Skip to content
Menu
Kisah Kecil dari Palembang
  • Masa Lalu
  • Masa Kini
  • Gagasan
Kisah Kecil dari Palembang
sampul benteng kuto gawang yang unik

Kuto Gawang dan Bentuk Unik Benteng-benteng di Palembang

Posted on 18/09/2025

Kuto Gawang adalah nama keraton yang ada di Kota Palembang. Dia memiliki bentuk dan nama yang unik yang mengingatkan kita pada istilah yang populer di dunia olahraga modern.

Pada paruh kedua abad ke-16, Raja Palembang mendirikan keraton dan masjid, dua bangunan itu dikelilingi oleh ratusan bangunan lain yang mungkin didirikan oleh keluarga dan pengikut si raja, yang akhirnya membentuk sebuah kota. Ratusan bangunan ini dilindungi oleh pagar yang terbuat dari kayu. Ribuan kayu utuh ditancapkan ke tanah dan rapat satu sama lain. Pada beberapa tempat, bagian atas pagar kayu ini bisa menampung orang dan meriam.

Benteng yang kokoh ini berdiri sampai tahun 1660. Pada tahun ini Belanda menyerang Palembang dan Kuto Gawang habis dibakar Belanda. Menurut cerita yang sampai ke generasi kita, pasukan Belanda berhasil menemukan jalan ke bagian belakang Kuto Gawang dan membakar bagian tersebut, akibatnya api menyambar rumah-rumah yang ada disana dan akhirnya merambat ke seluruh bangunan yang ada di dalam Kuto Gawang dan menghanguskan semuanya, termasuk Kuto Gawang sendiri.

kuto gawang tampak depan
Ini adalah sketsa bagian depan Kuto Gawang yang menghadap Sungai Musi.

Kuto Gawang didirikan pada masa kekuasaan Ki Gede Ing Suro, antara 1552-1573, dan menjaga keraton sampai kehancurannya di 1660. Itu berarti dia berdiri sekitar 90-100 tahun. Setelah kehancurannya, keraton Palembang dipindahkan ke lokasi baru yang berada sekitar 4 kilometer ke arah barat Kuto Gawang, yang sekarang berada di sekitar gedung Gramedia Atmo.

Sejarahnya luarbiasa dan keberadaannya penting bagi Palembang, tetapi ada hal lain yang menarik dari Kuto Gawang, yaitu nama dan bentuknya.

Dalam rumpun bahasa Austronesia, kata ‘Gawang’ digunakan untuk menggambarkan situasi dimana terdapat sebuah tempat yang tampak tertutup rapat terdapat sebuah bukaan yang sengaja dibuat dengan tujuan sebagai perangkap, misalnya sebuah lubang di tanah, atau sebuah tempat khusus yang dibersihkan pada sebuah rerimbunan semak-semak.

Makna ‘bukaan pada suatu tempat yang tertutup’ ini awalnya biasa saja namun seketika menjadi menjadi menarik saat kita mengamati sketsa Kuto Gawang dengan lebih cermat.

Sketsa Kuto Gawang dibuat setelah Belanda menyerang benteng yang ada di Palembang sebagai bagian dari penjelasan visual dalam laporan tertulis atas operasi militer yang mereka lakukan.

bagian belakang Kuto gawang
Pada bagian belakang Kuto Gawang yang digambarkan dalam sketsa, terdapat bagian terbuka yang hanya ditutupi pohon dan tidak tampak ada dinding disitu.

Dalam sketsa itu ditunjukkan sebuah benteng yang berada tepat di tepi Sungai Musi, dengan satu dinding yang menghadap sungai dan dua dinding yang menghadap ke arah hulu dan hilir sungai. Itu memberi kepastian bahwa pada tiga sisi tersebut terdapat dinding benteng yang melindungi keraton. Tetapi hal yang berbeda terjadi dengan bagian belakang Kuto Gawang, kita tidak bisa menemukan tanda berdirinya sebuah dinding di bagian tersebut. Dalam sketsa yang dibuat oleh Belanda, tidak ada garis dinding di bagian belakang benteng, bahkan pada bagian yang terbuka tanpa dihalangi bangunan di depannya pun tidak ditemukan adanya dinding. Hal ini mungkin bisa ditafsiri sebagai kesalahan si pembuat sketsa, yang tidak rinci menggambarkan, namun pendapat itu menjadi batal ketika kita mengamati benteng lain yang ada dalam sketsa.

siku timur laut kuto gawang
Pada sisi timur laut Kuto Gawang juga tidak ditemukan tanda dinding timur benteng bersambung ke dinding utara yang semestinya ada di belakang benteng.

