja Masyarakat Tanjung Pura di Kalimantan bagian barat.
Sang Nila Utama
Sang Nila Utama adalah yang termuda dari tiga bersaudara raja-raja Melayu yang turun di Bukit Siguntang. Dia adalah anak yang paling disayangi oleh Demang Lebar Daun, oleh karena itu, meski banyak orang Melayu dari berbagai tempat datang untuk merayu, tetapi Demang Lebar Daun menolak semua permintaan tersebut.
Sang Nila Utama akhirnya menjadi raja Palembang. Dia menggantikan ayahnya yang kini menjabat sebagai raja sepuh.
Pada satu waktu, Sang Nila Utama ingin berlayar keluar Palembang dan melihat dunia, maka ia sampaikan keinginannya itu pada ayahnya. Demang Lebar Daun menyetujui permintaan itu dengan syarat dia akan ikut berlayar bersama Sang Nila Utama.
Ketika persiapan sudah selesai, maka armada Raja Palembang melepas sauh dan mulai berlayar memasuki laut. Mereka lalu mendekati pulau Bintan. Disana mereka disambut oleh penguasa Bintan, seorang perempuan hebat yang kehilangan suaminya di medan perang. Sang Ratu menyukai Sang Nila Utama dan menanyakan padanya apakah dia bersedia menikah dengan putrinya. Tawaran itu diterima dan Sang Nila Utama dinikahkan dengan putri kerajaan. Setelah menikah, Sang Nila Utama menjadi raja Bintan, menggantikan ibu mertuanya.
Setelah beberapa lama tinggal di Bintan, Sang Nila Utama memutuskan hendak melakukan perburuan kerajaan di pulau selain Bintan, maka berangkatlah rombongan kerajaan ke pulau tetangga untuk melaksanakan acara perburuan. Saat berburu di pulau ini, Sang Nila Utama melihat seekor hewan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, sehingga dia tanyakan kepada pangeran yang mengawalnya, dia mendapat jawaban bahwa hewan yang dia lihat itu adalah seekor singa.
Terpukau dengan pengalamannya berburu disana, Sang Nila Utama memutuskan untuk membangun perkampungan baru di pulau tersebut yang dia namai negara singa, atau Singapura dalam bahasa sansekerta dan dia menjadi raja pertamanya.
Kisah ini melekat dalam ingatan warga Singapura sampai hari ini. Karena itu mereka ketika merayakan 200 tahun berdirinya Singapura, mereka mendirikan patung Sang Nila Utama.
Sang Nila Utama diyakini tiba di Singapura pada tahun 1299 dan mendirikan dinasti yang berkuasa sekitar seratus tahun lamanya.
Berkat Sang Nila Utama, Singapura bisa berdiri dan kini menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar dunia.


Parameswara
Pada tahun 1411 Parameswara berangkat ke Tiongkok dan mendapatkan pengakuan sebagai raja Malaka. Dia berangkat kesana Bersama Laksamana Cheng Ho yang sedang dalam perjalanan pulang setelah muhibahnya yang legendaris ke Asia Tenggara.
Parameswara adalah pangeran dari Palembang, yang merupakan keturunan dari bangsawan Sriwijaya.
Dia meninggalkan Palembang sekitar akhir dekade 1390 menuju ke Singapura. Setelah sempat tinggal beberapa lama disana, pertikaian dengan penguasa lokal memaksa Parameswara untuk kembali merantau mencari tanah yang baru. Dalam pengembaraan yang kedua ini, Parameswara dan para pengikutnya akhirnya berlabuh di muara Sungai Muar, di pesisir barat semenanjung Melayu.
Kali ini Parameswara tidak menumpang pada orang lain dan benar-benar mendirikan perkampungannya sendiri dari nol. Perkampungan yang sederhana ini di kemudian hari berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar yang bernama Malaka.
Pada masa jayanya, Malaka adalah penguasa Selat Malaka dan mengendalikan perdagangan rempah dunia. Posisinya yang luar biasa itu membuatnya menjadi incaran bangsa-bangsa eropa yang baru tiba di Asia di akhir abad ke-15.

