Palembang telah berusia 1342 tahun sekarang, kota tua yang punya banyak sejarah. Kota ini berdiri di tepi Sungai Musi, baik di atas air maupun di atas tanah basah dan tanah kering. Kota tuanya masih bisa dilihat sampai sekarang, berupa bangunan perumahan, pertokoan, dan pergudangan.
Banyak sisa gudang besar yang berdiri di tepi Sungai Musi, seperti yang ada di Kawasan Sekanak dan Pasar 16. Saking banyaknya, bahkan pergudangan ini menjadi nama pengenal daerah, seperti yang terjadi pada kawasan dimana gudang milik saudagar Ong Boen Tjiet berada, karena sering dijadikan penanda arah untuk bertemu dan bepergian, kawasan itu akhirnya dikenal sebagai ‘gudang buncit’.
Bagaimana bila hal yang sama terjadi pula pada Palembang, bahwa nama Palembang berkaitan dengan gudang?
Gudang adalah bangunan yang dipergunakan untuk menimbun hasil bumi, agar komoditas dagang ini terlindung dari air dan panas sehingga tetap dalam kondisi terbaiknya ketika akan dijual ke kapal dagang-kapal dagang yang mampir ke Palembang.
Palembang didirikan sebagai kota dagang. Dia berada di tengah antara sumber daya alam yang ada di hulu sungai dan pusat perdagangan kuno di pesisir laut. Semua orang dari hulu yang membawa hasil hutan melalui ratusan anak Sungai Musi pasti akan melewati Palembang, dan semua pedagang asing dari hilir yang masuk ke Sungai Musi untuk mencari hasil hutan pasti akan melewati Palembang.
Palembang berada di tempat yang sangat strategis untuk menguasai keseluruhan perdagangan.
Palembang membeli semua hasil bumi dari hulu dan menjualnya kepada pedagang yang datang dari hilir. Sejak awal Palembang menempatkan dirinya sebagai pedagang perantara skala besar.
Hasil bumi dari hulu ini tentu saja membutuhkan tempat penyimpanan yang besar, Gudang dari rakit tidak lagi mencukupi sehingga perlu dibangun tempat besar di darat, di atas tanah basah atau bahkan tanah kering. Tempat penimbunan seperti pasti banyak dibangun pada masa awal Palembang didirikan, sekitar abad ke-7 masehi.
Dalam bahasa Melayu kuno, ada kata tersendiri yang dipergunakan untuk menyebut tempat penimbunan barang, kata itu adalah ‘Limbung’. Jika diberi imbuhan ‘Pa-‘ maka akan membentuk ‘Palimbung’ yang adalah kata benda yang merujuk kepada orang yang menimbun komoditas. Jika diberi imbuhan ‘-an’ maka akan menjadi ‘Limbungan’ yang adalah kata benda yang terkait dengan tempat untuk menimbun.
Palimbung mungkin adalah kata yang dipergunakan oleh pedagang asing pada masa Sriwijaya untuk menyebut tempat tinggal orang-orang yang menimbun komoditas dagang di tepi Sungai Musi. Seperti orang mempergunakan kata ‘Sayangan’ untuk menyebut tempat tinggal orang-orang yang ahli mengerjakan benda berbahan tembaga. Kata Palimbung lalu berevolusi menjadi kata Palembang, seperti yang dikenal sekarang.
‘Palimbung’ juga terdengar serupa seperti catatan Tiongkok abad ke-13 tentang Palembang, yang mereka sebut ‘Polinfong’.
Hal yang menarik adalah, sampai hari ini masih ada tempat di bagian kota tua Palembang yang bernama Limbungan. Lokasinya berada di dekat Kuto Besak, di daerah yang menjadi tempat tinggal keluarga sultan terakhir Palembang.
Limbungan di Palembang, apakah sesuatu terbetik di benak teman-teman?