Dalam sketsa yang sama juga digambarkan tiga benteng yang lain, yaitu Benteng Kembaro di Pulau Kembaro, dan dua benteng di Seberang Ulu yaitu Benteng Martapura dan Benteng Bamagangan. Ketiga benteng ini memiliki dinding di tiga sisi yang dekat sungai, sedangkan pada satu sisi yang paling jauh dari sungai, tidak ada dinding sama sekali. Bisa diambil kesimpulan bahwa tidak ada kesalahan dari si pembuat sketsa melainkan gaya membuat kubu pertahanan seperti itu adalah khas Palembang, hanya menjaga tiga sisi dan membiarkan satu sisi terbuka.

benteng martapura dan benteng bamagangan
Benteng Martapura dan Benteng Bamagangan juga memiliki fitur yang sama, tidak ada dinding belakang.

Gaya pertahanan seperti ini dilestarikan sampai masa kemudian. Ketika kembali berperang melawan Belanda di awal abad ke-19, Palembang menyiapkan benteng dengan gaya yang sama, dengan menyisakan satu sisi terbuka. Ini membuat benteng menjadi rentan ketika diserang dari belakang, Belanda bisa masuk dengan leluasa ke dalam benteng karena tidak ada halangan yang merintangi mereka. Dan inilah yang terjadi dengan Benteng Kembaro pada perang tahun 1821, dan sepertinya juga menimpa Kuto Gawang pada perang tahun 1660.

Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa Belanda berhasil menemukan jalan ke bagian belakang Kuto Gawang dan membakar bagian tersebut. Tetapi yang sesungguhnya terjadi, mungkin Belanda bukan membakar dinding belakang benteng seperti yang dipercaya banyak orang saat ini, melainkan Belanda langsung membakar rumah yang ada di bagian tersebut karena mereka tidak menemukan dinding yang bisa menghalangi mereka untuk melakukannya.

benteng Martapura dan Benteng Kembaro
Pada perang tahun 1821, Belanda kembali melaporkan bahwa Palembang membangun benteng tanpa dinding belakang, seperti yang nampak dalam sketsa Benteng Kembaro dan Benteng Bamagangan ini.

Kebakaran itu akhirnya menjalar kemana-mana termasuk ke dinding benteng, menyebabkan kebakaran besar dan kepanikan luar biasa yang berujung kepada keputusan untuk sepenuhnya meninggalkan Kuto Gawang. Setelah bencana itu, Kuto Gawang tidak pernah dibangun lagi, benar-benar ditinggalkan dan kembali menjadi hutan.

Namun hikmah dari kesalahan tersebut didapat oleh penerus Kerajaan Palembang. Ketika membangun kuto yang baru, mereka menegakkan dinding di seluruh sisi kuto, tidak meninggalkan sisi yang terbuka, hal itu bisa kita lihat pada Kuto Besak, benteng terakhir yang dibangun oleh raja-raja Palembang.

Hikmah lain yang didapat, terutama bagi warga Palembang hari ini adalah, bentuk tiga sisi tertutup dan satu sisi terbuka pada benteng lama-benteng lama Palembang itu mengingatkan kita pada bentuk alat perangkap bola pada olahraga sepakbola, dimana bola ditendang ke arahnya dan alat itu akan memerangkap bola tersebut sehingga tidak berlari kemana-mana. Alat itu kita sebut gawang.

Sepertinya kata ‘Gawang’ sejak dahulu dipergunakan untuk menyebut bentuk yang spesifik, bentuk yang sengaja dibuat sebagai perangkap, dan tentu saja berfungsi untuk menangkap sesuatu, di masa lalu sebagai perangkap hewan buruan, di masa kini sebagai perangkap bola sepak. Mungkin operasi menjebak koruptor yang dilakukan oleh KPK bisa diganti namanya menjadi operasi Gawang, agar kata ini kembali ke maksud awalnya, sebagai perangkap.

Tetapi yang menjadi misteri adalah, apa manfaat bentuk gawang itu ketika menjadi benteng. Seperti yang dilakukan raja-raja Palembang ketika melawan Belanda.

Hanya Tuhan yang tahu.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Mengenai Robby Sunata
September 2025
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  
« Aug    
  • September 2025
  • August 2025
  • July 2025
  • June 2025
  • April 2025
  • March 2025
  • February 2025
  • January 2025
  • October 2024
  • August 2024
  • July 2024
  • June 2024
  • May 2023
  • November 2022
  • August 2022
  • May 2022
  • March 2022
  • February 2022
  • January 2022
  • December 2021
  • August 2021
  • July 2021
  • February 2021
  • January 2021
  • December 2020
  • November 2020
  • July 2020
  • June 2020
  • May 2020
  • April 2020
  • March 2020
  • February 2020
  • May 2017
  • March 2017
  • January 2017
  • November 2016
  • October 2016
  • September 2016
  • August 2016
  • May 2016
  • March 2016
  • January 2016
  • November 2014
  • April 2014
  • March 2014
  • January 2014
  • May 2010
©2025 Kisah Kecil dari Palembang | WordPress Theme by Superbthemes.com