Nyai Gede Pinatih
Ketika Laksamana Cheng Ho diserang perompak di dekat muara Sungai Musi, seorang penduduk Palembang bergegas memberinya bantuan. Orang Palembang ini membocorkan kepada Cheng Ho mengenai rencana jahat si perompak, akibatnya si perompak bisa ditangkap dan dihukum mati.
Atas jasanya itu warga Palembang ini diangkat menjadi kepala komunitas Tionghoa di Palembang dan mendapatkan gelar khusus dari Kaisar Tiongkok. Nama warga Palembang yang berjasa besar ini adalah Shi Jin Qing.
Shi Jin Qing memiliki beberapa anak, salah satunya adalah Shi Daniang. Ketika dewasa, Shi Daniang keluar dari Palembang dan pindah ke kampung nelayan kecil bernama Gresik, di dekat Surabaya. Shi Daniang menjadi kepala pelabuhan disana dan dalam pengelolaanya, Gresik berkembang pesat dari kampung nelayan sederhana menjadi Pelabuhan besar yang ramai disinggahi pedagang. Keberhasilannya itu membuatnya mendapat gelar The Great Lady of Gresik, Nyonya Besar Gresik, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Gede Pinatih.
Nyai Gede Pinatih mengadopsi seorang bayi yang dibuang orang tuanya ke laut. Bayi ini dia asuh selayaknya anaknya sendiri. Ketika dewasa, bayi ini menjelma menjadi seorang tokoh agama yang disegani di pulau Jawa, bernama Sunan Giri.
Dengan demikian, putri Palembang ini bukan hanya sukses di rantau dengan membangun sebuah pelabuhan besar tapi juga sukses mengasuh tokoh besar dalam urusan agama. Luar biasa.

Raden Fatah
Raden Fatah mungkin adalah perantau sukses Palembang yang paling terkenal sepanjang sejarah.
Raden Fatah lahir dan besar di Palembang. Konon, ayah kandungnya adalah raja terakhir Majapahit dan ibunya adalah seorang putri dari Tiongkok. Karena masalah internal istana, ibunya dikirim ke Palembang. Dia berangkat ke Palembang dalam keadaan hamil besar, dan dalam masa pengasingan di Palembang inilah dia melahirkan Raden Fatah.
Ketika umurnya mendekati 20 tahun, Raden Fatah pergi ke Pulau Jawa untuk mendalami agama Islam. Dia berguru kepada Sunan Ampel dan ketika dirasa sudah cukup, Raden Fatah mendirikan sekolah islamnya sendiri di Demak. Sekolah agama ini lalu berkembang pesat, sangat berpengaruh dan menjadi kuat secara militer. Raden Fatah lalu mendirikan kerajaan bercorak Islam yang pertama di Jawa, yang sekarang kita kenal sebagai Kesultanan Demak.
Sukses di rantau tidak membuat Raden Fatah lupa akan asal usulnya, karena itu di dalam gelar kebesaranya sebagai sultan Demak yang pertama dia mencantumkan ‘Panembahan Palembang’ sebagai identitas dirinya.

Itulah kisah mengenai 7 orang Palembang yang meraih keberhasilan luar biasa ketika pergi merantau ke tanah seberang. Kehadiran mereka bukan hanya mengubah nasib diri mereka sendiri tetapi juga mengubah jalan sejarah dunia, mulai dari mengadopsi dan mendidik salah satu wali songo yang akan mengislamkan Jawa, sampai mendirikan sebuah kerajaan yang mengatur perdagangan dunia.
Ini adalah bukti bahwa Orang Palembang sudah sejak lama tampil di kancah dunia, semoga di masa depan akan lahir orang hebat lainnya dari Palembang.