Dalam karyanya tentang Kepulauan Asia Tenggara di tahun 1821, mantan gubernur residen Yogyakarta mengatakan bahwa orang Jawa menyebut Pulau Sumatera sebagai Palembang. Menurut John Crawfurd hal itu dilakukan karena bagi orang Jawa, dari seluruh tempat di pulau Sumatera, Palembang adalah nama tempat yang paling mereka kenal.
Orang Jawa sangat mengenal Palembang karena ketika berlayar dari Jawa, tempat terkenal pertama yang akan mereka temui di sumatera adalah Palembang.
Angin timur berhembus di sepanjang Pantai utara Jawa dan menabrak pesisir timur Sumatera, dari Kabupaten Lampung Timur sampai Kecamatan Tulung Selapan di utara. Orang Jawa yang naik kapal dari utara pulau Jawa pasti akan bertemu dengan pesisir ini, dari sana mereka akan mengikuti angin timur yang berbelok ke utara dan masuk ke Selat Bangka dan memasuki wilayah Palembang.

Hal yang sama dilakukan oleh orang Jawa kepada Pulau Kalimantan, yang pada masa itu mereka sebut Banjarmasin. Orang Jawa yang berada di sebelah Selatan pulau Kalimantan, ketika menyebrangi laut akan bertemu dengan pesisir selatan pulau Kalimantan dan disana mereka melihat tempat yang paling terkenal adalah Banjarmasin. Sedangkan orang Inggris yang berdagang dengan kesultanan Brunei yang berada di sebelah utara Kalimantan, mempergunakan nama Brunei untuk menyebut pulau itu. Tetapi orang Inggris melafalkan ‘Brunei’ sesuai lidah mereka yang lalu menjadi ‘Borneo’.
Penyebutan Sumatera sebagai Palembang ini terjadi di masa Crawfurd, dan mungkin sudah dimulai sejak Palembang menjadi kesultanan. Tetapi jauh sebelum itu ada nama lain yang dipergunakan oleh orang Jawa untuk menyebut pulau Sumatera, dan nama itu adalah ‘Melayu’.
Proses penggunaan Melayu sebagai nama pulau pun sama persis seperti penggunaan nama Palembang sebagai nama pulau.
Sama seperti Palembang, pada masa lalu Melayu adalah tempat di Sumatera yang paling dikenal oleh orang Jawa, karena menjadi tempat ramai yang pertama kali mereka temui ketika berlayar mengikuti angin ke Sumatera. Karena populer dan banyak yang tahu, akan mudah bagi mereka mempergunakan nama ‘Melayu’ sebagai nama pulau dan penunjuk arah ketika berkomunikasi dengan sesame mereka. Untuk mendapatkan status seperti itu maka pastilah Melayu ini berada di tepi laut, di pesisir timur Sumatera bagian Selatan, di suatu tempat antara Kabupaten Lampung Timur sampai Kecamatan Tulung Selapan di utara.
Melayu menjadi penanda, ketika mereka akan berangkat ke Sumatera mereka menyebut akan pergi ke Melayu dan ketika ada orang datang dari arah Sumatera mereka akan menyebut datang dari Melayu.
Karena itu, ketika mereka melihat serangan datang dari arah yang mereka kenal ini, mereka menyebutnya serangan yang datang dari Melayu, karena dari Melayulah pasukan ini bertolak, lepas dari Sumatera dan menyeberangi laut menuju Jawa, seperti yang ditulis oleh orang Jawa dalam prasasti Anjuk Ladang tahun 935-7.
Tentu saja bukan Melayu yang menyerang, melainkan Sriwijaya, tetapi karena arah datangnya dari arah Melayu maka disebut sebagai serangan Melayu. Pada masa Prasasti Anjuk Ladang dibuat, Melayu adalah salah satu kota Pelabuhan di pesisir Sumatera yang menjadi bagian dari Sriwijaya.
Begitu pula ketika orang Jawa hendak ke Sumatera, mereka menyebut akan pergi ke Melayu, seperti yang dilakukan oleh utusan yang dikirim oleh Kertanegara si raja Singasari di tahun 1275. Kontingen diplomasi ini menyebut diri mereka berangkat ke Melayu, dalam sebuah misi yang sekarang kita kenal sebagai ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi ini mungkin pergi ke tempat lain dan bukan Melayu, tetapi arah tujuan kepergian mereka adalah ke pulau Melayu.
Posisi Melayu yang berada di tepi laut, di salah satu titik di pesisir timur Pulau Sumatera ini didukung oleh kesaksian I-Tsing dan Tome Pires.
Bikkhu I-Tsing bercerita dalam bukunya bahwa setelah diterima dengan amat baik oleh Datu, si pengausa Sriwijaya mempergunakan kapalnya sendiri untuk mengantar I-Tsing ke Melayu. Dia tinggal selama beberapa bulan di Melayu untuk menunggu angin timur datang dan membawanya ke India. Kegiatan menunggu angin yang tepat untuk berlayar ini hanya bisa dilakukan di tepi laut, karena angin yang berhembus di darat tidak akan kuat untuk mendorong kapal dengan berat ratusan ton yang berada di sungai.
Tome Pires saat bercerita tentang Malaka dalam bukunya menulis bahwa pelabuhan terpenting di dunia masa itu didirikan oleh seorang pangeran Sriwijaya yang datang dari Tana melayu, dekat Palembang. Tome Pires lalu menggambarkan bahwa Tana Melayu ini berada di hadapan Pulau Maspari, yang sekarang masuk ke Kecamatan Tulung Selapan, Provinsi Sumatera Selatan. Tulung Selapan ini adalah gerbang masuk ke Selat Bangka dari arah Pulau Jawa.
Kesaksian dua tokoh sejarah itu mendukung posisi Melayu yang berada di tepi laut, pada tempat strategis, dimana angin timur bisa membawa orang ke India atau Cina, dan angin barat akan membawa orang ke Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Dunia semakin maju, sains makin berkembang, kita tidak bisa lagi main tebak-tebakan dimana letak nama-nama tempat kuno hanya berdasarkan intuisi, kesamaan nama yang kadang dibuat-buat, atau sekadar menelan mentah-mentah sebuah teks tanpa memberi telaah mendalam.