Palembang memiliki tradisi menyajikan makanan yang menarik, saat ini terdapat tiga cara untuk menjamu tamu dengan makanan, pertama, Buluh Sebatang; kedua, Kambangan; dan ketiga, Ngidang.
Masing-masing memiliki kekhasannya sendiri.
Beberapa kain panjang dihamparkan sambung menyambung membentuk satu garis dan makanan dihidangkan di atas kain ini. Panjangnya hidangan tergantung dengan ruang yang tersedia. Tetamu makan dalam posisi berhadapan memanjang. Posisi makan membentuk satu garis lurus ini dianggap serupa dengan lurusnya satu batang bambu, karena itu disebut makan cara Buluh Sebatang.
Bila ruangan yang tersedia cukup luas, maka kain panjang dihamparkan membentuk huruf ‘O’. para tamu akan duduk di sisi luar, sedangkan di bagian dalam ada satu atau dua orang muda yang bertugas mengatur sebaran makanan dan alat makan di antara para tamu. Posisi makan seperti ini nampak seperti orang-orang sedang duduk mengitari kolam saat sedang memancing, karena itu tradisi perjamuan seperti ini disebut Kambangan. Kambang adalah ‘kolam’ dalam bahasa Palembang.
Bila ruangan yang tersedia lebih luas dan ingin memberikan lebih banyak kenyamanan kepada tamu, maka kain Panjang digantikan oleh kain persegi. Kain ini dihamparkan terpisah satu sama lain dan membentuk hidangan tersediri. Masing-masing kain bisa menampung 4 sampai 8 orang tamu, mereka bisa memilih dengan siapa mereka akan nyaman duduk dan makan. Dengan maksimal 8 orang per hidangan maka tamu bisa lebih leluasa memilih sendiri makanannya tanpa kuatir kehabisan karena semua makanan disajikan dalam jumlah yang sesuai dengan jumlah orang yang duduk dalam cara Ngidang.

Makan ala Buluh Sebatang mungkin berkembang dalam rumah baghi yang cenderung berukuran kecil. Rumah baghi berbentuk persegi empat yang dibagi menjadi beberapa ruang. Ruang untuk menerima tamu berada di bagian depan dan bentuknya memanjang. Bentuk memanjang ini memengaruhi bagaimana cara jamuan dihidangkan, mengikuti bentuk ruang, memanjang.
Pada bagian Tengah rumah baghi, setelah ruangan menerima tamu, terdapat ruang tengah yang dipisahkan oleh dinding. Ruang ini tempat menerima tamu perempuan, bentuknya persegi yang tidak memanjang namun lebih luas. Bila makanan dihidangkan dalam cara buluh sebatang maka ruang yang tersedia hanya cukup untuk satu hidangan dan akan ada ruang sisa yang tidak bisa dipakai karena ukurannya canggung, bila disiapkan satu hidangan lagi maka tamu akan makan berhimpitan punggung bertemu punggung. Maka jalan keluarnya adalah mempersilakan tamu duduk dengan punggung menempel pada dinding, lalu makanan disajikan di hadapan mereka. Perjamuan akan berbentuk huruf ‘O’, dengan tamu mengitari tepi luarnya dan ruang kosong di bagian tengah, tampak seperti orang-orang yang sedang duduk mengelilingi kolam. Pada ruang kosong di tengah duduk satu atau dua orang Perempuan muda yang bertugas mengatur lalu lintas penyajian makanan dan alat makan. Cara seperti ini disebut makan kambangan, yang dalam bahasa Indonesia berpadan dengan kata ‘kolaman’.
Saat masa berkembang, muncul kelompok orang yang kaya secara ekonomi dan mampu membangun rumah baghi dalam ukuran yang lebih besar maka tersedia ruangan yang lebih luas di dalam rumah untuk menampung lebih banyak. Rumah ini tidak lagi disebut baghi dan kini bisa melakukan perjamuan makan bersama yang melibatkan lenbih banyak orang.
Sekarang dalam satu ruangan yang sama, tuan rumah bisa menggelar dua baris sajian buluh sebatang secara leluasa, penyaji makanan bisa berjalan diantara barisan tamu tanpa menyenggol punggung mereka, kemewahan yang tidak ada sebelumnya.

Pun begitu dengan hidangan kambangan, satu ruangan bisa menampung dua atau tiga kambangan sekaligus dan penyaji makana bisa bergerak lelausa tanpa menyentuh punggung para tamu.
Tibalah masa dimana Masyarakat lokal berinteraksi dengan orang asing yang datang untuk berdagang. Mereka melihat jamuan makan orang Cina yang tersedia banyak meja yang dikelilingi tamu yang duduk di kursi, tidak ada yang berdiri atau berebut, semua makan di mejanya masing-masing. Mereka juga melihat orang Arab makan dengan cara yang sama, hanya saja mereka tidak mempergunakan meja dan kursi, orang dan makanan berada di lantai.
Dari budaya Arab, orang Palembang menyerap makan duduk di lantai dan dari orang Cina mereka menyerap penyajian setiap lauk makan pada piring terpisah, satu piring untuk satu lauk. Dan kini orang Palembang telah menciptakan gaya perjamuan yang khas Palembang sendiri, perjamuan makan ala Ngidang.
Tradisi tidak muncul begitu saja dalam semalam. Tradisi adalah hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan dia hidup. Maka kita harus memahami tahap demi tahap kehidupan manusia di masa lalu agar bisa memahami bagaimana kehidupan manusia hari ini terbentuk.